Dendam

1.7K 246 22
                                    

Cinta yang semula terkubur, kembali tumbuh dan subur.
~LuLuh


"Jangan marah. Siapa tahu apa yang kamu benci itu baik untukmu," ujar Brahma kala melihat Galuh mengganti channel televisi.

Melihat seragam polisi memang memantik emosi. Galuh baru tahu kalau penggeledehan tiga hari yang lalu dilakukan atas persetujuan sang Ayah. Kala itu Brahma tengah berada di teras guna menunggu mobil mempelai pengantin lelaki. Nahasnya, Jalu datang membawa surat penggeledahan resmi dan meminta izin.

Galuh salah paham kalau tindakan Jalu kurang ajar. Namun, ketika penjelasan Brahma terdengar, gadis itu tetap menampik dan menanam dendam. Jalu tetaplah lelaki tak tahu diri.

"Galuh enggak suka!" ujar Galuh kembali mengganti channel televisi menghindari orang-orang berseragam polisi dalam tayang berita terkini.

"Kamu bukan anak belasan tahun lagi, Galuh," ujar Brahma tenang.

Tahu diri, Galuh mengangguk. Memang tak seharusnya ia berpikir demikian dan bersikap kekanak-kanakan. Masalah tak akan selesai jika tak dihadapi bukan?

"Kamu tahu sekarang harus bagaimana? Semua akan berjalan begitu saja. Keinginanmu belum tentu seperti takdir-Nya. Jadi, terima dan sabar." Brahma kembali berbicara lembut.

Galuh mengangguk. Tak sadar air matanya kembali luruh di pagi ini. Ia menghambur ke dekapan sang ayah dan menangis kesekian kali.

Hari-hari belakangan, ia dihantui ketakutan Rajendra pergi. Lelaki itu adalah lelaki yang dengan sabar akan sifat dinginnya. Galuh memang tak pernah tersentuh akan cinta selepas lima tahun silam karena kekasihnya pergi ditelan kematian.

Semua itu berawal dari kedekatan Arjuna dengan Jalu, kakak tingkat kala kuliah di Universitas Airlangga (univ impian saiya 🤣. Moga-moga anak saiya bisa keterima yak. Nanti2.) Arjuna, kekasih yang Galuh cintai mengenalkan Jalu sebagai sahabat sejati. Tanpa diduga, Jalu-lah yang mengantarkan Arjuna ke keabadian selamanya. Arjuna meninggal karena kecelakaan lalu lintas kala menjemput Jalu di rumahnya.

Galuh murka. Demi apa pun ia ingin mencekik leher lelaki yang patah-patah meminta maaf itu. Galuh tak ingin lagi bertemu dengan dia. Lantas, lima tahun kemudian, pertemuan macam apa ini? Kegagalan pernikahan dan lagi-lagi Jalu merenggut lelaki yang menurut Galuh berarti.

Ingin sekali, Galuh merutuki takdir. Kenapa Jalu selalu hadir dan membawa kesialan? Kenapa pula ia pernah tertarik bahkan menyimpan rasa padanya? Galuh tak mengerti dan mulai mengenyahkan pikiran buruk. Sudah cukup, matanya perih dan bengkak. Sudah usai, kepalanya pening karena pikiran banyak.

Selepas memeluk Brahma, Galuh kembali ke kamar. Ia melihat jam menunjukkan pukul sembilan pagi, tetapi kantuk datang. Wajar, malam-malam berlalu, matanya sibuk untuk menangisi takdir. Sia-sia, walaupun begitu, Galuh merasa menangis itu perlu untuk meluapkan emosi agar tak menjadi gila.

Dilihatnya ponsel kesekian kali. Tak ada jawaban dari nomor Rajendra. Galuh menghela napas mengeluarkan sesak. Ia menghapus air mata segera kala perlahan turun membasahi pipi.

"Sudah takdir. Gapapa." Gadis itu bergumam menyemangati diri.

Melajang di usia 27 tahun memang menghadirkan stigma buruk. Padahal Galuh hanya ingin menikah sekali dan benar-benar memilah calon suami. Selepas kejadian ini, ia akan mencoba menguatkan telinga dan hati. Pastilah banyak pernyataan menyakitkan yang keluar tanpa saringan. Galuh bisa!

Undo (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang