Makan Malam

1.1K 201 25
                                    

Awalnya, Jalu ingin menolak ajakan Brahma, Ayah Galuh, untuk makan malam bersama. Namun, karena rasa tak enak hati dan keakraban yang telah terjalin, pada akhirnya Jalu menerima. Berbekal motor lamanya, sepulang dinas, Jalu pergi ke rumah Galuh.

Di perjalanan, Jalu melihat Galuh yang seperti kesetanan. Entahlah, lelaki itu tak berpikir panjang dan langsung menghampiri kerumunan ibu-ibu di depan warung sembako tersebut. Tak lupa, Jalu dengan spontanitas berkata bahwa ia adalah calon suami Galuh Grahandini.

Salah, sih, berbohong. Tapi, Jalu menerima konsekuensinya. Seperti saat Galuh mengomel selepas menatapnya tak percaya saat ini.

“Jadi orang gak usah sok, deh. Pokoknya gak usah modus!” Galuh berkata sembari bersidekap.

Tawaran tumpangan Jalu tak berarti. Galuh memilih jalan kaki.

“Iya.” Jalu menjawab sekenanya.

Mungkin karena umurnya tak lagi muda, Jalu agak lupa rumah Galuh. Jadilah, ia ikut menuntun motor dan menemani omelan Galuh yang masih belum berhenti sedari tadi. Kalau dihitung, bisa jadi omelan tersebut berjumlah seribu kata. Haduh! Jalu merasakan otaknya nge-lag saking panjang omelan Galuh.

Galuh sudah sampai di depan gerbang rumahnya pun mendelik. Ia telah mengomel sedari tadi. Namun, kok Jalu mengikutinya sampai di sini? Maksudnya apa coba?

“Kamu ke sini ngapain? Ini kan rumahku!” Galuh berkata nyolot.

Jalu hanya diam sembari mengembuskan napas kelelahan. “Saya diundang makan malam sama ayahmu.”

“Woeee! Ottoke? Jinja?” Galuh berkata dengan ekspresi yang memancing tawa.

Beralasan reputasi, Jalu memilih memalingkan muka. Ia tak mau kelepasan terkekeh dan menjadi hal aneh.

“Kenapa bisa?” tanya Galuh.

Kenapa ia tak sadar kalau Jalu mengikutinya sedari tadi? Galuh bertanya dalam hati. Galuh bahkan berpikir Jalu mengekorinya guna mendengar ocehan unfaedah. Namun, makan malam? Lho! Ayahnya memang biang kerroppi!

Jalu menggedikkan bahu sebagai respons. Kini, lelaki itu sudah bisa menguasai diri. Galuh mengerucut sebal atas respon barusan. Dengan grasa-grusu, ia membuka gerbang setengah hati.

“Terpaksa!” gerutu Galuh sembari mengekori Jalu yang tengah masuk ke halaman.

Rasa malas masih ada, tetapi Galuh mengenyahkan. Ia rasa kedatangan Jalu perlu untuk bertanya perkembangan kasus Rajendra. Selanjutnya, ia nanti akan melakukan penyeledikkan mandiri. Baiklah, Galuh memang pintar dan baik. Ia memuji diri sendiri dalam hati.

“Daebak!” Ibu Galuh berkata sembari menatap Galuh dan lelaki di sampingnya, tak percaya.

“Kenapa, Bu?” Galuh bertanya dengan wajah bingung.

Pasalnya, baru tiga langkah memasuki rumah, Nirmaya berteriak panik. Apalagi tatapan Ibu Galuh tertuju pada Jalu.

“Kamu melet siapa? Kok bisa bawa lelaki keren? Mana lebih gagah ini daripada calon suamimu itu!” Nirmaya berkata penuh kejujuran dan berdecak.

Galuh ingin mencubit mulut ibunya, tetapi urung. Jalu mencoba bersikap biasa meski perasaannya mulai tergelitik untuk tertawa. Ya Tuhan, ternyata keluarga Galuh asyik, ya.

“Loh ada tamu!” Brahma tiba-tiba datang dan mencairkan suasana.

Ayah Galuh tersebut baru saja menaruh gelas kopi di dapur. Ia kembali ke ruang depan dengan wajah semringah. Bagaimana tidak, Jalu menerima tawarannya untuk makan malam bersama.

“Ayo duduk dulu, Le.” Brahma menggiring Jalu dengan kode.

Jalu mengangguk. Ia memang telah merencanakan sesuatu untuk menyelidiki Rajendra yang kasusnya belum mengalami perkembangan. Anggota keluarga jauh, mengaku sudah memutus hubungan dengan lelaki buronan tersebut. Apalagi, Rajendra memang pintar menyelundupkan identitas diri.

Undo (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang