Pesan

1.3K 198 24
                                    

Jalu mengembuskan napas. Ia baru saja bermimpi tentang Galuh kesekian kali. Padahal, sudah jelas-jelas Galuh berlaku tak sopan tempo hari. Namun, lelaki itu tak bisa menyangkal, hatinya tetap milik Galuh seorang dan tiada benci yang menyelundupi hati.

Ah ya, belum lagi Jalu merasakan kepalanya hampir pecah karena tuntutan pernikahan dari sang ibu. Bukannya ia tak mau. Akan tetapi, rata-rata semua wanita yang dekat dengannya selalu cinta karena pangkatnya. Jalu belum menemukan debar dan rasa nyaman di dekat mereka.

“Ingat ya, Jalu! Kamu harus nikah sama yang sekufu! Misal sama bidan gitu!”

Eleh! Jalu ingin mencibir, tetapi tak elok. Meski begitu, beliau tetaplah ibunya. Ibunya memang kadang memiliki sifat negatif yang mengharuskan Jalu meniti jalan seperti rekan-rekan seprofesi. Menikah dengan bidan yang menurut orang serasi.

Jalu saja tak pernah berpikir demikian. Sedari dulu selalu saja Galuh yang menjadi pusat perhatian. Gadis dengan watak keras kepala tersebut memang terkadang menjengkelkan. Tapi lebih banyak mengundang rindu dan debaran. Lho? Jalu kok bucin sih?

Dilihatnya jam di dinding, Jalu memilih keluar kamar dan melihat suasana dini hari yang lumayan sepi. Mess ini memang bertempat di pedesaan yang cukup jauh dari pusat kota. Sehingga Jalu dan kawan-kawannya kadang perlu bersiap lebih pagi guna dinas ke Kab. Bojonegoro.

“Belum tidur, Ndan?” Sebuah suara mengalun.

Jalu menoleh dan menggeleng singkat. Orang yang bertanya tadi ikut duduk di teras. Ia adalah bawahan Jalu yang usianya masih tergolong muda; Ipda Wahyudi. Lulusan Akpol setahun lalu dan dipindahkan tugas bersama dengan Jalu.

“Kamu gak tidur lagi?” Jalu bertanya kala Yudi justru ikut memandang gelapnya sekitar mess.

“Tidak, Ndan. Lagi bingung masalah pacar.”Jawaban tersebut membuat Jalu menoleh.

Ia ingin tertawa, tetapi tak jadi. Usia di bawah dua puluh lima pasti sedang pusing memikirkan pasal percintaan. Sedangkan dirinya, yang mungkin sudah terlanjur tua, memilih sellow. Karena jujur, ketertarikan pada wanita tak seagresif dulu.

Jalu lebih memilih memperbaiki diri dan berserah pada Tuhan. Ia memang mencari istri, tetapi kalau disuruh mencari, ia hanya bisa angkat tangan. Selain karena cintanya masih untuk Galuh, fokus Jalu adalah menyelesaikan masalah gembong narkoba ini. Penyidikan masih berlanjut karena Rajendra pintar menghilangkan jejak. Maka dari itu, sebagai pipinan sekaligus bawahan yang mengemban tugas, Jalu memilih untuk tetap fokus tanpa mencampur adukkan masalah pribadi.

“Komandan gak niat punya pacar?” Yudi bertanya meski agak takut.

Semua orang tahu, Jalu sungguh jarang tersenyum bahagia. Ia selalu memasang wajah datar walaupun hatinya tengah gembira. Dan sifat itulah yang membuat Jalu disegani bawahannya. Sifat datar tersebut pula yang membuat Yudi menyimpulkan bahwa Jalu memiliki pesona. Maka, ia tak yakin jika sang komandan tak memiliki wanita.

“Enggak. Kalau bisa langsung nikah saja.” Jalu berkata dengan pandangan mengawang.

“Pasti, nanti Komandan dapat wanita yang baik.” Komentar Yudi membuat Jalu mengaminkan dalam hati.

Jodoh itu cerminan diri. Jalu percaya itu. Sebisa mungkin, kala ia bertugas dan menerima banyak godaan wanita seksi, Jalu berusaha mengenyahkan pikiran kotornya dengan menundukkan pandangan. Dengan demikian, Jalu berharap ia tak memupuk banyak dosa.

Di lain sisi, Galuh tengah meredam amarah yang membara. Tadi sore, ia pulang diantar Yuli. Sialnya, para tetangga di depan warung menggunjingnya dengan nada keras. Sebutannya tak lagi “Perawan Tua”. Namun sekarang, berpindah menjadi gadis gagal nikah. Sialan!

“Jangan ditekuk mukanya, Galuh!” Brahma menegur sang putri yang tengah menghentakkan kaki di atas lantai marmer rumahnya.

“Jangan diinjek-injek juga lantainya. Kamu lho kayak orang keranjingan!” Nirmaya ikut berkomentar.

“Tetangga pada suka jadi lambe turah!” adu Galuh dengan wajah cemberut.

“Katanya Galuh itu gadis gagal nikah! Pasti bakalan sulit mendapat pengganti!” gerutunya.

Brahma dan Nirmaya ikut sedih mendengar hal itu. Sebagai orang tua, mereka saling bertukar pandang. Lewat itu pula mereka saling melemparkan kode tanpa kata.

“Ayah punya pengganti kalau kamu mau menikah sekarang?” Brahma bersuara.

Nirmaya mendelik. Dia kira sang suami akan menyarankan agar Galuh bersabar dan menunggu kepastian tentang Rajendra. Namun, kenapa bisa Brahma justru mengajukan kandidat lain? Lho?!

“Ayah! Ayah tahu Galuh suka sama Mas Jendra. Galuh nyamannya sama dia. Galuh pokoknya pengen dia jadi suami Galuh. Tapi ... siapa yang mau ayah sodorin buat jadi pengganti?”

Plot twist. Nirmaya terbatuk-batuk karena ocehan sepanjang rel kereta milik sang anaknya justru mengungkapkan perasaan ingin tahu. Dia kira Galuh akan menangis atau marah. Namun, respons demikian memang turunan dari Brahma. Dasar!

“Dia tampan kayak Chandragupta di ANTV atau apalah itu. Pokoknya manis. Ayah juga baru ketemu pas ada huru-hara di rumah kita tempo hari.”

“Siapa?” Nirmaya bertanya dan mencuri start untuk menjawab kebingungan putrinya.

“Jalu Akasa!”

“Tidak!!!” Galuh berteriak sembari manyun dan kembali ke kamar.

Tak lupa, pintu kamarnya dibanting dengan keras. Peduli amat. Ia seakan alergi mendengar nama Jalu. Apalagi beberapa hari yang lalu, ia sempat bertemu.

Sebenarnya, Galuh cukup terkesima dengan tatapan lelaki itu. Apalagi penawarannya untuk melindungi. Kalau dipikir-pikir Galuh juga ingin baper, tetapi ia juga ingat kalau Jalu adalah lelaki yang patut dihindari.

Galuh hanya bisa menggeram kesal. Ia memilih untuk pergi ke kamar madi dan meredam segala kecamuk di pikiran. Keramas dengan air dingin memang cara ampuh untuk menghilangkan stress yang  melanda jiwa dan badan.

“Ayah! Kenapa malah ngomong gitu ke Galuh?” Nirmaya bertanya pada sang suami yang terlihat santai.

Brahma kembali menonton berita di acara televisi. Ia seperti tak memikirkan apa yang terjadi. Tentu dengan sikap itu pula, Nirmaya kesal sepenuh hati.

“Ya memang begitu.” Brahma berkata pelan.

“Jalu Akasa itu Kompol yang kemarin ke sini melakukan penggeledahan. Ayah memang bertukar nomor guna dijadikan saksi. Beberapa hari yang lalu, ia mengaku kalau pernah satu universitas dengan Galuh. Jadi, ya, Ayah setuju saja kalau misal Galuh bersanding dengannya.”

Penjelasan Brahma membuat Nirmaya mengernyit. Jadi, sang suami setuju kalau Galuh bersama Kompol yang tempo hari disumpah serapahi sang putri?

“Intinya gimana, Yah? Jadi Ayah setuju kalau Rajendra bukan calon yang baik? Ayah memihak siapa? Kok, terkesan abu-abu?!”

Sebagai pimpinan perusahaan yang bergerak di bidang pangan, Brahma hanya memperkirakan dua kemungkinan. Dengan persentase lima puluh persen benar dan sisanya salah, untuk tindakan Rajendra yang masih dijuluki terduga. Maka, tak salah, 'kan, ia ikut waspada? Apalagi putrinya tipekal keras kepala jika belum kena batunya.

“Abu-abu kadang memang perlu, Bu. Ayah cuman pengin Galuh selamat. Antara memilih calon mantu, ayah belum tahu. Karena jujur, ayah mulai curiga dengan Rajendra,” ujar Brahma.

Nirmaya mengangguk pelan. Ia tak tahu harus bagaimana, karena baru dua minggu berlalu, kasus ini masih menemui jalan buntu. Maka pada akhirnya, ia akan mengikuti jalan sang suami untuk waspada dari segala sisi.

“Kita memang harus waspada,” putus Nirmaya melenggang pergi guna kembali ke dapur.

Brahma mengangguk menyetujui. Melihat tayangan berita tentang beringasnya gembong narkoba, lelaki itu menjadi sedikit khawatir. Ah, semoga saja Galuh tak berbuat macam-macam.

Pukul setengah enam, Galuh keluar dari kamar mandi. Rambut sepinggangnya terurai basah. Ia hendak mengambil hair dryer, tapi urung karena teleponnya berbunyi.

Sayang.

Pesan satu kata itu mampu membuat Galuh melebarkan mata. Detak jantung Galuh mulai tak berirama. Apa itu Rajendra?

B e r s a m b u n g....

Undo (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang