Galuh dan Brahma semakin membaik keadaannya. Lima hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Galuh diperbolehkan pulang dengan catatan belum boleh banyak bergerak. Jalu ikut senang akan hal itu. Namun, Brahma belum diperbolehkan pulang karena tensi darahnya belum stabil.
Di perjalanan pulang, Jalu menemukan kemurungan di wajah Galuh. Lelaki itu berinisiatif untuk memberikan hiburan agar sang istri tak lagi merasakan kesedihan. Namun, Jalu agak buntu memikirkan ide karena diserang cemburu.
Di rutan tempat Rajendra dibina, lelaki itu terus saja mempertanyakan kondisi Galuh. Rajendra selalu mendesak Jalu untuk menjabarkan keadaan sang istri. Tanya itu sedikit mengganggu, banyak mengundang cemburu.
“Mas, kok diem?” tanya Galuh yang merasa bosan akan keheningan.
Memang kalau Jalu yang menyetir sudah dipastikan tak ada musik dari mobil. Lelaki itu selalu mengutamakan keselamatan dari pada kesenangan. Terlalu kaku, tetapi Galuh suka. Wanita itu cukup terharu atas pengakuan sang suami.
Jalu memang bekerja selama Galuh dirawat. Ia baru meminta izin cuti saat Galuh diperbolehkan pulang. Dengan alasan, Jalu ingin menghabiskan waktu berdua mereka yang tersita karena kejadian penembakan.
Ngomong-ngomong, Jalu juga belum menceritakan kejadian tentang Erina pada Galuh. Lelaki itu bingung sendiri ingin mengungkapkan semua dari mana. Karena alasan, ia takut semua kejujuran berimbas pada Galuh yang akan kebanyakan pikiran.
“Malah diem, Mas! Ih, masa ngomong saat berkendara juga dilarang?” tanya Galuh kesekian kali.
Jalu menggeleng pelan. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang, ia akan mengajak Galuh makan sebelum pulang. Bravo Cepu menjadi tujuan.
“Makan dulu, ya. Maaf lagi banyak pikiran bingung mau mulai bicara dari yang mana.” Jalu berkata pelan.
Senyum manis yang ditampakkan membuat Galuh urung marah. Ia akhirnya mengangguk. Pintu terbuka dan tanpa persetujuan, Jalu langsung menggendong Galuh ala bridal.
“Gak ada pertanyaan, aku gak minta pendapat. Suka atau enggak, aku mau kamu baik-baik aja!”
Manis sekali. Galuh rasa ia bisa diabetes karena tindakan sang suami lebih berani. Dulu, Jalu akan meminta pendapatnya, tetapi kali ini, lelaki itu melakukan semua keinginannya dengan satu alasan; agar Galuh baik-baik saja.
“Aku yakin kamu bakal nolak digendong, tapi ini parkirannya lumayan jauh menuju ke restonya.” Jalu berujar sembari berbisik.
Tak lupa, satu kecupan dicuri dari kening sang istri. Ingin mendelik, tetapi Galuh sadar, ia mau-mau saja dibegitukan. Tak ada penolakan dan dia seakan memberi kode kepasrahan. Hem?
Beruntung rasa malu itu tak berwujud. Jadi, Galuh bisa memendam semua dengan senyum yang tersungging di balik masker hitamnya.
“Emang aku enggak berat apa, Mas?” tanya Galuh pelan.
Meski di keramaian, Jalu masih bisa mendengarkan. Lelaki itu segera tersenyum sembari menggeleng pelan. Ia mengabaikan tatapan orang-orang yang terlihat iri dan penuh damba, padahal Jalu melakukan hal ini bukan untuk memamerkan kemesraan.
“Enggak, Ibu Galuh. Ringan banget ini. Makannya yang banyak ya, nanti. Biar pipinya gemoy.” Jalu berkata sembari memasuki area resto sederhana.
Lelaki itu berinisiatif untuk memesan ruang privasi. Bukan tanpa alasan, ada sesuatu yang krusial untuk dibicarakan dengan Galuhnya sekarang.
“Kok di private room?” tanya Galuh selepas mereka menjauh dari area kasir.
Pertanyaan tersebut belum dijawab oleh Jalu yang mendudukkan sang istri lembut. Lelaki itu langsung membuka masker dan menampakkan senyum manisnya.
“Biar bisa ....”
“Bisa?” Galuh bertanya atas kalimat yang menggantung tadi.
Di pikirannya mulai muncul berbagai macam persepsi. Galuh hanya mencoba menggeleng dan berharap perkiraan negatif di kepalanya hilang.
“Bisa apa-apa.” Jalu berkata pelan dengan sorot mata keseriusan.
“Dih? Mas! Jangan gitu, deh!” ungkap Galuh tak suka dipandang demikian.
Tak banyak cakap, Jalu memutuskan berdiri. Dengan ringan, ia mengangkat tubuh Galuh dan membuat posisi mereka berpangkuan. Canggung, tetapi ini adalah posisi favorit yang selalu Galuh inginkan.
Deep talk mereka akan berjalan lancar dan penuh romansa jika pada posisi seperti sekarang. Ah, mendadak Galuh kaku ditatap lekat oleh Jalu. Lelaki itu bahkan seperti tak ingin berkedip kala memperhatikannya.
“Mas! Jangan gitu!” Galuh berucap seraya memalingkan muka.
Jalu tak membalas dengan kata. Lelaki itu langsung menangkup wajah istrinya erat. Hidung mereka bersinggungan karena jarak yang dekat.
“Aku rindu kamu, Galuh Grahandini.” Jalu berkata sembari memejam.
Galuh ikut memejam dan merasakan getaran. Tangan mereka bertautan. Dahi mereka saling bersentuhan seakan menyalurkan gelombang yang berisi selaksa ledakan rindu.
“Kamu enggak salah kalau mau nolongin aku tempo hari. Tapi ... please jangan lakuin itu lagi. Itu bukan hal yang lucu. Kamu hampir buat aku mati berdiri.” Jalu mengungkapkan dengan nada pelan tetapi penuh penekanan.
“Bahkan ... Erina juga berniat bunuh kamu pasca operasi,” ujar Jalu membuat Galuh tak menyangka.
“Dia mau nyutik kamu pakai anestesi berlebih tapi gagal. Aku memergoki aksinya. Meski begitu, aku takut! Ralat, benar-benar takut kamu meninggalkanku pergi, Galuh.” Jalu berkata pelan dengan hati menahan sesak.
Galuh yang mendengar tersebut tak terkejut. Ia hanya mampu merasa hatinya bergetar karena didorong aroma ketulusan kata dari suaminya.
“Banyak rintangan yang akan kita lewati. Ini hanya permulaan. Oleh karena itu, sebelum terlanjur dalam, aku ingin bertanya dan memastikan. Boleh?” tanya Jalu sembari membuka mata.
Mereka tak lagi menyatukan dahi. Jalu kembali duduk dan memberikan jarak. Akan tetapi, tetap jarak tersebut tak terlalu jauh. Kebimbangannya harus terjawab saat ini juga.
“Galuh ... apa kamu masih mau bertahan bersamaku? Apa kamu masih ingin melanjutkan pernikahan kita?” tanya Jalu pada akhirnya.
Hening. Tangan kiri Galuh masih setia bertautan dengan tangan Jalu. Tangan kanannya mulai bergerak dari pundak menuju rahang lelaki itu. Ada keraguan antara sorot mata Jalu. Galuh yakin atas segala duga dalam kepalanya.
“Aku tanya ini bukan karena apa-apa. Keselamatanmu penting. Itu yang utama. Aku takut—”
“Aku masih mau bertahan bersamamu dan aku ingin melanjutkan pernikahan kita.” Galuh memotong ucapan Jalu.
“Mas, jangan ragu! Dengarkan janjiku. Selama jantung ini berdetak, ku akan selalu menjagamu hingga akhir waktu. Selama nafas ini berhembus, tak akan ada cinta yang lain hingga tua bersama.” Potongan lagu Hingga Tua Bersama milik Rizky Febian mengalun lembut dari bibir Galuh.
Tanpa aba, Galuh mengecup pipi Jalu pelan. Di rumah sakit, ia sungguh tak bisa leluasa berlaku demikian. Galuh bersyukur karena Tuhan masih memberikan kesempatan untuk bernapas dan melihat sang suami, meluapkan rindu, serta berbagi cinta seperti kali ini.
“Dengan segala risiko yang ada?” tanya Jalu memastikan kesekian kali.
Galuh mengangguk mengiyakan. “Iya, Mas. Dari awal, pernikahan ini dijalankan sepenuh hati untuk mencari ridho Illahi.”
Tak ada halangan apa-apa. Kejanggalan serta gelisah luruh begitu saja. Jalu menembus pertahanan. Ia melakukan keinginannya yang semula tertahan untuk mencecap manisnya bibir Galuh.
Mereka melakukan hal tersebut dengan dada bergemuruh. Lama, tetapi lembut. Kala napas yang dibagi mulai menipis, keduanya saling menjauh. Senyum tersungging dan tak lupa, mereka mulai menyadari keadaan bahwa ada ketukan pintu yang tak henti. Tawa keduanya berderai seiring dengan gelengan dan rasa tak percaya.
Mereka sudah dewasa, tetapi berlaku seperti remaja dimabuk cinta karena lama tak meluahkan cinta. Namun, tak ada yang disesali. Semua yang dilakukan telah sah dan berpahala. Cinta mereka adalah cinta halal bukan cinta berbalut zina.
B e r s a m b u n g ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Undo (Completed)
ActionGaluh Grahandini (27 tahun) tak pernah mengira pernikahannya akan batal karena orang masa lalu sekaligus polisi tak tahu diri; Jalu Akasa. Pembatalan pernikahan dengan kenyataan calon suami Galuh, Rajendra Dahana, adalah terduga bandar narkoba, memb...