Perpisahan di kantor Galuh benar-benar tejadi. Tepat seminggu selepas mengajukan resign, Galuh resmi keluar dari pekerjaannya. Yuli adalah orang pertama yang menangis karena kepergian partner beberapa tahunnya.
“Lu kudu inget gue!” Yuli berkata ngegas selepas Galuh menyalaminya.
“Jangan sampe lo pura-pura gak kenal nanti kalau kita ketemu. Bahagia sama Jalu. Pokoknya gue dukung lu. Dukung seratus persen kalau sama yang kemarin. Sepersen doang.” Yuli berkata panjang kali lebar.
Galuh mendekap sang sahabat erat. Sore ini rasanya kelabu. Ia menatap wajah teman-teman sekantor yang lain. Galuh akan mengingat mereka dan tentu menyimpan segala kenangan yang ada. Namun, kemungkinan, kebersamaan dengan Yuli yang paling lekat di ingatan.
“Jangan sedih!” Galuh menepuk punggung Yuli dengan pelan.
“Elu buat gue mellow. Seumur-umur baru ini gue kerja tapi ikut bingung mikir solusi persoalan orang lain. Seumur-umur juga, baru kali ini rasanya kerja betah banget. Tekanan sana-sini, tapi kalo bareng sama lu tuh jadinya haha-hihi.”
Galuh tertawa atas ucapan Yuli. Kembali mereka berdua berdekapan erat. Acara perpisahan sederhana tersebut memang dibuka oleh permohonan maaf Galuh jika sikapnya pernah menyakiti karyawan lain. Dilanjutkan dengan acara salaman. Terakhir, Galuh sengaja memesan brownies guna makan camilan bersama.
Mereka pun menikmatinya karena memang jam kerja telah usai. Apalagi, Galuh diizinkan menggelarkan acara perpisahan sekaligus syukuran pernikahan oleh sang atasan.
Doa baik menggema dari bibir rekan kerjanya. Galuh mengaminkan saja. Di samping riuhnya cerita, wanita itu menatap kursi dan meja kerjanya. Semua barang-barang Galuh telah dibereskan tiga hari belakangan. Akan tetapi, dua tahun lebih bekerja di sini, Galuh merasakan betah setengah mati.
Dalam diam, Galuh menggumamkan maaf ke telepon yang pernah ia maki-maki, meja yang pernah ia gebrak, dan kursi yang pernah ia banting. Benar, Galuh memang menemukan fase sabar selepas merasakan emosional. Dampratan customer di awal kerja sungguh mengganggu, maka Galuh meluapkan emosi dengan beberapa kegiatan tadi. Sampai di titik ini, Galuh terbiasa. Ia menjadi lebih ke sikap bodo amat atas perkataan tak mengenakan yang mampir di telinga.
Rindu itu mulai menjalar. Galuh tak kuasa untuk melihat tempat kerjanya. Ia membuang pandang dengan mata berkaca. Yuli juga sama. Ia kehilangan teman untuk mencari huru-hara. Ada bagian kosong yang tiba-tiba terbuka. Namun sekali lagi, begitulah takdir bekerja. Mempertemukan lantas memisahkan adalah hal yang lekat di episode kehidupan.
Tepat selepas setengah jam, acara tersebut usai. Semua karyawan pulang dan mengucapkan terima kasih pada Galuh. Yuli melambaikan tangan perpisahan kala Galuh menunggu Jalu untuk menjemputnya di depan kantor. Tak lama, sang suami datang. Jalu menatap Galuh yang terlihat cantik ditempa sinar senja.
“Udah lama?” Jalu bertanya sembari menatap mata di hadapan.
“Belum. Baru aja pulang. Abis ngadain acara perpisahan sama syukuran pernikahan kita.” Penjelasan Galuh membuat senyum Jalu terukir begitu saja.
Hati siapa yang tak menghangat diakui sebagai suami? Jalu merasakan debaran menggila dalam hati. Lelaki itu bahkan merasa wajahnya memerah tanpa bisa dicegah.
“Kamu nangis?” tanya Jalu pada akhirnya memecah hening.
Galuh telah naik di jok belakang dan mengenakan helm. Lewat kaca spion, Jalu melihat anggukan kecil sebagai jawaban.
“Sedih aja. Udah betah. Tapi gapapa kok.”
Selepas jawaban itu, motor tua Jalu melaju menembus jalanan. Keheningan kembali menerpa. Selama seminggu dengan Galuh, Jalu merasa masih ada kecanggungan di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undo (Completed)
ActionGaluh Grahandini (27 tahun) tak pernah mengira pernikahannya akan batal karena orang masa lalu sekaligus polisi tak tahu diri; Jalu Akasa. Pembatalan pernikahan dengan kenyataan calon suami Galuh, Rajendra Dahana, adalah terduga bandar narkoba, memb...