Letih

1K 202 8
                                    

Jangan berharap balasan untuk kebaikan, apalagi rasa; cinta dan setia. Terkadang, hasilnya membuat lara.
Galuh Grahandini

Jalu tak bisa berkata apa-apa. Otaknya mendadak sulit berpikir melihat darah di lengan Galuh yang menetes banyak. Lelaki itu tak menyangka kalau berangkat dinas malam justru disuguhkan pemandangan tak meyakinkan.

“Kita ke puskesmas terdekat!” Jalu memutuskan tanpa kata.

Menuruti insting, Jalu menarik sapu tangan dari celananya. Dibebalkan kain merah maroon tersebut di lengan Galuh. Selepasnya, mereka pergi ke Puskesmas Kalitidu.

Jalu tak banyak cakap. Ia hanya bisa berdoa dan menahan kekhawatiran yang ada. Wajah Galuh tadi sudah seperti mayat hidup karena terlihat pucat pasi.

“Mas Jalu.” Suara familier terdengar.

Jalu menatap mata di hadapan. Ia tersenyum canggung karena tak mengenal siapa gadis di hadapannya.

“Mas Jalu kenapa ke sini?” tanyanya lagi.

“Maaf, siapa, ya?” Jalu akhirnya memberanikan bertanya.

Tawa anggun pun mengalun. Gadis dengan seragam press body dan jilbab putih khas perawat tersebut mengambil duduk di samping Jalu. Jalu agak risi tetapi menahannya.

“Aku Erina. Masa Mas Jalu lupa? Dua minggu yang lalu ketemu masalah laka lantas di perempatan Kalitidu.” Penjelasan itu membuat Jalu mengangguk.

“Aku juga adik tingkat Mas Jalu waktu kuliah. Aku ngambil D3 keperawatan.” Erina kembali menjelaskan.

Jalu mengangguk pelan. “Maaf saya lupa. Oh iya, saya ke sini sedang mengantar teman.”

Erina mengangguk. Selanjutnya, tak ada percakapan. Hening yang lama membuat Erina undur diri. Dalam matanya, Jalu tampak mempesona. Erina tak menampik itu semua. Ia mulai tertarik untuk mendekati Kompol Jalu, mungkin?

Di dalam ruang rawat, Galuh tak bisa bersuara. Dengan bius, luka robek di lengan berhasil dijahit rapat. Namun, luka robek di hati belum bisa ia percaya sampai kini.

“Sudah, Mbak.” Dokter paruh baya itu bersuara dan memutus pikiran Galuh.

Galuh mengangguk. “Terima kasih, Dok.”

“Mohon ditunggu untuk resepnya.” Dokter tersebut tersenyum ringan.

Galuh mengangguk dan masih setia duduk di brankar. Pandangannya kembali tertuju ke tas dan amplop tadi. Sakit kembali menyergap. Sungguh, Galuh benci penghianat.

Masa lalu kelam Rajendra yang dulunya pemain wanita, Galuh terima dengan lapang dada. Saat menerima Rajendra, saat itu pula Galuh memiliki prinsip; semua orang punya masa lalu dan masa depan bisa diperbaiki jika mau. Maka, sedikit demi sedikit Rajendra mulai berubah.

Pertemuan pertama dengan Rajendra, adalah kala Galuh nongkrong malam Minggu-an di kafe kawasan Ngraho. Tiba-tiba, Rajendra naik ke panggung dan mempersembahkan lagu untuknya. Pertemuan singkat yang kemudian menjadi intens membuat antara mereka mulai tumbuh rasa.

Sebenarnya, ada banyak lelaki yang mendekati Galuh selepas Arjuna pergi. Namun, gadis itu terlampau kaku. Ia punya ketakutan sendiri karena hubungannya dengan Arjuna dulu, tak sesempurna yang orang kira.

Galuh selalu dibandingkan dengan Sinta, itu kenyataan pertama. Sinta selalu utama, itu kenyataan kedua. Pada akhirnya, Galuh tahu bahwa Arjuna hanya menganggapnya pelampiasan, sedangkan Sinta adalah wanita impiannya. Kenyataan ketiga perlu menjadi pertimbangan matang untuk Galuh menjalin hubungan.

Panggilan dokter membuat Galuh tergagap. Ia turun dari brankar dan mendekati meja di dekat pintu tersebut. Beberapa resep obat dalam dan luar pun tertulis. Galuh tinggal menebusnya di apotek depan.

Undo (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang