Enzim Amilase dan Hormon Endorfin

1.1K 170 13
                                    

“Jendra!” Salma memanggil Rajendra.

Pertengkaran mereka telah berlalu lebih dari tiga minggu. Salma tak bisa memarahi lelaki itu lama-lama. Sekilas mereka berbaikan. Namun, melihat kenyataan pagi ini, Rajendra tak berada di dalam kamar, hati Salma seakan meletus.

Tiga ketukan pintu telah ia lakukan. Salma tak mendapati jawaban atas ajakan sarapan. Ternyata, kamar Rajendra kosong. Penghuninya tak ada.

Secara cepat, Salma membuka kamar mandi. Ia langsung menggeledah semua ruangan. Benar, Rajendra melarikan diri. Bajunya bahkan tak tersisa di lemari.

“Rajendra!” teriak Salma terduduk di lantai.

Salma membuka ponsel dan melacak keberadaan Rajendra. Lelaki itu ternyata sedang berada di bandara. Secara cepat, Salma membuka google dan melihat jadwal penerbangan di bandara.

Kurang lima belas menit? Terlambat. Salma langsung memesan penerbangan yang kedua. Tak ia biarkan Rajendra hilang dari genggamannya. Salma segera bersiap pergi menyusul lelaki itu menuju ke Jawa.

Di sisi lain, Rajendra tengah termenung. Pesawatnya telah take off setengah jam yang lalu dari Balikpapan. Mengabaikan kejaran polisi dan kemungkinan buruk lainnya, ia bersiap menemui sang pujaan hati.

Keputusan kembali ke Jawa sejalan dengan postingan siluet di sinar senja di instagram Galuh. Demi apa pun, Rajendra terbakar cemburu. Ia tak bisa menahan segala ledakan api. Menggunakan tabungan dari gaji perusahaan Salma, yang dikumpulkan selama sebulan, Rajendra memesan tiket tadi malam. Segala sakit menyerang dada bahkan kepalanya karena memikirkan Galuh yang telah berpunya.

Rajendra memejam. Awan-awan yang terlihat tak membuatnya bisa mengalihkan pikiran. Hatinya sudah tertaut pada Galuh, kenapa bisa Jalu datang dan menghempaskan segalanya?

Kenangan bersama Galuh kembali membayang. Kala memejam, Rajendra disuguhi visual dirinya dan Galuh yang berjalan-jalan di pasar malam. Tak lupa, tangan mereka bergandengan.

Pada titik itu, Rajendra berpikir tak ada yang memisahkan mereka. Semua cerita berakhir bahagia. Nahas, Rajendra lupa, ia teramat melupakan bahwa segala yang ada di dunia dan langit adalah milik Tuhan. Semua bisa berubah kapan saja kala Tuhan mau dan menghendakinya. Ia kurang mengerti konsep tersebut dan bertahan menyalahkan Jalu atas segala kejadian.

“Kita akan bertemu,” gumam Rajendra memandang awan yang seperti menampilkan senyum Galuh Grahandini.

Di sisi lain, keterangan dokter tentang Brahma tak meleset dari dugaan. Lelaki paruh baya itu mengalami pembengkakan jantung, sedikit penyumbatan otak, berakhir diagnosis stroke ringan. Kaki serta tangan kirinya tak bisa bergerak.

Nirmaya syok. Ia hampir ambruk. Namun, berkat segala semangat dari Galuh dan Jalu. Ia kembali tegak berdiri. Keyakinan agar sang suami sembuh terpatri.

“Ayah sembuh, Bu. Ayah bisa sembuh. Gapapa, kok. Kita akan berusaha mengobati. Nanti, kalau Ayah udah mulai sehat, kita akan usahakan terapi di rumah sakit biar tangan dan kakinya bisa gerak lagi.” Galuh menenangkan sang ibu yang hendak menangis kesekian kali.

Brahma masih menutup mata. Selepas dipindahkan ke kamar Tulip, lelaki itu bisa dijenguk berkala menurut dokter. Akhirnya, Nirmaya maju paling depan.

Pemandangan sang suami yang terbaring lemah di brankar membuat air matanya luruh. Nirmaya tak bisa menahan isakannya. Di kursi samping ranjang si suami, ia duduk dan mulai berkata.

“Yah, sehat-sehat ya, Yah. Kemarin baru saja ngomong pengin cucu.” Nirmaya berkata.

Hening mendera. Hatinya terluka. Nirmaya tak tahu mengapa waktu cepat berlalu. Ia baru menyadari kala sang suami mulai renta. Ternyata, menjadi tua memang tak semenyenangkan kelihatannya. Nirmaya diserang ketakutan kala pemikirannya berperang, Brahma akan meninggalkannya sendirian. Itu ketakutan terbesarnya sekarang.

Undo (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang