Suami dari Mimpi

1.2K 216 24
                                    

Aku pernah bermimpi kita menjadi suami istri. Ternyata Tuhan mengabulkan lewat doaku di sepertiga malam. Kita disatukan tanpa aba dan kuharap, semua berakhir bahagia.
LuLuh

Jalu merasakan kepalanya pening. Tugasnya terlampau banyak tiga hari belakangan. Kegiatan di Polsek dan Pendopo benar-benar menguras tenaga. Apalagi kurang tidur berimbas besar pada kesehatannya. Selepas membuka mata pagi ini, pening serta merta panas dengan ganas menyerang.

Jangankan untuk bangun dari tidur, untuk membuka ponsel dan membaca pesan saja, Jalu seperti tak mampu. Kepalanya berdenyut tak keruan. Akhirnya, ia kembali memilih tidur dan mengabaikan perut keroncongan.

Di sisi lain, Galuh tengah mempertimbangkan usulan sang ayah untuk mengirimi pesan pada Jalu. Brahma telah pulang kemarin. Lima hari di rumah sakit sudah membuat kondisinya pulih. Meski demikian, Galuh tetap mewanti-wanti agar sang ayah bed rest dulu.

Galuh memainkan ponsel. Ia masih di kamar dan gelisah. Selepas mengetahui Jalu dan dirinya, berubah status dari teman menjadi suaminya, wanita itu masih mempercayai semua ini mimpi. Apalagi Jalu tak mencoba menjelaskan apa-apa. Lelaki itu tak mengirimi pesan atau menelpon. Galuh jadi mempertanyakan semua untuk berkali-kali.

“Ayah? Apa benar Jalu udah nikah sama aku?” Galuh akhirnya bertanya sekian kali. Kepala wanita itu melongok dari pintu kamar Brahma.

Brahma tengah memakan buah naga ditemani Nirmaya. Suami istri paruh baya itu saling pandangan dan tersenyum. Pertanyaan Galuh masih sama seperti tiga hari yang lalu. Putri mereka terus saja memastikan bahwa pernikahan dengan Jalu Akasa bukan mimpi, tetapi nyata.

“Tanya itu lagi? Kenapa? Nggak percaya banget?” Nirmaya menyahut.

“Bukannya gitu, Ibu! Jalu enggak ada penjelasan sama sekali. Kirim pesan juga enggak. Bahkan, pas aku kabarin ayah udah pulang kemarin malam, pesanku enggak di-read sama sekali.” Galuh mulai mengeluarkan unek-uneknya.

Nirmaya tersenyum menahan agar giginya tak terlihat. Bukan apa-apa. Omelan Galuh menggambarkan kalau sang putri menerima Jalu sebagai suami, sekaligus seperti ada rasa ingin diprioritaskan sebagai istri?

“Ngomong aja kamu pengin ketemu sama Jalu. Enggak usah ngomel panjang kali lebar kalau kesimpulannya rindu.” Brahma mencecar.

Galuh semakin memajukan bibir atas perkataan tadi. Ia ingin menyanggah ucapan sang ayah. Namun, semua memang benar adanya. Bukan rindu sih hanya ingin bertemu. Sama saja, ya? Dasar! Galuh memang ratunya gengsi.

“Kamu samperin aja ke mess-nya.” Nirmaya menyarankan.

“Ihh masa aku nyamperin duluan? Aku kan wanita, Bu. Yang ngejar itu lelaki.”

“Siapa tahu sandalnya Jalu lagi putus makanya rehat mengejar sebentar.” Brahma menimpali.

Nirmaya tertawa. Ekspresi Galuh semakin menggambarkan kekesalan. Akhirnya, sebagai ibu yang baik, ia menengahi pertikaian suami serta putrinya.

“Udah! Gapapa. Kamu tengok aja. Lagian ini ngapelin suami sendiri. Pahalanya besar loh,” ujar Nirmaya.

Pada akhirnya Galuh menurut. Keras kepalanya tak berguna sekarang. Entahlah, ia butuh bertemu Jalu sedari penjelasan perubahan status mereka. Berbekal alamat  dari Nirmaya, Galuh pergi menggunakan motor matiknya.

Undo (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang