Memakan waktu hampir dua jam di pesawat terbang, Rajendra akhirnya sampai di Surbaya. Meneruskan perjalanan, ia menggunakan bus untuk sarana transportasi dari Bandara Surabaya menuju ke Bojonegoro. Membutuhkan hampir empat jam, membuat lelah menjangkiti badan.Akan tetapi, kala kakinya menapak di tanah Bojonegoro, segala lelah hilang sekejap. Rajendra tersenyum penuh arti. Ia pun memesan ojol guna ke rumah Galuh. Nahas, ia tak menemukan apa-apa, selain gerbang yang tergembok.
Penampilannya yang memakai masker membuat tetangga tak mengenali lelaki itu. “Saya teman Galuh, Buk. Di mana ya, Galuhnya?” Rajendra berinisiatif bertanya di sebuah warung sembako.
“Oh, Galuh lagi nemenin ayahnya di rumah sakit, Nak.” Jawaban ramah terdengar dari ibu-ibu tersebut.
“Kira-kira pulangnya kapan ya, Bu?” tanya Rajendra dengan penasaran.
“Mungkin masih lama, Mas. Soalnya baru tadi pagi dirawat. Katanya Pak Brahma terkena serangan jantung.” Penjelasan itu menutup percakapan.
Rajendra memikirkan cara. Namun, pada akhirnya, ia memilih untuk tidur di sebuah hotel terlebih dahulu. Rasa kantuk dan pegal tak terhankan. Jika badannya telah istirahat, lelaki itu akan memikirkan rencana untuk melakukan pertemuan dengan Galuh Grahandini-nya.
Di lain sisi, jika Rajendra sampai di Bojonegoro siang bolong, Salma baru sampai kala malam mulai merangkak pekat. Masih menggunakan bantuan para bawahan yang tak secerdik Rendi, ia bisa dengan mudah mengakses ke mana perginya Rajendra. Dengan mudah pula, ia menyogok pegawai hotel untuk memberitahukan di mana keberadaan Rajendra.
Pukul sepuluh malam, Rajendra terganggu akan ketukan pintu. Tidur berjam-jam setidaknya membuat rasa lelah bisa terkurangi. Tak lupa, ia masih mengantuk kala memikirkan siapa yang mengganggu acara rehatnya.
Pintu terbuka, Rajendra langsung ditampar dengan keras. Sebelum mengenali tangan siapa yang kurang ajar, Rajendra disuguhi bentakan kasar. Badannya terdorong dan pintu tertutup rapat.
“Bajingan!” Salma mengumpat selepas dengan gesit mengunci pintu.
“Salma?” Rajendra tak percaya wanita yang dihindari berada di depan mata.
“Kamu biadab, Jendra! Sudah kubilang situasi bisa makin pelik kalau kamu masih menginginkan wanita itu! Ingat! Galuh adalah penghianat!”
“Tapi penghianat itu kucintai, Salma!” bentak Rajendra memenuhi kamar hotel bintang lima ini.
Beruntung, kamar tersebut kedap suara. Jadi tak ada alasan orang lain untuk menegur pertengkaran mereka.
Di dalam, Salma dan Rajendra masih saling menajamkan mata. Masing-masing tangan mereka mengepal menahan amarah. Emosi menyelimuti pertemuan ini.
Jika Salma lelaki, Rajendra sudah pastikan ia membalas tamparan dengan pukulan. Sayang, ia masih waras dan menahan diri. Salma adalah wanita, itu kenyataannya.
“Aku bahkan siap mati buat kamu, Rajendra!” Salma menekankan segala kalimatnya. Tak lupa, telunjuknya mengacung ke udara.
“Aku melakukan semuanya dengan rasa cinta. Kenapa kamu malah ke sini lagi? Di sini itu tempat bahaya! Aku takut kamu ditangkap, dipenjara, bahkan dihukum mati!” Lagi, Salma menjelaskan perasaannya.
Rajendra melirik tajam. Ia menampik segala ucapan Salma, tetapi ada sebersit rasa iba. Namun, sekali lagi, Rajendra tak bisa membohongi perasaannya.
Galuh tetap menjadi pemenang dan Rajendra berambisi memilikinya. Lantas, tentang rasa Salma, ia tak peduli.
“Aku tak peduli. Cinta itu tak mengenal malu untuk diperjuangkan, Salma! Aku ingin memperjuangkan Galuh sekalipun ia sudah memiliki suami!” ujar Rajendra menggambarkan kesungguhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undo (Completed)
ActionGaluh Grahandini (27 tahun) tak pernah mengira pernikahannya akan batal karena orang masa lalu sekaligus polisi tak tahu diri; Jalu Akasa. Pembatalan pernikahan dengan kenyataan calon suami Galuh, Rajendra Dahana, adalah terduga bandar narkoba, memb...