Ibu Muna

1.2K 192 50
                                    

Marga dan Hedia kini berada di pekarangan rumah Winnie. Hendak kembali ke rumah untuk istirahat sejenak sebelum kembali mengunjungi tetangga.

"Cara ngomong Haka sama Yuki kaku banget gak sih?" ujar Hedia dengan pelan.

Marga terkekeh. "Mungkin karena Papanya orang Jepang, terus sekolahnya di sekolah internasional, jadi cara ngomong bahasa Indonesianya kaku." Alasan yang cukup meyakinkan untuk Hedia.

"Ya gini lah kalau anak gak inget sama orangtuanya. Tinggal sendiri bukan hal yang aneh."

Marga dan Hedia otomatis melihat ke sebelah kanan mereka. Ada seorang wanita tua yang masih terlihat bugar sedang mendumal sendiri seraya menyirami halamannya yang penuh dengan berbagai jenis bunga. Acara istirahat mereka terpaksa ditunda karena wanita itu melihat ke arah mereka. Beberapa bungkusan pun berada di tangan mereka, tidak bisa menjadi alasan untuk mereka pulang dulu untuk mengambil bungkusan dan beristirahat sejenak. Pemikiran tersebut segera mereka kubur dan menghampiri rumah di sebelah kanan rumah Winnie

"Sore, Bu," sapa Marga dan Hedia dengan kompak.

Untuk pertama kali dilihat, wajah wanita tua itu tampak sangat tidak bersahabat dengan tatapan tajam yang keluar dari mata bulatnya.

"Gak mau kasih sumbangan sama sekali. Saya juga gak ada niatan untuk beli dagangan yang kalian tawarin," balas wanita itu dengan tampang tidak bersahabatnya.

Hedia menyatukan alisnya. Apa tampilannya sebegitu buruk rupa, hingga disangka meminta sumbangan? Rasanya Hedia ingin meluruskan kesalahpahaman tersebut.

Tahu istrinya hendak meledak, Marga menyela lebih dulu. "Maaf, Bu. Kita tetangga baru," ujarnya seraya menunjukan jarinya pada rumah di seberang.

Hedia dapat melihat dengan jelas raut wajah wanita itu agak melunak. Ia mendengus kecil untuk menyalurkan kekesalannya. Marga segera meraih tangan istrinya untuk ditautkan dengan jarinya sendiri. Salah satu cara untuk menenangkan Hedia yang sedang marah.

Si wanita tua mematikan keran airnya. "Ayo, masuk ke dalem," ajaknya yang kemudian tersenyum.

Istilah manusia bermuka dua sangat cocok untuk disampirkan oleh wanita tua itu. Hedia bersumpah wajah wanita itu sangat berbeda saat pertama kali berjumpa dan saat tersenyum. Bagaimana mungkin dari tampang tidak bersahabat menjadi tampang seseorang dengan jiwa keibuan yang tinggi.

"Sabar dulu, ya. Nanti aja marah-marahnya di rumah," bisik Marga yang kini sudah melingkarkan tangannya pada pundak Hedia. Sang istri memajukan mulutnya sekilas, memilih untuk mengikuti perkataan Marga untuk menahan rasa kesalnya.

"Duduk, duduk," ujar si wanita yang sudah duduk di sofa tunggal dengan dagu yang terangkat menyuruh Marga dan Hedia untuk mengambil tempat duduk.

Marga segera memegang tangan Hedia agar istrinya bisa menahan rasa kesalnya. Tanpa berbicara apapun, Marga menarik Hedia untuk segera duduk di sebelahnya.

"Bi, Bibi!" teriak si pemilik rumah.

Marga dan Hedia terdiam melihat hal tersebut. Menutup mulut mereka dengan rapat. Bahkan hingga wanita yang dipanggil Bibi itu sudah diberi titah dan kembali ke dalam rumah, Marga dan Hedia masih diam.

Marga segera tersadar. "Kenalin, Bu, saya Marga, dan ini istri saya, Hedia."

Hedia tersenyum setelah dirinya sudah diperkenalkan oleh Marga. Ia mencondongkan tubuhnya untuk meletakan bungkusan yang dibawa. "Ini ada kue jajanan pasar. Semoga suka, ya."

Wanita itu hanya melirik sekilas ke arah bungkusan yang diletakan di atas meja. Matanya kemudian beralih ke arah Marga dan Hedia. "Nama saya, Muna. Tinggal sendiri di sini. Paling ada pembantu sama supir aja. Suami udah meninggal, anak udah pada gede, udah ninggalin orangtuanya." Helaan napas kesal tidak terhindarkan dari Muna.

Desperate Housewives  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang