Ayah

775 144 108
                                    

"A'a besok lusa pesawat jam berapa? Biar aku gampang nyiapin keperluan kerja A'a."

Jihan menaiki kasur setelah menyelesaikan perawatan malam pada kulitnya. Tanpa ragu memeluk Soekma yang sudah berbaring di atas kasur.

"A?" Jihan memanggil suaminya yang hanya diam menatap langit kamarnya.

Soekma memiringkan posisi tubuhnya dengan lengan yang menumpu kepalanya. Ia menatap ke dalam mata istrinya.

Tatapan tersebut begitu lembut. Tapi Jihan tahu, ada hal lain di tatapan tersebut.

"Gak perlu nyiapin apa-apa. Aku gak akan balik ke Kalimantan. Aku gak akan kerja jauh lagi."

Jihan menatap bingung. Tidak mengerti dengan ucapan suaminya.

"Maafin aku, ya. Harusnya aku bantu kamu untuk rawat anak-anak. Aku gak pernah tahu kesusahan kamu ngerawat anak-anak."

Jihan tertawa sumbang. "A, gak perlu, ... ,"

"Ini demi keluarga kita, Jihan. Rai dan Ari gak kenal aku. Mereka lebih kenal Julio. Aku jadi mikir, aku sebenernya ada gak di setiap momen berharga mereka? Aku gak mau kehilangan momen berharga lainnya sama anak-anak aku. Aku masih bisa memperbaiki semuanya. Aku mau deket sama anak-anak aku. Aku mau kenal mereka, dan aku mau mereka kenal aku sebagai ayah yang sesungguhnya, bukan hanya titel Ayah."

Air mata mengalir begitu saja dari mata Jihan. Ia merasa terharu dengan apa yang diucapkan oleh suaminya.

"Padahal aku yang egois karena gak mau ikut ke Kalimantan. Maaf, ya, A."

Soekma menggelengkan kepalanya. Tatapan lembut masih bersarang di matanya. Jempol tangannya terangkat untuk mengusap air mata yang berada di wajah istrinya.

"Aku ngerti kenapa kamu pilih gak ikut aku  ke Kalimantan. Karena di sini nyaman dan hangat. Tetangga kita di perumahan ini kaya keluarga satu sama lain. Kecuali Karen, iya, tau."

Jihan terkekeh mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Soekma dengan cepat.

"Aku udah dapet surat rekomendasi dari Mas Yuta, berhubung dia petinggi di SM Otomotif, aku minta sedikit bantuan dia. Untuk aku teknik elektro, jadi aku gak mesti kerja di tambang. Aku bisa pulang setiap hari, gak perlu nunggu tiga bulan."

"Jadi, besok A'a udah mulai kerja di SM Otomotif?"

Soekma mengangguk. "Doain lancar, ya. Mas Yuta masalahnya lebih pinter dari aku. Aku takut gak sesuai harapan dia."

Jihan menepuk pelan pipi tirus Soekma. "A'a pasti bisa. Aku percaya sama A'a."

"Besok, aku aja yang anter Bisma dan kembar. Kamu jaga Michelle aja di rumah, ya."

Jihan tersenyum lebar. "Makasih, ya, A."

"Aku juga makasih, Jihan."

.
.
.

Julio menghentikan langkah kakinya menuju meja makan. Alisnya menyatu dengan mata yang menatap awas ke arah Taliya. Kakinya bergerak pelan mendekati meja makan seolah Taliya adalah seorang musuh yang harus diwaspadai.

"Kamu bilang, kamu mau resign?"

Taliya menolehkan kepalanya menatap ke arah Julio. Ia mendekati suaminya dan melepaskan tangan yang menempel pada dasi yang menggantung di leher. Dengan cekatan segera menyimpulkan dasi di leher Julio.

"Ya kan gak bisa langsung keluar. Kerjaan aku masih banyak, kantor belum nemu pengganti aku. Belum nanti harus training pegawai baru dulu. Paling lama lima bulan lah baru aku bisa keluar." Taliya menepuk pundak Julio saat dasi tersebut sudah tersimpul rapi.

Desperate Housewives  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang