3. Hari Minggu

951 168 50
                                    

"Mama," panggil Anna dari dalam rumah. Tidak menemukan keberadaan Ibunya sama sekali.

Kakinya pun kini melangkah ke belakang rumah, hendak mencari Ibunya di sana. Biasanya hari Minggu pagi Mirna akan menyempatkan diri untuk merawat tanamannya. Dan juga tanaman peninggalan suaminya. 

"Ma," panggil Anna lagi.

Mirna menoleh dan tersenyum lembut. "Sini, sini. Kenapa?"

Anna berjongkok di sebelah Mirna. Tangannya ikut meraih rumput untuk dicabut dari sekitar tanaman hias. "Kak Yuki ngajak aku pergi. Boleh gak?"

"Ke mana?"

"Mau nonton aja di bioskop."

"Berdua aja? Ada Haka gak?"

Wajah Anna memerah malu. "Gak ada lah! Ngapain Kak Haka ikut," balas si gadis dengan malu.

Mirna terkekeh melihat tingkah putrinya. "Ya kan Mama gak tau, makanya nanya."

"Tapi perginya nanti, agak siangan. Nunggu Kak Nina pulang jalan sama Papanya dulu," ujar Anna mengalihkan pembicaraan. 

Anna mendudukan dirinya di tanah, pegal berjongkok. 

"Heh! Kotor dong celananya kalau kamu duduk di tanah. Ambil kursi sana."

"Ya kalau kotor tinggal cuci," balas Anna dengan kekehan dan senyum tanpa dosa.

Rasanya, Mirna tidak punya energi lagi untuk menegur anaknya. Biarlah anaknya duduk di tanah. Bukan dia juga yang mencuci baju.

"Aku sedih ditinggal Papa deh, Ma."

Mirna hanya diam mendengarkan. Tangannya masih fokus mengurusi tanamannya. 

"Aku emang iri sih sama temen-temen sekolah aku. Apalagi sama Kak Yuki. Dia selalu diperhatiin sama Papanya. Mau apa aja diturutin. Sedangkan aku gak punya Papa."

Kalian harus tahu kalau Mirna sudah meneteskan matanya karena merasakan rasa sakit di hatinya.

"Tapi, aku lebih bahagia kaya gini. Aku gak yakin kalau nanti Mama nikah lagi, kehidupan aku bakal kaya Kak Yuki atau Kak Nina. Kalau kaya Kak Yuki, aku bakal bersyukur banget. Tapi kalau kaya Kak Nina, gak dulu deh. Aku mending hidup kaya gini aja, cuman berdua sama Mama. Aku bahagia, kok."

Mirna menatap lembut anaknya. Tidak peduli air mata yang masih mengalir dari matanya. Ia melepaskan sarung tangannya dan menarik anaknya ke dalam pelukannya. 

"Maaf ya kalau Mama suka galak sama kamu. Mama suka marah dan ngedumel. Tapi kamu harus tau kalau Mama sayang banget sama kamu."

Anna ikut menangis. Tangannya melingkari badan Ibunya. "Mama makasih udah sabar mendidik aku, ya. Makasih karena aku selalu di urutan pertama untuk Mama. Aku tau Mama kena peringatan karena ninggalin pekerjaan buat jemput aku di sekolah karena aku sakit."

Mirna melepaskan pelukan mereka. Tangannya terangkat untuk menghapus air mata yang mengalir di wajah Anna. "Gak apa-apa. Mama udah seharusnya ngelakuin. Kalau pun Mama dipecat, Mama gak bakal nyesel. Karena Mama cuman lakuin apa yang seorang Ibu harus lakuin."

"Kamu cuman harus belajar yang giat. Terus jadi dokter yang terpuji kaya Papa, ya? Atau jadi kaya Om Marga tetangga sebelah juga boleh. Gak perlu khawatir tentang Mama," ujar Mirna yang kemudian tersenyum lembut penuh ketenangan. 

Anna menganggukan kepalanya. "I love you, Ma."

"Love you too, my little girl."

.
.
.

Hedia dibuat bingung dengan Marga yang mengajak pulang lebih dulu sebelum ke rumah Bu Leila. Padahal sangat jelas Bu Leila ada di depan rumah sedang mengurusi bunga-bunganya. Nada bicara yang terdengar tidak seperti biasanya itu membuat Hedia menuruti ucapan Marga.

Desperate Housewives  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang