1. Hari Minggu

1K 174 81
                                    

Marga menunduk untuk mengecup pipi tembam Hedia yang masih tertidur pulas. Kekehan keluar begitu saja dari Marga saat melihat Hedia malah menutup dirinya dengan selimut. 

"Aku selesai masak sarapan, kamu udah rapi ya, cantik," ujar Marga yang kemudian berjalan ke arah ruang pakaian untuk berpakaian setelah mandi. 

Jika Marga sedang libur, lelaki itu memang lebih sigap dari Hedia. Bagaimana tidak, Marga sudah bangun dari jam 4.30 pagi. Sudah membaca berita terbaru, berolahraga, membaca jurnal, dan mandi. Sedangkan Hedia masih terbaring nyaman di atas kasur dengan kamar yang remang karena matahari yang sudah masuk dari sela tirai. Demi kenyamanan tidur istrinya, Marga sengaja tidak membuka tirai dan membiarkan lampu tetap padam.

"Baru jam 5, Mas," erang Hedia tanpa tahu jam sama sekali.

Marga hanya terkekeh. Membiarkan Hedia untuk tetap tidur. Entah bagaimana, Hedia pasti akan bangun saat sarapan yang dibuatnya sudah tersaji di atas meja makan. 

Sudah seperti kebiasaan, Hedia kini mendudukan dirinya di kursi makan saat Marga menyajikan makanan di atas meja makan. Hedia tersenyum senang dan mendongakan kepalanya. Marga pun menunduk untuk mendapatkan hadiahnya karena sudah memasak sarapan. Sebuah kecupan singkat di bibir sudah didapatkan Marga dari Hedia. 

"Habis sarapan, kita ke rumah Mbak Jihan dulu atau Bu Leila?"

Hedia mengedikan bahunya. Memilih untuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kantuk yang masih menderanya membuat ia tidak bisa berpikir.

"Sayang."

"Rumah Mbak Jihan terus Bu Leila," jawab Hedia dengan cepat.

"Oke. Kamu mau kasih apa ke mereka?"

"Udah, Mas. Aku ngajak Mas ke tetangga depan karena Mas belum ketemu sama mereka. Aku liat-liat juga Mas gak ada papasan sama sekali. Takutnya jadi fitnah."

Marga menganggukan kepalanya mengerti. Mereka kemudian kembali menyantap makan pagi mereka dengan tenang. Ada obrolan santai di sana. Tidak ada obrolan tentang rumah sakit, Hedia bisa muntah.

BRAK

"AAAAA!!! ARIII!!! RAIII!!!"

"HAHAHAHAHA. KABUUR!!"

Marga dan Hedia segera menuju depan rumah untuk mengintip kegaduhan apa yang dibuat oleh si bocah kembar anak dari Soekma dan Jihan.

Hedia menahan pergelangan tangan Marga saat suaminya itu hendak membuka pintu. "Mau ke mana?"

"Itu lho, Karen jatoh dari sepeda gara-gara si kembar."

"Gak boleh! Biarin aja dia bangun sendiri. Cuman jatoh dari sepeda ini."

Marga tersenyum lembut. Tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala sang istri. "Jatoh dari sepeda juga bisa menyebabkan patah tulang lho, jangan diremehin. Apalagi posisi jatohnya, sepeda nimpa badan," jelas Marga dengan lembut.

"Ya kan tapi Mas dokter saraf, bukan dokter tulang. Mending diem aja di sini."

Bukannya marah, Marga terkekeh. Merasa lucu dengan tingkah Hedia. "Tapi pas co-ass, Mas belajar tulang, cantik."

"Mas~" rengek Hedia.

"Liat tuh, sekarang dia  udah berdiri sambil teriak-teriak ke Mbak Jihan." Hedia menunjuk ke luar jendela. Berusaha menahan Marga agar tidak membantu Karen. "Pasti dia udah baik-baik aja itu. Udah punya tenaga buat marah ke Mbak Jihan."

Marga menghela napas pelan. Memilih mengalah dan menarik Hedia ke dalam pelukannya. "Udah ya, gak usah cemburu. Mas gak bantu Karen."

"Ya emang harusnya gitu! Lagi libur kok tetep kerja. Istirahatlah. Ada orang yang perlu kamu perhatiin juga selain pasien kamu."

Desperate Housewives  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang