Masih Cerita di Pagi Hari

764 147 145
                                    

Telma memakan sarapannya tanpa nafsu sama sekali. Memikirkan dirinya akan bertemu dengan Dona hari ini membuatnya tidak nafsu makan. Ditambah permintaan Dona untuk datang ke lokasi jam tujuh pagi. 

Untung saja Johnson berbaik hati membuatkan sarapan, jadinya Telma tidak akan pergi tanpa makanan. Percayalah, masakan Telma akan berubah menjadi your worst nighmare jika dimasak dalam keadaan marah. 

"Mbak Iyem disuruh tinggal di rumah gak mau sih. Jadi aja kamu harus masak sepagi ini. Si Dona juga ngide banget ketemuan jam tujuh," gerutu Telma dengan kesal. 

Telma menatap tajam ke arah Johnson. "Gak usah nyuruh aku sabar. Gak bisa sabar aku."

Johnson hanya diam. Tangannya yang memegang sendok berisi makanan terulur ke arah Telma. "Aaaaaa," ujar Johnson seraya membuka mulutnya sendiri. 

Sang istri tertawa, moodnya kembali membaik. Dengan senang hati menerima suapan dari suaminya. 

"Kalau Dona bikin kamu makin kesal, kasih tau aku."

"Udah setiap hari aku nyeritain tentang kekesalan aku. Tanpa perlu kamu suruh, udah aku ceritain semuanya."

Johnson hanya diam. Tangannya dengan aktif menyuapkan makanan ke dalam mulut istrinya. Salah satu cara agar Telma tidak menggerutu kesal karena janji temu dengan Dona.

"Kamu gak masalah kerja di rumah?" Telma mengambil gelas berisi air mineral yang diberikan oleh Johnson.

Sang suami mengangguk. "Iya, gak apa-apa.  Kerjaan hari ini bisa handle dari mana aja kok. Gak usah khawatir, Jay aman sama Daddy-nya."

"Ya emang harus aman sama Daddy-nya."

.
.
.

"Yuki," panggil Haka dengan mengetuk pintu kamar adik kembarnya. 

Jam saat ini masih menunjukan pukul setengah enam pagi. Biasanya, Winnie dan Yuta sudah bangun. Winnie yang sibuk di dapur, dan Yuta yang berolahraga di ruang gym dalam rumah. Namun pagi ini, Haka tidak menemukan keduanya di dapur maupun di ruang gym.

Pintu terbuka dan menampilkan Yuki dengan mata sembabnya. 

"Kamu nangis?"

Yuki tidak menjawab. Ia memilih untuk membuka pintu kamarnya, mengizinkan Haka masuk ke dalam kamar. Kedua saudara itu duduk berhadapan di atas sofa di dekat jendela. 

"Kemarin aku ke luar kamar, Haka."

Haka terdiam. Ia menyerahkan tisu kepada Yuki yang kembali menangis. 

"Kemarin, pas aku habis dari dapur, aku lihat Grandpa ke luar dari ruang kerja Papa. Gak lama, Papa ke luar ruang kerja juga. Papa jalan gak tegak kaya biasanya, Haka. Punggung Papa, ... ,"

Haka segera meraih Yuki ke dalam pelukannya. "Udah, gak usah dilanjut. I know what you see. Karena aku juga lihat apa yang kamu lihat."

Yuki mendongak menatap Haka. 

"Last night, I want to check your room. We are twins, we share same feeling. Pas aku buka pintu kamar, aku lihat Papa baru masuk ke dalam kamarnya. Dan aku juga lihat punggung Papa."

"Apa karena aku nelpon Grandma dan bilang kalau Mama sakit?"

Haka menghela napas pelan. Ia menjauhkan adiknya dan menatap tepat di matanya. "Bisa jadi. Grandpa once told me 'how to become a man.'" Haka menggerakan dua jari kanan dan kiri di sisi kepalanya. "Terlalu banyak kalau aku kasih tau ke kamu. Tapi intinya, Papa bakal kasih hukuman cambuk untuk anak lelakinya. Kalau Papa gak ada, berarti Grandpa yang harus kasih hukuman. Aku sering banget berbuat kesalahan dari apa yang dikasih tau Grandpa. Tapi, Papa gak pernah kasih hukuman cambuk kaya apa yang diceritain Grandpa."

Desperate Housewives  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang