2. Setiap Rumah Ada Cerita

761 137 25
                                    

"Aku gak tau ya Jo salah aku tuh apa."

Johnson sedari tadi hanya bisa duduk tegak di atas sofa dengan Telma yang terus berjalan bolak-balik di hadapannya dengan ocehan yang tidak selesai. Tidak, Johnson tidak melakukan kesalahan apapun. Tapi Telma membuatnya seolah-olah Johnson memiliki kesalahan besar. 

"Mulutnya yang suka komplain rancangan aku tuh pengen aku sobekin rasanya."

"Kalau ngebunuh gak masuk penjara, udah aku bunuh dari lama itu orang."

Rasanya, omongan Telma harus dihentikan. Sebelum wanita itu semakin melantur tidak jelas. 

"Babe?"

Telma menghela napas dengan kencang. "Aku ke kamar Jay dulu," pamitnya yang segera berlalu dari sana.

Johnson tahu jika istrinya saat ini sangat marah. Karena itu Telma langsung melarikan diri ke kamar Jay. Itu adalah salah satu cara untuk Telma meredakan amarahnya. Johnson sangat ingat tentang itu. Kakinya pun kini ikut melangkah menyusul istri dan anaknya.

Sang suami hanya bersandar pada kusen pintu. Melihat Telma yang sedang asik memandang Jay yang tidur dengan nyaman di dalam tempat tidur khusus. Hanya seperti itu saja bisa membuat Telma bisa sangat tenang. Johnson sendiri juga tidak ingin menepis sebuah fakta jika Jay memberikan sebuah ketenangan dan kesenangan baru di dalam rumah. 

Suara isakan samar membuat Johnson berdiri tegak dan berjalan ke arah istrinya. Mendudukan dirinya di samping Telma. Merangkul pundak si cantik yang bergetar karena menangis. 

Johnson hanya diam, membiarkan malam itu diisi dengan isakan dari Telma. Mungkin besok. Johnson akan berbicara dengan Telma besok. Ketika Telma sudah bisa berpikir dengan tenang.

.
.
.

"Li."

Taliya berjalan dengan perlahan memasuki kamar. Julio tidak pernah seperti ini. Taliya jadi takut untuk memasuki kamar. Biasanya, jika Taliya baru membuka pintu kamar, Julio langsung melupakan apapun kegiatannya, menatap Taliya dengan senyum kekanakannya. Namun hari ini tidak.

Kakinya tidak berani melangkah semakin memasuki kamar. Hanya bisa diam dengan kepala tertunduk. Dalam diamnya, Taliya menangis. 

Julio melihat ke arah Taliya yang hanya terdiam di dekat pintu dengan kedua tangan lentiknya memainkan ujung bajunya. Buku yang sedari tadi berada dalam pegangannya ditutup, diletakan di atas meja nakas. 

"Sini," ujar Julio dengan lembut. Tangannya menepuk sebelah kasur, meminta sang istri untuk duduk di dekatnya. 

Dengan ragu, Taliya melangkah mendekat ke arah kasur. Pelan-pelan ia mendudukan diri di pinggir kasur. Hanya berani sampai di situ. 

"Di sini, Li." Julio kembali menepuk sebelahnya. Namun Taliya hanya diam. Tidak ingin semakin dekat dengan Julio. Entah kenapa, Taliya sangat takut dengan suaminya malam ini. 

Julio mengalah. Badannya bergerak mendekat ke arah Taliya yang berada di pinggir kasur. Memeluk istrinya dari belakang dari meletakan dagu di bahu sempit Taliya. "Aku bau ketek ya? Makanya kamu gak mau deket-deket aku?"

Kedua ujung bibir Taliya tertarik berlawanan arah. Matanya menatap Julio yang menampilkan wajah sedih. Tidak lama, suara tawa lembut keluar dari mulut Taliya. Julio ikut tertawa melihat istrinya sudah gembira. 

"Nggak, gak bau ketek. Kamu wangi."

Julio menampilkan raut wajah jahilnya. "Masa sih? Coba cium aku dong."

Taliya meletakan telapak tangannya pada wajah Julio, menjauhkan wajah sang suami darinya. Ia kemudian berdiri dari duduknya. Tanpa ragu untuk mengubah posisi dan mendudukan dirinya dalam pangkuan Julio. 

"Julio Arsalan, suami aku yang paling baik. Suami aku yang paling aku sayang. Suamia aku yang gak ada duanya di dunia."

Julio tersenyum sombong mendengar hal tersebut. 

"Ish, mukanya serius dulu. Aku mau ngomong," protes Taliya. 

"Ngapain serius-serius sih, ... ,"

"Apa? Mau bilang yang serius aja belum tentu jadi? Kita kan udah nikah, gak usah ngaco. Tinggal nunggu small bean gede aja."

Julio membulatkan matanya. Tangan besarnya segera menuju perut rata istrinya. "Ada baby-nya?"

Taliya mengedikan bahunya. "Gak tau sih, aku cuman asal ngomong. Liat besok aja. Kalau aku haid, berarti gak ada. Kalau gak haid, kita ke dokter kandungan."

"Yaelah. Kalau mau jail jangan gini napa."

"Mau banget, ya?"

Julio mengangguk lemah. "Pengen main petak umpet bareng. Main sama kembarnya Mbak Jihan aku dijailin mulu. Capek."

"Ya kamunya juga jail sih lagian."

"Ya kan, --- ,"

"Udah, stop. Aku mau ngobrol hal lain," sela Taliya, dan Julio segera menutup mulutnya. 

"Aku mau minta maaf atas hal tadi. Mulai sekarang, aku bakal berusaha untuk nolak permintaan Papa. Kamu bener, Li. Aku kayanya gak pernah dapet ucapan terima kasih dari Papa ata segala bantuan yang aku kasih. Atas segala mimpi yang harus aku buang, aku gak pernah dapet apresiasi atas hal itu....

... Li, terima kasih ya, udah jadi suami aku. Kamu udah jadi suami yang sempurna untuk aku. Selama di bawah tadi, aku jadi mikir masa-masa bersama kita dan masa-masa aku bersama orangtua dan adik aku. Aku baru sadar, aku gak pernah disayang sesayang ini sama orang, Li. Kamu yang bikin aku  ngerasa sangat disayang. Dan selama sama orangtua aku, aku gak pernah ngerasa seberharga ini, Li. Maaf udah bikin kamu kecewa yaa, Li."

Julio tersenyum lembut. Tangannya menyisir rambut terurai Taliya. "Kamu boleh tunjukin rasa sayang kamu ke keluarga yang membesarkan kamu. Tapi kamu harus inget, gak semua orang nanggepin itu sebagai rasa sayang. Ada orang yang bisa aja mikir Si Taliya aja. Dia anaknya iya-iya aja kalau diminta. Makanya aku gak kasih kamu uang sebanyak itu walaupun sebenernya aku punya. Berkali-kali lipat malah. Cuman aku gak mau, aku gak mau istri aku dimanfaatin sama keluarga yang udah membesarkan dia."

Julio mengecup bibir tipis Taliya. "Nanti, kalau Papa ngajak ketemu dan minta bantuan lagi, jawab aja, Langsung minta ke Julio aja, Pa. Julio yang punya uang. Terus kalau Papa masih maksa, bales aja kaya gini, Uang segitu, Julio yang punya, Pa. Uang aku sekarang untuk sekolah Leil. Kan kemaren uangnya dipake Papa. Jadi aku harus nabung dari awal lagi. Ngerti?"

Taliya menganggukan kepalanya pelan. Ia menghela napas pelan karena merasa sedikit ragu. "Bakal aku coba sebisa aku. Dan aku akan berusaha untuk gak bikin kamu marah untuk kedua kalinya. Aku takut banget liat kamu di bawah tadi. Malah ayam yang kamu goreng gak dimakan udah gitu."

"Oh iya, ayam!" ujar Julio dengan heboh. "Pantes pas aku naik ke kasur kaya ada yang kurang. Aku belum makan ternyata." Julio terkekeh dengan kebodohannya sendiri.

"Makan aku aja, Li. Bekel sebelum tujuh hari harus puasa."

Julio tersenyum lebar. Ia segera mengubah posisinya. Dengan senang hati menerima tawaran Taliya.



TBC


hai peeps, Hugo here! 🐣

Maaf chapter ini pendek. Aku lagi sakit. Cuman aku udah lama gak berinteraksi sama kalian, jadi aku update deh 😊

Kalau kalian baca ulang Dicari: Suami Hedia Ver., empat chapter terakhir ada di Karyakarsa yaa. Linknya ada di profil aku. Kalian kalau mau kasih tips ke aku juga bisa lewat Karyakarsa (gak maksa). Kemungkinan, pas buku ini udah selesai juga bakal dipindahin ke Karyakarsa. Kalau kalian mau tau kenapa aku mulai aktif di Karyakarsa, kalian boleh cek Hugo's Archive di chapter terakhir.

see you next chap peeps! 🙌🏽

Desperate Housewives  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang