(Bukan) Ibu yang Baik

852 150 50
                                    

Jihan berlari dengan mata yang sibuk melihat ke seluruh isi bangunan di mana ia meninggalkan anak kembarnya. Ini kedua kalinya Jihan kembali ke tempat yang sama, berharap bisa menemukan dua anaknya. Michelle sudah aman bersama Winnie, Jihan tidak perlu khawatir dengan keadaan anak bungsunya.

Tidak mendapatkan hasil apapun, Jihan kembali ke dalam mobil. Air mata yang tertahan akhirnya keluar. Jihan menangis. Menyesali segala perbuatannya. Menyalahkan dirinya yang berhasil terhasut setan dalam dirinya. Jihan mengakui jika dirinya memang bukan Ibu yang baik. Apa yang bisa diharapkan dari wanita berumur 36 tahun yang sudah memiliki empat anak dengan yang paling tua berumur 10 tahun.

Getaran halus dan panjang dari ponselnya membuat Jihan menghentikan tangisannya. Wanita itu takut jika yang menelpon adalah suaminya, Soekma.

Mengatur napasnya sesaat, Jihan mengambil ponsel yang berada di atas jok di sebelahnya. Matanya terpejam sesaat ketika melihat nama tetangganya di layar ponsel.

"Halo, Hedia," sapanya dengan tenang.

"Mbak, Mas Marga tadi ketemu sama si kembar. Sekarang mereka sama Mas Marga. Diajakin ke supermarket dulu, nanti dianter ke rumah dengan selamat. Maaf baru ngabarin, Mbak."

Jihan menghela napas lega dan terisak. "Makasih, ... , makasih Hedia."

Panggilan segera dimatikan secara sepihak oleh Jihan. Wanita itu sudah tidak sanggup menahan tangisannya lagi. Lega luar biasa. Tapi rasa bersalah itu masih ada di sana. Di bagian terdalam hatinya. Jihan mempertanyakan di mana perasaan kemanusiaannya terhadap anaknya sendiri.

Mobil itu dijalankan lagi. Namun, kemudi tersebut tidak mengarah ke arah rumah. Entah bagaimana, Jihan menghentikan mobil di salah satu taman dengan lapangan luas.

Jihan mendudukan dirinya di pinggir lapangan. Dengan mata sembabnya, Jihan tersenyum kecil melihat anak-anak yang bermain dengan ceria. Air matanya kembali mengalir saat melihat seorang Ibu menyuapi anaknya dengan nasi dan lauk berkuah. Tangannya segera bergerak menghapus air mata yang mengalir.

"Aku emang gak bisa jadi Ibu."

.
.
.

Ting Tong!

"Mas aja yang buka," ujar Marga yang langsung melangkah ke arah pintu utama. Berpikir jika itu adalah Jihan yang akan menjemput Rai dan Ari.

Hedia mengangguk. Ia sedang sibuk menemani si kembar yang asik bermain dengan clay.

"Eh, Bisma. Mau jemput adek-adek kamu, ya?"

Bisma menyatukan alisnya. "Ada adik aku di dalam? Aku ke sini mau ketemu Tante Hedia. Bunda belum pulang soalnya. Dari tadi aku tunggu di rumah, tapi Bunda belum pulang. Aku udah laper. Aku mau minta tolong Tante Hedia buat telpon Bunda."

Marga menyilakan Bisma untuk masuk ke dalam. Ia menghela napas pelan saat Bisma sudah berlari memasuki rumah. Bukan tidak suka dengan keberadaan bocah-bocah di rumahnya. Namun, ia kebingungan dengan sikap Jihan yang menelantarkan anak-anaknya.

Matanya membulat mengingat sesuatu. Kakinya melangkah cepat ke belakang rumah.

"Bisma, adik Michelle ada di rumah?" tanya Marga dengan lembut.

Bocah yang ditanya mengedikan bahunya. "Gak tau. Ikut Bunda kayanya. Di rumah aku sendiri, Om Marga."

Hedia dan Marga bertatapan. Keduanya sama-sama khawatir.

"Bisma mau makan apa? Rai dan Ari udah makan. Tadi katanya Bisma laper. Biar Om Marga pesenin makanan. Tante Hedia gak masak soalnya."

"Rai dan Ari tadi makan apa, Om? Samain aja sama mereka. Bunda bilang, gak boleh beda-beda kalau soal makanan. Harus saling berbagi dengan saudara."

Desperate Housewives  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang