00

2.5K 184 7
                                    

[Bahasa baku, disarankan untuk 17 tahun ke atas, karena bertema pernikahan, pembahasan, dan konflik cukup berat]

▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎

"Caramel?"

"Carmel."

"Aku ingin menyebut namamu seperti itu,"

"Jangan mengubah nama seseorang sembarangan. Apa lagi jelas orang itu tidak mau."

Mark tersenyum, menatap lekat gadis bersurai hitam kemerahan itu. Matanya selalu menjadi candu bagi Mark untuk terus melihatnya. Apa lagi setelah lima tahun mereka tidak bertemu, ia rindu. Tatapan yang dulu penuh kegugupan, malu-malu, dan bahagia, kini menatapnya dengan tatapan dingin, tajam, dan berani. Ada sedikit secercah kemarahan juga di sana.

"You have a girlfriend." Ucap Carmel.

"So?"

Carmel tertawa sinis. "Kau bertanya kenapa? Aku juga punya pacar."

"Jeno bukan pacarmu, aku tahu. Dia hanya pria yang dekat denganmu, dan tidak bisa menjalin hubungan serius,"

"Aku yang tidak ingin ada hubungan lebih jauh dengannya."

Mark menarik ke atas sudut kiri bibirnya. "Why? Karena kau tahu dia tidak akan menjadi suami yang baik?"

"Dia pria baik, sangat baik. Dia tidak pernah menjanjikan seorang gadis kecil yang macam-macam seperti seseorang, lalu mengingkarinya." Mark seketika melihat tajam Carmel, yang baru saja menghunuskan pedang ke dadanya.

"Apa aku salah?" Lagi-lagi Mark dihunus pedang, yang membuatnya seolah langsung mati di tempat.

"Carmel, kalau aku sudah memutuskan untuk menikah, aku hanya akan hidup untuk istri dan keluargaku," ucap Mark, mencoba mencabut pedang dari dadanya.

Carmel terdiam, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ia tahu alasannya dijodohkan dengan Mark. Perusahaan yang dimilikinya, yang dirintisnya dari nol, memang belum besar, tetapi punya potensi besar. Sementara perusahaan keluarga Mark, dalam keadaan yang tidak stabil.

"Ahh, aku tidak tahu! Aku benar-benar bisa gila kalau menjadi istrimu! Bagaimana dengan pacarmu? Pikirkan perasaannya!"

Rahang Mark mengeras, sorot matanya menjadi dingin, membuat Carmel mengangkat sebelah alisnya.

"Apa?" Tanya gadis itu heran, sekaligus sedikit takut.

Mark membuka sedikit mulutnya, seperti hendak menjelaskan sesuatu. Namun berujung diam, dengan wajah berpaling dan terlihat frustasi.

"Terkadang perempuan tidak harus selalu mendukung perempuan." Suara Mark begitu kecil, hingga Carmel tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Apa kau bilang?"

"Tidak."

"Kalau kau bilang, kau sudah tidak mencintai pacarmu, atau ada masalah dalam hubungan kalian. Selesaikan, dan jangan libatkan aku." Tutur Carmel, sembari mengenakan tas selempangnya, kemudian bangkit berdiri.

"Kau mau kemana? Ini ruanganmu sendiri." Ucap Mark, sontak membuat Carmel menepuk keningnya.

Mark tertawa kecil, bahkan setelah gadis itu menjadi direktur utama, ia masih melakukan hal bodoh kecil.

"Kalau begitu silahkan pulang Mark Lee." Titah Carmel.

"Ahh, betapa tidak sopannya mengusir tamu. Padahal kita sudah lama tidak bertemu," ujar Mark.

"Itu karena kau yang memang tidak mau bertemu denganku."

Mark menatap Carmel lurus-lurus. Tidak bisa mengelak, ataupun memberi penjelasan dan alasan.

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang