04

721 106 5
                                    

Mark berdiri di depan pintu apartemen Carmel, dengan menenteng sebuah totebag persegi panjang, berisi wine. Carmel tentu dibuat terkejut dengan keberadaannya.

"Aku rasa kita harus bicara." Ucap Mark, yang Carmel respon dengan anggukkan.

Ia menekan pin apartemennya, kemudian mempersilahkan Mark masuk.

Dibanding apartemen Mark yang sangat mewah dan besar, apartemen Carmel termasuk sederhana. Tidak banyak perabot dan pajangan. Karena gadis itu sendiri jarang di rumah, dan tinggal sendiri, ia pikir tidak perlu rumah yang berlebihan, yang penting nyaman.

"Kenapa membawa wine?" Tanya Carmel, sesaat setelah Mark duduk di atas sofa abu-abu gelapnya.

"Kau tidak minum alkohol?"

"Aku jarang minum, tapi karena kau sudah bawa, aku akan minum. Aku ganti baju dan ambil gelas dulu."

Mark mengangguk, dan Carmel pun lekas pergi.

Sekitar dua puluh menit, Carmel kembali ke ruang tamu. Ia meletakkan dua buah gelas wine di atas meja, kemudian duduk di samping Mark, dengan jarak cukup jauh.

Pakaian formalnya, sudah berganti dengan baju piyama panjang, berwarna hitam. Riasannya sudah bersih, segala perhiasan yang menempel padanya, sudah dilepas.

Mark membuka tutup botol, kemudian menuangkan masing-masing gelas dengan wine.

"Apa yang mau kau bicarakan? Pembicaraan tadi belum cukup?" Tanya Carmel.

Mark meraih gelasnya, memutarnya sebentar, lalu meminumnya dalam sekali teguk.

"Tentu saja," ucap Mark. "Pembicaraan diantara kita, bahkan belum dimulai."

"Kau mau membahas syarat yang mana? Atau menambah syarat? Ahh... apa kau mau protes tentang sikapku pada orangtuamu? Sejujurnya aku pun merasa tidak enak. Tapi kau dan aku, sama-sama tahu bagaimana kerasnya ibumu. Pendapat dan perintahnya tidak pernah, dan tidak boleh terbantahkan,"

"Sama sepertimu." Mark tersenyum simpul, seraya mengisi kembali gelasnya yang sudah kosong.

"Kau masih berpikir untuk menikahiku? Kau yakin bisa memisahkan aku dan ibumu kalau bertengkar? Siapa yang akan kau bela nanti?"

Kali ini bukan hanya senyum, Mark juga tertawa.

"Tentu aku harus berpikir objektif, kalau itu terjadi. Tapi bisakah itu tidak terjadi?" Tutur Mark.

Carmel terdiam sesaat, untuk menyesap cairan berwarna merah keunguan itu.

"Mark, aku bukan istri dan menantu yang baik untukmu, atau siapapun. Sejujurnya... aku menyesali apa yang sudah aku lakukan tadi, tapi... kalau aku tidak begitu, pendapatku tidak akan didengar. Hah, astaga, apa-apaan aku ini? Aku menyesal, tapi masih membela diri."

Mark mengangguk-angguk. "Aku mengerti. Itu demi kemerdekaan diri kita sendiri, kau tidak menyakiti siapapun."

"Aku menyakiti hati dan harga diri orangtuaku, dan mungkin orangtuamu juga,"

"Kalau mereka dari awal menerima pilihan dan pendapatmu secara terbuka, mereka tidak akan tersakiti."

"Kau tidak boleh subjektif. Rasanya kau seperti ingin membela aku terus. Berikan aku pendapat pribadimu yang valid atas sikap aroganku."

"Kau memang aneh," gumam Mark. "Aku memberi pernyataan yang valid. Awalnya aku marah, jujur saja, aku... terkejut denganmu yang seperti itu. Tapi saat aku mencoba berpikir dengan kepala dan perasaan yang tenang, juga terbuka, aku tidak menemukan kesalahan. Caramu memang agak kasar. Aku akui itu salah, aku tidak suka, tapi aku juga tidak punya solusi, untukmu menyampaikan hal itu dengan lembut,"

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang