Mark mendatangi apartemen Wren, sambil membawa makanan. Namun yang membukakan pintu bukan Wren atau pun, tetapi Jaemin.
Ia sempat mematung, dengan mata melebar. Sementara Jaemin terus menyunggingkan senyum, sampai Mark tersadar sendiri dari keterkejutannya.
"Kenapa kau ada di sini?" Tanya Mark.
Jaemin pura-pura terkejut. "Kau tidak tahu?"
Mark mengernyit. "Tidak tahu apa?"
"Aku dan Wren memutuskan untuk bersama,"
"Bukankah Wren sudah menolakmu?"
"Dia mengambil keputusan yang terburu-buru kemarin. Setelah memikirkannya dengan kepala dan hati yang dingin, dia berubah pikiran." Papar Jaemin.
"Lalu ada apa kau kemari? Bukannya pulang. Memangnya istrimu tidak menunggu di rumah?"
Mark diam. Ia bingung. Seolah sekelilingnya seketika hancur berantakan.
"Karena sudah terlanjur ke sini, masuk saja, kita makan malam bersama. Kebetulan aku baru selesai masak,"
"Hah? Kau masak?"
"Hei-hei, kau meremehkan aku? Aku ini jago masak tahu! Ayo masuk, agar kau percaya!"
Mark akhirnya mengikuti Jaemin masuk ke dalam. Ia melihat Wren sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.
Melihat Mark, Wren langsung berdiri dan menyambutnya, seolah tidak terjadi sesuatu. Padahal ia jelas tahu, bagaimana perasaan Mark saat ini.
•••
Carmel hanya duduk, menikmati kopi panas, sambil melihat Iliana dan Jeno main bulutangkis.
Mereka sudah kembali ke villa, setelah berjalan-jalan sekitar satu jam. Selain jalan-jalan, mereka juga membeli makanan. Rencananya mereka akan membuat sup dan bakar daging untuk makan malam.
Jeno sesekali melirik Carmel yang tidak menunjukkan perasaan apapun. Sedih, senang, ataupun gusar. Tapi justru itu menunjukkan, betapa banyak beban pikirannya saat ini.
Jeno melirik Iliana yang sedang mengatur napasnya, setelah lompat sana-sini. Menyadari tatapan Jeno, Iliana tahu pria itu ingin diberi ruang bicara dengan Carmel.
"Aku mau ambil minum dulu ya ke dalam." Ucap Iliana, kemudian berlari masuk ke dalam villa.
Jeno mendekati Carmel yang duduk di pinggir teras, sembari menyeka keringatnya dengan ujung kaos.
Carmel otomatis menoleh, saat Jeno duduk di sebelahnya.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Tanya Jeno.
"Aku baik-baik saja," jawab Carmel.
"Tubuhmu, pikiranmu, perasaanmu? Semuanya oke?"
Carmel mengangguk sembari tersenyum simpul.
"Sebenarnya... kalau kau tidak sedang baik-baik saja, kau tidak perlu menutupinya dariku." Ucap Jeno.
Carmel diam sejenak, dengan ibu jari tangan kanannya, mengusap-usap mug kopinya. Ia lalu menundukkan kepalanya, dan akhirnya melepaskan air matanya.
Jeno tidak melakukan apapun, ia hanya diam di samping Carmel, dengan sebelah tangan mengusap sebelah bahu gadis itu.
Sekitar tujuh menit, tangisan Carmel mulai mereda. Ia mengangkat kepalanya, dan mengusap air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel | Mark Lee ✔️
FanfictionBagi Carmel, Mark sudah cerita lama. Sudah basi, sudah busuk. Carmel memutuskan melupakan Mark. Namun sesuatu terjadi hingga mereka harus menikah, tidak peduli kalau keduanya sama-sama sudah memiliki kekasih. Segala penolakan yang Carmel buat, untuk...