02

868 140 8
                                    

Carmel pulang ke rumah orangtuanya saat pulang kerja, bermaksud hendak menjernihkan pikirannya dengan bertemu sang ibu. Namun yang ia dapati, justru sebaliknya.

Ibunya membahas soal perjodohannya dengan Mark, dan dari sorot matanya, terlihat setitik harapan. Beliau tahu pasti, anak gadisnya memiliki rasa percaya yang sangat minim terhadap laki-laki dan sebuah pernikahan, jadi ia tidak memberi harapan besar, bahwa Carmel mau menerima perjodohannya dengan Mark.

"Mark itu laki-laki baik ya?" Gumam ibu, yang sedang memangku adik Carmel yang baru berusia empat tahun.

Jangan terkejut, Carmel juga tidak percaya, di usianya yang kedua puluh tahun, memiliki adik lagi.

"Kalau baik, dia tidak akan bilang 'telingaku akan selalu terbuka untuk mendengar ceritamu', lalu tak ada seminggu bilang 'kau sangat menggangguku'. Padahal aku belum menghubunginya sama sekali sejak seminggu lalu dia berkata begitu," ujar Carmel.

"Ahh, kau masih dendam dengan kejadian enam tahun yang lalu?" Kekeh ibu.

"Aku terluka," ucap Carmel. "Ibu cerailah dengan ayah, lalu ikut tinggal denganku."

Ibu terkejut mendengar penuturan terakhir Carmel.

"Aku sudah tahu, tidak mungkin aku tidak tahu."

Ibu diam, menatap putra kecilnya yang sedang memakan donat yang dibawakan Carmel.

"Carmel, Ibu sangat mencintai ayahmu. Dan Zander sangat dekat dengan ayahnya. Ayahmu juga bukan ayah yang buruk,"

"Dia suami yang buruk."

"Tidak... dia masih mencintai Ibu. Kau lihat sendiri? Ada Zander, ayah masih menafkahi dan tidak pernah kasar pada Ibu,"

"Ah, Ibu! Ck, berhentilah memaklumi tingkah ayah! Tingkahnya memalukan! Apa Ibu tidak terluka? Apa Ibu tidak sakit hati?"

"Carmel, Ibu benar-benar masih mencintai ayahmu. Bahagia Ibu, adalah ayah."

"Apa Ibu tidak mencintai diri Ibu sendiri? Bagaimana dengan perasaan Ibu, huh?"

"Selama masih bersama ayah, Ibu baik-baik saja."

"Lalu bagaimana kalau ayah punya hubungan lagi dengan wanita lain yang memiliki anak laki-laki, aku harus bercerai dengan Mark dan menikahinya? Begitu?"

Ibu benar-benar orang yang sangat tenang, sehingga ia menanggapi segala hal dengan santai dan tenang pula, yang membuat Carmel geregetan. Apa lagi Carmel sendiri, tipikal orang yang meledak-ledak.

"Ibu Mark adalah masa lalu ayah. Itu sebabnya semua ini terjadi. Ayah orang yang setia, terlalu setia, sampai sulit melupakan cinta pertamanya. Dan sudah waktunya, sekarang dia melupakan. Dengan kau dan Mark menikah, Ibu yakin dia akan sadar." Tutur ibu.

"Tapi seharusnya kalau sudah menikah, ayah berprinsip." Gumam Carmel.

"Bukan berarti ia jahat. Dia hanya sedang buta," timpal ibu. "Ayah tidak pernah melakukan hal sejauh yang kau bayangkan."

"Ibu juga sedang buta. Meskipun tidak sejauh yang aku bayangkan, tindakannya tetap salah." Decak Carmel sinis, yang tidak direspon ibu.

"Kalau begitu aku akan menjadi seperti ibu," dengus Carmel.

"Apa maksudmu?"

"Mark punya kekasih, dan dia sangat setia dengan kekasihnya, tidak peduli kekasihnya itu sudah menyakitinya."

Ibu lagi-lagi diam tidak merespon. Carmel tahu, setitik harapan itu akhirnya hilang.

"Aku butuh waktu untuk berpikir." Ucap Carmel kemudian.

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang