13

681 93 5
                                    

Jeno menemani Carmel menunggu Mark kembali dari mengantar Wren. Aula sudah sepi, hanya tinggal petugas kebersihan yang mondar-mandir. Carmel memberi tips pada setiap petugas kebersihan, sementara Jeno lari-lari ke sana-kemari.

"Terimakasih atas kerja kerasnya." Ucap Carmel sembari menyelipkan amplop pada petugas yang lewat di depannya.

"Jeno!" Pekik Carmel, melihat pria itu tiba-tiba duduk di lantai, dan hendak tiduran di sana. Dengan setengah berlari, ia menghampiri Jeno, kemudian menariknya agar berdiri.

"Aku pesankan kamar saja ya?"

Carmel pun membopong Jeno, hendak membawanya keluar aula. Tepat setibanya ia dan Jeno di depan pintu aula, Mark muncul.

"Jeno mabuk berat, aku mau pesankan kamar. Bisa bantu bopong dia?" Ujar Carmel, yang Mark respon dengan anggukkan.

"Hei, brengsek!" Jeno tiba-tiba berteriak, saat tubuhnya berpindah ke Mark, "aku sudah menyerahkan Carmel padamu, tapi kau malah pergi dengan mantan pacarmu. Brengsek!"

Mark mengusap telinganya, yang Jeno teriaki.

"Untung Carmel tidak bodoh, dia akan menceraikanmu kalau kau macam-macam!"

Mark mendengus. "Apa ada lakban?"

"Ck, abaikan saja, dia hanya sedang mabuk." Timpal Carmel.

Setelah mengantar Jeno ke kamarnya, Mark dan Carmel pergi ke kamar mereka.

"Aku benar-benar hanya mengantar Wren pulang," ujar Mark, sembari menutup pintu.

"Yaa... ya sudah, memangnya kenapa? Aku percaya." Jawab Carmel.

"Dia sedang hamil, sekarang masih trimester pertama, makanya dia mual-mual, wajahnya juga pucat sekali tadi. Dan dia menghadapinya sendirian," tutur Mark.

Carmel ingin bilang 'ya sudah, temani saja dia, kasihan', tapi ia mengingat kata-kata Jeno, agar tidak terlalu longgar. Walau sebenarnya tidak peduli, tapi ini menyangkut harga diri dan nama baik, yang bisa tercoreng, kalau sampai terjadi sesuatu yang memalukan. Perselingkuhan.

"Keluarganya tidak ada?" Tanya Carmel.

"Dia dulu hanya bersama ibunya, tapi sudah meninggal setahun yang lalu. Jadi yaa... sekarang dia sendirian," jawab Mark.

"Aku akan mengirim seseorang untuk merawat dan menemaninya,"

"Apa? Kau tidak salah?"

"Aku perempuan. Yah, aku tahu dia sudah menyakitimu. Tapi hamil sangat berat, apa lagi sendirian. Aku tidak mau hamil, karena aku tahu penderitaan orang hamil. Jadi sebisa mungkin melayani dengan baik orang yang hamil,"

Mark mengangguk-angguk mengerti.

"Hamilnya bukan denganmu kan?" Celetuk Carmel, yang sedang mengeluarkan kapas dan cairan pembersih makeup, dari dalam koper.

Mark menatap sinis. "Aku tidak pernah tidur dengannya."

"Kalau dengan gadis lain?"

"Apa kau sedang memancing pertengkaran?"

Carmel tertawa, kemudian menutup kedua matanya dengan kapas untuk meluruhkan riasan matanya yang tahan air. Sehingga tidak menyadari Mark berjalan perlahan mendekatinya.

Ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Carmel, membuat Carmel terkejut, dan sontak melepas kapas dari matanya.

"Aaa! Apa yang kau lakukan?" Pekik Carmel.

Mark tidak menjawab, ia mencium bahu Carmel, yang ditutup tali gaun selebar empat centi meter.

"Mark! Aku tidak mau!" Carmel mencoba melepaskan diri dari pelukan, tetapi pelukan Mark justru malah menguat.

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang