19

507 87 15
                                    

Carmel langsung pulang setelah dari rumah Wren. Ia membereskan rumah, mengurus cucian, dan memasak. Setelah semua pekerjaan selesai, ia baru membersihkan diri, dan berendam di air hangat. Seingatnya setelah menikah, ia belum pernah berendam lagi.

Bath up di rumah Mark jauh lebih besar, berwarna hitam, dengan bentuk bulat. Lebih nyaman dari di apartemennya.

Cklek!

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka, membuat Carmel sontak duduk, dan menyilangkan tangan serta kedua kaki.

"Mark!" Pekik Carmel.

"Aku ingin buang air kecil!" Sahut Mark, dan pergi ke sisi lain kamar mandi.

Ini salah satu penyebab Carmel jadi malas berendam setelah menikah. Mark sering tiba-tiba masuk ke kamar mandi. Jangan tanya di mana kunci kamar mandi berada, Carmel juga tidak tahu. Mark bilang hilang.

"Huahh, lega!" Seru Mark, sembari mendekati bath up.

"Kan ada kamar mandi lain," ucap Carmel dingin.

"Aku kira kau tidak ada di kamar mandi." Kata Mark, sambil melepas satu-persatu kancing bajunya.

Mark kemudian masuk ke dalam bath up, dan memposisikan dirinya di samping Carmel.

"Woahh... aku sudah lama tidak berendam," gumam Mark. "Ini pertama kali aku berendam tidak sendirian."

"Bagaimana harimu di kantor?" Tanya Carmel.

"Ahh, begitu saja. Kau pasti sudah dengar, ayah dan ibu mau membuat proyek baru, jadi aku mulai besok akan sangat sibuk. Ayah mengajakku survei bahan," jawab Mark. "Bagaimana denganmu?"

"Aku pulang lebih awal, dan menjenguk Wren," Carmel menjawab dengan tenang, dan menunggu reaksi Mark yang pasti akan sebaliknya.

Betul saja. Mark langsung menatapnya dengan mata membula, dan nada suaranya jadi sedikit meninggi.

"Kenapa tidak bilang?" Tanyanya.

"Kenapa harus bilang? Aku sudah mengabari mau menjenguk teman kan? Hanya tidak bilang siapa orangnya,"

"Y-yaa... maksudku..." Mark gelagapan.

"Jadi bagaimana kondisinya?" Mark berusaha menutupi kegugupannya.

"Dia sudah jauh lebih baik, perutnya sudah mulai membesar." Jawab Carmel.

"Bagaimana perasaanmu saat melihatnya?"

"Biasa saja, kau pikir ini pertama kali bagiku melihat orang hamil?"

Mark bungkam, kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia sama sekali tidak bermaksud membuat suasana di antara mereka tegang.

"Sepertinya kita menjadi sensitif kalau ada Wren dalam pembicaraan kita," gumam Carmel.

Terdengar helaan napas Mark. Ia kemudian menenggelamkan seluruh tubuhnya, menyisakan kepala yang disandarkan ke pinggir bath up.

"Kalau begitu, kita tidak usah membicarakan apapun tentang Wren." Kata Mark kemudian, setelah beberapa saat terdiam.

"Aku harap saat kita harus membicarakannya, responmu biasa saja," Carmel berkata dengan nada sinis.

"Aku selalu biasa saja, memangnya aku bagaimana?" Respon Mark tidak terima.

"Kau seharusnya merekam ucapanmu sendiri, dan mendengarnya. Bagaimana perasaanmu saat melihat Wren hamil? Kau mau jawaban, aku sangat terkesan, aku menginginkannya juga, iya kan?"

Mark menegakkan tubuhnya, menatap Carmel dengan raut wajah bingung, sekaligus kesal.

"Ada apa denganmu? Kenapa kau jadi sangat sensitif?"

Carmel tidak menjawab pertanyaan Mark, yang menurutnya lebih seperti orang sedang marah. Ia hendak keluar dari bath up, tapi Mark menahannya.

"Carmel, ada apa denganmu? Aku minta maaf kalau ada kata-kataku yang menyinggung, aku benar-benar minta maaf. Tapi tidak biasanya kau seperti ini, ada apa?"

Carmel berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Mark, namun tenaga Mark jauh lebih besar darinya.

"Aku hanya sedang merasa tidak nyaman," ucap Carmel.

"Besok aku temani ke psikiatermu, ya? Kau belum kontrol lagi kan?"

"Tidak usah."

"Aku tahu kau harusnya kontrol tiga hari yang lalu, tapi karena sibuk kau memilih menundanya. Prioritaskan kesehatanmu,"

Carmel menatap Mark, yang melihat dengan tatapan lembut.

"Kenapa kau baru bilang itu sekarang? Padahal kau tahu tiga hari lalu, seharusnya aku kontrol. Tapi kau diam saja, aku pikir kau memang tidak tahu. Kau hanya sibuk menanyai kondisi Wren. Apa karena sakitku tidak terlihat? Aku tidak pernah bersikap sebodoh ini, menunggu ada seseorang yang memperhatikan aku. Tapi aku melakukannya sekarang." Mark tidak bisa membela diri, mulutnya terkunci rapat, dengan rasa sesak dan bersalah menyelimuti hatinya.

Carmel mendesis, dan kembali mencoba melepaskan tangan Mark dari lengannya. Tetapi Mark malah menarik tubuh Carmel agar mendekat, ia meraih pinggang Carmel, dan memeluknya erat.

Carmel diam. Merasa akan percuma juga kalau ia berusaha melepaskan diri dari pelukan Mark.

Keduanya memilih tidak ada yang bicara, karena yakin apa yang keluar dari mulut mereka, akan menyakiti satu sama lain. Carmel emosi dan sedih, Mark merasa bersalah dan tidak punya kata-kata untuk membela diri, yang membuatnya takut kelabakan, dan berujung mencari-cari kesalahan Carmel.

Carmel tak lama kemudian memeluk leher Mark, dan menyembunyikan wajahnya pada bahu pria itu. Mark bisa mendengar suara isakannya.

Banyak yang terjadi setelah menikah. Pekerjaan yang semakin banyak, pertengkaran dengan ibu mertua, suami yang masih dibayang-bayang masa lalunya, dan Carmel mulai ragu pada dirinya sendiri, mendengar perkataan orang-orang di belakangnya. Rasanya ingin menceritakannya pada Mark, apa yang ia dengar dari orang-orang tentangnya, setelah ia menikah. Tapi pria itu jelas masih berpihak pada mantan kekasihnya, meskipun mulutnya banyak berkata manis.

•••

Meskipun mendapat omelan dari ibunya, Mark tetap memutuskan pulang cepat hari ini, untuk menemani Carmel menemui psikiaternya.

Selagi menunggu Carmel konsultasi, Mark membuka galeri ponselnya. Ia bahkan belum memiliki satu foto pun bersama Carmel, kecuali foto pernikahannya. Sementara foto-fotonya dengan Wren, masih tersimpan rapi di galerinya.

Salah satu alasannya memaksa Carmel menikah dengannya, agar perhatiannya teralih dari rasa sakit setelah dikhianati Wren. Keputusan yang benar-benar salah dan bodoh. Ia tidak pernah bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia benar-benar tidak ingin memiliki anak, seperti Carmel. Ia main setuju dengan persyaratan Carmel, yang terpenting ia segera menikah dengan gadis itu.

Sekarang ia harus menanggung resiko, bertanggungjawab atas pilihannya. Namun bukannya bersikap demikian, ia malah terus-terusan menoleh ke belakang, dan menyinggung Carmel.

Semua foto-fotonya dengan Wren ia hapus. Begitu juga foto-foto Wren sendiri, dan foto dirinya yang diambil oleh Wren.

Mark tersenyum tipis, melihat foto terakhir. Foto saat kencan pertamanya dengan Wren. Dengan sedikit berat hati, ia menghapusnya juga.

Carmel sendiri, sudah lama menghapus semua postingannya bersama Jeno, kecuali foto-foto resmi, seperti saat acara bersama karyawan, bertemu petinggi dan pajabat, juga foto-foto saat jadi sukarelawan.

Mark baru menyadari keseriusan Carmel terhadap pernikahan mereka. Padahal gadis itu yang menolak paling keras pernikahan mereka sebelumnya.

Kalau saja bisa, ia ingin menyelami perasaan dan pikiran Carmel, dan semua wanita yang bisa menerima hal-hal yang sebenarnya tidak mereka sukai.[]

Kayaknya udah gk akan update tengah malem lg, dan bakal jarang double up

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang