29

474 73 17
                                    

Hari sudah terang, cahaya matahari masuk melalui ventilasi jendela dapur. Carmel terbangun. Menatap langit-langit dapur dengan tatapan kosong. Ia masih dalam posisi yang sama.

Carmel bangkit duduk, mencoba berdiri, dengan cara berpegangan pada meja makan. Minum, dan makan satu buah apel, untuk membuat sedikit tenaga. Sebisa mungkin tidak lagi menginjak pecahan gelas, meskipun pecahan gelas semalam ada yang masih menancap di telapak kakinya.

Ia minum dan makan dengan tenang. Seolah tidak terjadi apa-apa semalam, dan seolah dapur dalam kondisi bersih seperti biasanya.

Tidak merasa senang, ataupun sedih ia masih hidup. Kalau masih hidup, ya berarti ia masih harus tetap hidup. Ada banyak hal yang perlu ia urus, salah satunya perusahaan. Ia harus menyingkirkan rasa sakitnya, untuk orang-orang yang menggantungkan hidup padanya.

Selesai makan. Carmel mengangkat telapak kakinya secara bergantian, untuk mencabut beling yang menancap. Barulah ia kemudian berdiri, membersihkan pecahan gelas serta darah yang mengotori lantai dapur.

Ia membuat kondisi dapur seperti semula.

•••

Carmel membungkus mulai dari telapak tangan sampai ke pergelangan dengan kantung plastik, agar ia bisa mandi. Ia tidak berani membuka gulungan kain, takut darahnya mengucur lagi.

Mungkin luka goresnya tidak terlalu dalam, sehingga ia sekarang masih baik-baik saja. Atau Tuhan yang memang menyuruhnya untuk melanjutkan hidup saja seperti biasa, jadi ia menghentikan darah Carmel, dengan kekuasaanNya.

Selesai mandi, dandan, dan melakukan beberapa ritual lainnya, Carmel bergegas pergi. Namun tujuannya tidak langsung ke kantor, melainkan ke klinik terlebih dahulu untuk menangani luka di pergelangan tangannya.

•••

Jeno hanya diam, bahkan tidak menyapa Carmel, saat mereka tanpa sengaja berpapasan di koridor kantor.

Namun baru beberapa langkah Jeno dan Carmel menjauh, Jeno menghentikan langkah, dan membuka mulutnya, membuat Carmel ikut berhenti berjalan.

"Carmel, aku ingin memberitahumu sesuatu sebagai teman, tapi nanti aku akan melakukannya secara resmi dan hormat," Carmel menoleh ke belakang, menunggu kelanjutan dari ucapan Jeno.

"Aku mau mengundurkan diri."

Mata Carmel seketika membelalak.

"Tiba-tiba? Ada apa? Apa karena kejadian kemarin?" Tanya Carmel.

"Eumm... salah satunya. Aku benar-benar merasa tidak enak dengan Mark. Aku minta maaf. Dan mungkin kita harus benar-benar menjaga jarak, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman lagi."

Carmel terdiam sejenak. Lagi-lagi ada sesuatu bagian dari dirinya yang terasa remuk.

"Maaf Jeno, aku benar-benar minta maaf." Hanya itu yang mampu Carmel katakan, disertai dengan senyuman yang berusaha ia keluarkan setulus mungkin.

Jeno tahu Carmel ingin menangis. Ia tahu ekspresi dan tatapan itu. Rasanya ingin mendekat dan memeluknya, tapi tidak bisa.

"Semoga hubunganmu dan Mark baik-baik saja." Ucap Jeno, yang hanya Carmel balas dengan anggukkan.

•••

Carmel tampak menjalani harinya seperti biasa di kantor. Tanpa ada yang tahu sesekali ia akan pergi ke ruangannya, atau kamar mandi, untuk hanya sekedar menangis, sambil memeluk dirinya, dan menepuk-nepuk bahunya.

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang