26

514 80 3
                                    

Carmel mengajak Mark untuk menemui bayi-bayi yang berada di dalam rumah. Rata-rata usia bayi di panti asuhan ini, delapan bulan, dan ada tujuh bayi saat ini.

Mark mendekati ranjang bayi yang Carmel dekati. Ada seorang bayi perempuan, yang sedang mengangkat-angkat kakinya, mencoba untuk mengemut kakinya sendiri.

"Kapan ya aku terakhir melihat bayi? Sepertinya sudah lama sekali," gumam Mark, dengan senyuman tersungging lebar di wajahnya.

Carmel meraih tubuh bayi itu, menggendongnya tanpa ragu, terlihat sudah biasa. Mark yang kaget dan panik.

"Tidak apa-apa, aku sudah biasa, aku bahkan bisa menggendong bayi baru lahir." Ucap Carmel, mengerti kekhawatiran Mark.

"Kau mau coba gendong?"

"Aahh... aku tidak berani."

Carmel mendekati Mark, dan tetap mendekatkan bayi itu pada Mark. Dengan ragu-ragu, Mark meraih tubuh mungil bayi itu.

"Usianya sudah sembilan bulan, leher dan punggungnya sudah kuat. Kau tinggal topang bagian bawah, dan pegang punggungnya," Mark mengikuti intruksi Carmel dengan sangat hati-hati.

Bayi itu tiba-tiba tertawa sambil bertepuk tangan, yang membuat mata Mark melebar dengan senyuman merekah lebar.

"Astagaa... lucunya!" Seru Mark gemas, yang membuat Carmel terkekeh.

"Lucu kan? Tapi dua orang tidak bertanggungjawab membuangnya begitu saja seperti sampah. Padahal dia manusia, meskipun masih bayi, dia bisa merasakan sakit," ujar Carmel.

Raut wajah Mark seketika berubah sendu. "Dia dibuang?"

"Yang aku dengar dari Ibu panti, orangtuanya merasa tidak sanggup untuk merawatnya. Dari sejak dalam kandungan, orangtuanya sudah sering cekcok, dan sebulan setelah anak ini lahir, mereka bercerai. Tidak ada yang mau merawat,"

"Padahal bukankah hamil dan melahirkan dan menyakitkan? Kenapa bisa begitu?"

Carmel menggelengkan kepalanya. "Justru mungkin karena kesusahan saat hamil dan melahirkan, jadi ibunya benci. Mungkin saja ada orang seperti itu, kita tidak tahu. Orang-orang sangat beragam."

"Suatu hari kau akan mendapatkan kehidupan yang baik dan penuh cinta, Tuhan memberkatimu." Ucap Mark pada bayi perempuan itu, sembari memainkan tangan kecilnya.

"Di dunia ini banyak anak-anak yang perlu kita perhatikan, meskipun kita tidak akan merawat dan mendidik semua anak-anak di dunia ini secara langsung, tapi... dengan kita yang tidak memilikinya, kita lebih 'bebas' untuk anak-anak yang membutuhkan perhatian."

Mark tertegun. Kenapa Carmel tidak mengutarakan hal itu pada orangtuanya, bahkan orangtuanya sendiri? Malah berargumen dengan kata-kata pedas.

"Kenapa kau tidak pernah bilang seperti itu pada orangtua kita?" Tanya Mark.

"Entahlah, tapi terkadang aku ingin tahu argumen orang lain tentang sesuatu. Dan aku rasa, orangtua kita akan tetap sulit mengerti," jawab Carmel.

"Kau belum mencobanya." Ucap Mark.

"Tidak perlu. Aku juga baru mengutarakannya sekarang padamu, karena momennya pas." Timpal Carmel.

Mark mendekati Carmel, kemudian mencium keningnya tanpa mengatakan apapun. Masih dengan menggendong bayi perempuan itu.

Entah kenapa, mendadak suasana menjadi emosional. Carmel tahu, rumah mereka akan menjadi hangat dengan adanya malaikat kecil, tapi ia sadar, ia tidak sanggup untuk mengemban tugas berat itu.

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang