15

650 78 5
                                    

"Kau jadi mengirim orang untuk menemani dan menjaga Wren?" Tanya Mark, yang sedang membumbui ayam, sesuai arahan Carmel.

Carmel masih sulit menopang bobot tubuhnya, alias berdiri. Apa lagi beraktivitas mondar-mandir di dapur, jadi ia hanya duduk bersandar di kursi meja makan, dan memberi instruksi.

Mark sudah mengusulkan beli makanan jadi, tapi di kulkas pria itu banyak bahan makanan, yang sepertinya distok oleh ibunya, entah kapan (tapi sepertinya baru, karena masih bagus).

Padahal ia tahu putra semata wayangnya itu, tidak bisa memasak sama sekali.

"Minyaknya sudah panas?" Tanya Carmel.

"Bagaimana mengetesnya?"

"Teteskan sedikit saja tepung ayamnya."

Mark meneteskan tepung ayam ke dalam minyak, terdengar suara letupan kecil, dan tak lama kemudian, tepung itu mengambang.

"Sepertinya sudah panas," gumam Mark.

"Kecilkan apinya, lalu masukkan ayamnya."

Mark mengikuti arahan Carmel dengan sangat hati-hati dan sungguh-sungguh. Kalau masakannya berhasil, ini akan menjadi sebuah kebanggaan untuknya.

"Sekarang tinggal tunggu matang saja."

Mark mencuci tangannya, kemudian duduk di depan Carmel, dengan membawa dua kotak jus buah.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Mark.

"Jadi, aku sudah minta seseorang untuk mencarikannya," ujar Carmel, sebelum meminum jus buah miliknya.

"Siapa?" Tanya Mark.

"Ada, orang kepercayaanku,"

"Bukankah hanya Jeno orang kepercayaanmu?"

"Namanya Zena, teman SMA-ku. Kami sama-sama gabung di komunitas feminisme dulu, jadi dia punya banyak kenalan perempuan, yang pasti bersedia membantu. Aku rencananya juga akan tetap memberi hadiah," papar Carmel.

"Kau gabung komunitas seperti itu?" Tanya Mark.

"Ya, tapi tidak begitu lama, kenapa? Kau terlihat terkejut,"

"Aku tidak menganggap komunitas itu buruk, hanya terkejut saja,"

"Aku banyak mengikuti komunitas yang sedang trend, karena ingin tahu sudut pandang mereka. Yang baik diambil, yang buruk dibuang, begitu prinsipku. Tidak ada hal yang seratus persen benar dan baik. Tapi yang jelas, komunitas feminisme, bukan komunitas jahat, apa lagi mengancam. Justru sebagai sesama perempuan, jadi saling merangkul."

Mark mengangguk-angguk. Carmel memang paling suka menyelami hal-hal yang membuatnya penasaran.

"Hadiah yang kau maksud itu... maksudnya apa? Gaji?" Tanya Mark, yang Carmel balas dengan anggukkan.

"Ya, tapi rasanya tidak enak kalau aku sebut gaji. Karena aku meminta bantuan, bukan mempekerjakan," jawab Carmel.

"Biar aku juga memberi hadiah." Kata Mark.

"Silahkan. Oh iya, coba dicek ayamnya, mungkin harus dibalik." Ucap Carmel, yang sontak membuat Mark langsung berdiri.

•••

Carmel menyiapkan pakaian yang mau Mark gunakan hari ini. Sementara Mark sedang mandi.

Baju-baju Mark bagus dan bermerek, hanya saja pria itu tidak pandai memadupadankannya.

Mark tak lama kemudian keluar dari kamar mandi. Ia menghampiri Carmel, yang sedang menyetrika kemejanya.

Terdengar suara dari bibir yang bertemu dengan kulit wajah, disusul dengan suara pukulan di dada, dan erangan kesakitan.

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang