12

604 97 3
                                    

Jeno minum lumayan banyak, apa lagi setelah menyantap hidangan utama. Carmel mau menghampiri, tetapi Mark terus mengapit lengannya.

"Aku harus menghentikan Jeno," bisik Carmel.

"Memangnya kenapa kalau dia mabuk? Ada karyawan yang mengenalnya bisa membantu kan?"

"Mark..."

"Kenapa? Aku juga tidak menghampiri Wren,"

Carmel berdecak kesal. "Padahal kau inginkan? Karena Wren tidak mengenal siapapun di sini, dan seperti anak hilang."

Mark tidak menjawab. Ia tanpa sengaja malah berkontak mata dengan gadis yang baru dibicarakan.

"Hampiri saja, aku tidak masalah."

Mark berdecak, menatap tajam Carmel, yang balik menatapnya dengan kedua alis terangkat.

Hanya dalam beberapa detik, Wren yang malah mendekati mereka berdua, dengan membawa kotak berukuran sedang, berwarna biru langit.

Ia memasang senyum lebar, dan mengulurkan sebelah tangannya untuk mengucapkan selamat.

"Selamat ya atas pernikahan kalian," ucap Wren, menjabat tangan Mark dan Carmel satu-persatu. "Maaf aku telat memberi selamat dan kado."

"Tidak apa-apa, terimakasih," jawab Carmel sembari tersenyum.

"Ahh... kau sangat cantik." Puji Wren, yang membuat Carmel memasang ekspresi terkejut, kemudian tertawa.

"Terimakasih, kuakui, kau juga sangat cantik. Rambutmu, wow... seperti karakter-karakter putri disney," kata Carmel.

Wren tiba-tiba menutup mulutnya sembari memegangi perut, Mark sontak melepas pegangan tangannya pada Carmel, dan memegang kedua bahu Wren.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Mark.

"Ka-kamar mandi ada di mana?" Wren balik bertanya.

"Biar aku antar. Carmel, aku mengantar Wren ke kamar mandi dulu,"

"Silahkan."

Mark pun pergi bersama Wren ke kamar mandi, dan ini kesempatan Carmel untuk menghampiri Jeno.

Ia menarik gelas berisi bir, yang hampir pria itu tenggak lagi, padahal sudah lumayan mabuk.

"Hati-hati, kau tidak boleh terlalu mabuk di acara seperti ini," ujar Carmel.

"Carmel..." Jeno hampir saja memeluk Carmel, namun untungnya, gadis itu bisa refleks langsung menahannya.

"Jangan seperti ini, meskipun menyakitkan, aku sudah menikah." Carmel berbicara dengan nada pelan, agar tidak terdengar tamu lain.

"Memangnya tidak boleh memeluk untuk ucapan selamat?" Tanya Jeno.

"Setidaknya, bukan saat kita hanya berdua, seperti saat ini. Hampir semua orang di sini sudah tahu kedekatan kita," jawab Carmel.

Jeno menghela napas. "Tapi Mark pergi dengan mantan pacarnya."

"Mantan pacarnya tidak punya kenalan selain Mark di sini,"

"Hei, Carmel, aku beritahu," Jeno mendekati Carmel, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Jangan seperti ibumu yang longgar. Bukan berarti aku menyalahkan ibumu, atas kejadian ayahmu dan ibu mertuamu. Tapi... kau sendiri yang bilang, ibumu itu santai, tidak khawatir dan cemburu, saat ayahmu dekat dengan perempuan lain. Karena berpikir suaminya sudah menjadi miliknya. Pria itu... jahat. Kau tahu itu,"

Carmel menatap Jeno, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Iya, aku mengerti. Tapi aku kan tidak punya perasaan apa-apa pada Mark," ucap Carmel.

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang