23

551 83 6
                                    

Mark memutar tubuhnya ke depan, saat Carmel sudah selesai menggosok tubuhnya. Ia menatap wajah gadis itu yang terlihat lesu, meskipun sebelumnya sudah bilang tidak apa-apa.

"Kita mungkin perlu membuat tujuan untuk rumah tangga kita," celetuk Mark, yang membuat Carmel seketika melebarkan mata, dan mengangkat alisnya.

"Heum?" Gumamnya bingung.

"Kau pasti tahu, dalam membina rumah tangga itu, biasanya ada tujuan dan cita-cita. Aku tidak perlu memberi contoh, karena akan sangat panjang, dan aku takut itu menyinggungmu. Dalam kasus kita, mungkin kita bisa membuat tujuan ini, untuk saling mencintai, membuat rumah yang aman dan bahagia, juga benteng pertahanan," papar Mark, membuat sebelah alis Carmel terangkat.

"Benteng pertahanan dari dunia luar yang kejam?" Tanya Carmel, diselingi kekehan.

Mark mengangguk. "Tentu saja. Kita memang tidak mungkin terhindar dari pertengkaran dan kesalahpahaman, tapi memahami perasaan dan pikiran satu orang, tidak akan sesulit memahami banyak orang di luar sana, yang tidak tinggal bersama kita. Sekarang kita punya satu sama lain, Caramel."

Carmel tertegun, dan kemudian menganggukkan kepalanya setuju. Ia mendadak lupa, dengan segala pembicaraan buruk orang tentangnya. Seolah peluru yang sedang menyerangnya memantul,

"Tapi harus realistis," ucap Carmel kemudian.

Mark mengangkat kedua alisnya. "Realistis?"

Carmel mengangguk. "Kita jangan terlalu bergantung satu sama lain, karena kita sama-sama hanya manusia biasa, yang punya batas nyawa."

Mark langsung menutup kedua telinganya, dan mengeluarkan suara rengekan. "Aahh, aku benci sekali mendengar hal seperti itu!"

Carmel tertawa, apa lagi melihat ekspresinya, yang menurutnya lucu.

"Tapi kan benar," ucap Carmel di sela tawanya.

"Iya, tapi kan- ah, jangan bicara begitu!" Protes Mark.

"Kau jangan terlalu bergerak, kepalamu kan masih sakit." Carmel meraih kedua tangan Mark, agar pria itu berhenti bergerak-gerak gelisah.

Mark menempelkan keningnya pada kening Carmel, sembari mendengus.

"Jangan bilang begitu lagi. Aku mengerti untuk berpikir realistis, tanpa perlu kau bilang." Kata Mark, dengan bibir mengerucut.

"Iya, baiklah."

•••

Wren menghentikan langkahnya, tepat di samping toko milik Carmel. Ia tertegun melihat foto model yang terpajang besar di dinding kaca.

Napasnya mendadak tersendat, ia memegangi perutnya yang terasa nyeri. Air matanya berlelehan, buru-buru ia usap dengan jari gemetar.

Luna yang sebelumnya sedang menikmati nyanyian pengamen di trotoar, menyadari ada sesuatu yang aneh pada Wren. Ia lekas menghampiri wanita itu, yang mulai tidak kuat menopang bobot tubuhnya.

"Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi?" Tanya Luna, namun Wren tidak bisa menjawab karena rasa sakit di perutnya.

"Kita ke rumah sakit sekarang," Luna membopong Wren, membawanya mendekati taksi yang kebetulan baru berhenti di depan pertokoan.

•••

"Kau pasti tahu kehidupan model dan selebriti seperti apa," ujar Iliana, yang sedang menyantap makan siangnya bersama Jeno, di kantor perusahaan Carmel.

Caramel | Mark Lee ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang