Ingin membuat gebetan jatuh hati secara instan tanpa takut ditolak sedikit pun?
Pakai pelet cinta, solusinya!
Tapi, takut dosa karena dianggap musyrik? Tenang saja, pelet yang digunakan ini bukan dari dukun, melainkan pelet halal yang berasal dari...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di suatu pagi yang cerah, nampak seorang gadis ndeso dengan rambut kepang duanya yang kusut masih tertidur pulas dengan gaya tidur yang sama sekali tidak memperlihatkan unsur elegannya sebagai cewek di atas kasur.
Pantes cowok enggak ada yang mau mendekat, bahkan gebetan ku sendiri aja gak sudi untuk sekedar melirikku meski hanya memakan waktu sedetik saja.
"JUMINTEN BANGUN! DASAR SI KEBO! AKU ADA KELAS PAGI HARI INI! IHH.. UDAH JAM BERAPA INI?!"
Siapa lagi yang teriak sepagi ini kalau bukan sahabat karibku.
Risma Junaidi.
Cantik, seksi, multitalenta, serta populer. Intinya bagi aku tuh dia udah super paket lengkap.
Pantes banyak cowok yang kepincut, berbanding terbalik dengan ku.
Nama aja JUMINTEN NGATINEM.
Enggak ada bagus-bagusnya, aku aja juga heran loh kenapa dikasih nama kayak gitu sama orang tuaku sendiri.
Harap maklum kalau nama ku mungkin terkesan Jawa kuno. Kenapa begitu? Karena aku asli orang Jawa beserta Risma yang terlihat dari nama belakangnya, yaitu 'Junaidi'.
Tapi, setidaknya Risma masih ketolong sama mukanya yang cakep kayak idol Korea serta dirinya merupakan anak orang kaya raya sehingga bisa menutupi kekunoan nama belakangnya itu.
Sebenarnya aku dan Risma sudah bersahabatan dari lama sejak bersekolah di salah satu SMA kota Semarang, Jawa Tengah karena kami berdua asli orang sana yang pada akhirnya memutuskan bersama untuk berkuliah di satu kampus yang sama di Jakarta dan sekalian ngekos bareng di kota ini dari tiga tahun yang lalu sampai detik ini.
Di Semarang, rumahnya Risma berada di pusat kota. Nah, sedangkan aku orang kampungan yang tinggal di pelosok-pelosok. Hehe, udah kelihatan jelas lah ya ketimpangan sosial di antara kami, tapi itu tak menjadi alasan untuk menghalangi persahabatan diriku dengannya.
Aku bisa berkuliah di salah satu kampus paling bergengsi di Jakarta pun berkat dapat beasiswa khusus bagi orang yang kurang mampu dan syukurnya juga aku mendapatkan nilai ujian yang cukup bagus, sedangkan Risma bisa masuk karena murni dari otaknya yang super duper encer plus anak orang kaya.
Kalau bukan karena dapat beasiswa, aku enggak bakalan berkuliah di kampus tersebut yang mana biaya kuliahnya hanya orang berada yang mampu membayarnya.
Sebagai mahasiswi perantauan di kota besar dan keras, belum lagi yang diharuskan ikut membantu perekonomian keluarga di kampung, akhirnya aku memutuskan kuliah sambil bekerja sebagai asisten rumah tangga di keluarga terpandang.
Kenapa bisa dibilang keluarga terpandang? Karena satu keluarga tersebut memiliki perusahaan ritel terbesar nomor satu se Asia tenggara dan bisa dibilang juga sih keluarga terkaya di Indonesia lah ya.
Bahkan aku juga pernah dengar rumor bahwa siapapun yang bisa diterima bekerja di keluarga itu meskipun jadi pembantu sekalipun, akan menjadi orang yang sangat beruntung lantaran nominal gajinya bisa dibilang besar, apalagi untuk seorang mahasiswi. Oleh karena itu, aku jadi semakin yakin bahwa profesi pekerjaan yang aku pilih saat ini adalah yang terbaik untukku.