LVM - 1

535 24 0
                                    

Happy reading ✨️

***

Adult content only available at KaryaKarsa 21+

***

Sore harinya, Adam dan Cira telah tiba di kediaman Fahmi. Salam mereka terbalas saat masih di depan tadi, sepasang suami istri itu terus melangkah hingga berhenti di ruang tengah. Di ruangan itu terdapat Fahmi yang sedang asyik menonton televisi tanpa menatap kehadiran anak dan menantunya di sana.

"Pak," sapa Cira, lalu mencium punggung tangan sang Bapak. Gerakannya langsung diikuti oleh Adam, namun ketika pria itu hendak meraih tangan kanan Fahmi, terdengarlah dengusan malas dari bapaknya Cira.

Alhasil tangan Adam cuma melayang di udara karena mendapat penolakan dari Fahmi yang tangannya tidak mau dicium menantu satu-satunya. Sudah sekian tahun berlalu sikap Fahmi kepada Adam masih saja sama meski tidak terlalu sadis seperti tempo hari itu. Jangankan Fahmi, Adam pun kala bertemu Fahmi masih merasakan canggung.

Terkadang di saat dirinya dan Cira menginap di sini, Adam lebih memilih bersembunyi di kamar, takut bertemu Fahmi. Meminimalisir pertemuannya dengan sang mertua yang masih menyimpan dendam terhadapnya. Adam menatap Cira dengan penuh maksud, lantas yang ditatap pun mengangguk paham.

Cira menyentuh bahu bapaknya. "Suamiku itu lho mau salim sama Bapak. Kasihan dia dari tadi begitu terus, Bapak nggak kasihan apa ngelihatnya?"

Fahmi melirik malas pada sang menantu durhaka itu. Tangan kanannya menjulur tidak ikhlas ke arah Adam, dengan cepat menantunya itu mencium tangannya. Fahmi yang tidak ingin disentuh terlalu lama oleh Adam segera menarik tangannya kembali.

"Duduk," titah Fahmi pada Adam, menggerakkan mata ke tempat kosong di depannya. Adam duduk di sofa yang berhadapan dengan Cira dan bapak mertuanya. Dari posisi duduk yang tampak tegang saja Fahmi bisa lihat bahwa Adam belum leluasa di kediamannya. "Empat puluh hariannya Pak Bagas kapan, Dam? Bapak pengen hadir di acara peringatan kematian opa-mu itu."

Mendengar pertanyaan sang mertua, Adam dibuat semakin gugup. Bukan karena pertanyaannya, melainkan pada si empunya yang sangat jarang mengajaknya berbicara. Menegur saja hampir tidak pernah. Walaupun interaksi mereka sangat minim, tetapi Fahmi sudah mengubah cara bicaranya menjadi lebih santai dan tidak baku.

"Sekitar satu minggu lagi, Pak. Acaranya kayak biasa, diselenggarain di rumah kedua orang tua saya."

"Emang mau di mana lagi selain di rumah orang tuamu? Di rumah Bapak? Nggak mungkin."

Ya menurut situ?

Ingin sekali Adam membalas demikian disertai perotasian mata malasnya atas balasan Fahmi yang sinis itu. Adam terus bersabar dan menyemangati dirinya sendiri agar emosinya yang mudah tersulut itu tidak berkobar dengan cepat. Sebagai gantinya, ia menyunggingkan senyum yang sangat tipis.

"Lili mana, Pak? Kok nggak bareng sama Bapak di sini?" tanya Cira, mengambil alih topik pembicaraan. Ia kasihan saat melihat sang suami yang duduk di seberangnya, apalagi wajah dingin Adam yang tampak tertekuk masam.

"Di nini, Mi. Yiyi di nini." Suara nyaring khas anak kecil yang cadel mengalihkan atensi ketiga orang dewasa di ruangan tersebut. Ketiganya sontak menoleh ke asal suara. Lili, batita gembul itu terlihat cantik dengan dress berwarna biru lautnya. Tubuh gembul Lili berlari menghampiri kedua orang tuanya dan meninggalkan Indah yang menggelengkan kepala melihat pergerakan sang cucu.

Lili siap menerjang tubuh sang Mami, apalagi kedua tangan Cira sudah terulur menyambutnya. Namun, pada saat batita itu hampir sampai, Lili seakan memberi harapan palsu pada Cira. Batita jiplakan Adam itu malah berlari ke arah papinya dan memeluk tubuh kekar tersebut.

"Papi, Yiyi angen," katanya sangat manis yang membuat sang Papi segera mengecup kedua pipinya gemas.

"Kamu keterlaluan sekali, Lili. Berani-beraninya kamu PHP-in Mami begini." Cira menatap sebal terhadap makhluk mungil itu.

"Owang Yiyi adina mau meyuk Papi dulu, ukan Mami." Lili membela diri. Ia tidak terima difitnah seperti itu oleh wanita yang dipanggilnya Mami.

"Kenapa kamu cepet banget, Ci, jemput Lili-nya? Padahal Mama dan Bapak belum puas main sama cucu kami satu-satunya." Wajah Indah sengaja ditekuk agar Cira mengerti bagaimana sedihnya ia kala mengingat sebentar lagi Lili akan pergi dari rumahnya. "Biarin Lili nginep semalem lagi di sini."

"Nggak bisa, Ma. Aku dan papinya Lili sore ini ada rencana ke mall buat beli perlengkapan sekolah Lili, sekalian makan malam di luar." Cira menolak halus keinginan Indah.

Lalu giliran Fahmi yang bertanya pada putri semata wayangnya. "Lili beneran kamu sekolahin? Apa nggak terlalu muda buat nyari ilmu?"

Istri Adam itu menggaruk kepalanya meski tidak merasa gatal. "Aku juga sebenernya kurang setuju. Tapi mau gimana lagi, Om Adam tetep mau masukin Lili ke sekolah." Ringisan pun keluar dari sela bibirnya. Cira sempat melirik Adam yang rupanya tengah menatap tajam kepadanya.

Alangkah lucunya, tatapan Adam yang tadinya tajam langsung redup begitu Fahmi fokus memandang pria itu. Adam meneguk ludahnya dengan susah payah, sementara lengannya semakin memeluk tubuh Lili yang berada di pangkuannya.

"Nggak seharusnya kamu masukin Lili ke sekolah, Dam. Umur anakmu itu masih tiga tahun, biarin Lili nikmatin masa kanak-kanaknya. Lagian cucu Bapak ngomongnya aja masih cadel, gimana nanti di sekolah. Mending batalin aja rencana kamu yang mau masukin Lili ke sekolah," ucap Fahmi tegas yang langsung dibantah cepat oleh Adam.

"Nggak bisa, Pak. Keputusan saya udah bulat!"

***

TBC

Follow IG-ku: @wlsrhmwt (Di sana, aku sering bikin spoiler untuk bab yang akan dipublish besoknya).

Love Very Much [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang