LVM - 27

96 22 3
                                    

Happy Reading ✨️

***

Pagi-pagi sekali keluarga Zhafir disibukkan dengan keberangkatan mereka ke Surabaya. Seluruh koper telah dimasukkan ke dalam mobil yang dikhususkan untuk membawa barang bawaan mereka, sedangkan para pemiliknya menaiki mobil yang lain.

Kening bocah SD itu mengerut saat melihat Vian yang sibuk dengan sebuah tas, seperti sedang memeriksa kembali barang-barang pribadinya. “Kak Vivi ngapain bawa alat-alat kedokteran? Mana lengkap banget,” ujarnya.

“Jaga-jaga kalau keadaan darurat, gue bisa nolongin. Bawaan gue nggak banyak, ini baru beberapa.” Vian memaklumi adiknya yang tidak tahu alat-alat kedokteran, yang anak itu tahu bawa ia membawa banyak sekali barang.

“Lo kek nggak tahu aja jiwa-jiwa dokter, ke mana pun mereka pergi pasti bakal bawa perlengkapan kayak Bang Vian gini,” celetuk Erza yang sudah rapi dengan pakaian kasualnya. Aura pria itu tampak secerah cahaya illahi. Maklumlah, calon pengantin baru siapa juga yang tidak senang.

Vian beralih menatap Erza dan bertanya, “Bang Adam dan Cira jadinya ketemuan di bandara?”

Calon pengantin itu mengangguk. “Mungkin mereka agak telat dikit, soalnya Lili tiba-tiba rewel. Tapi gue udah kirim sopir ke rumahnya buat ngeringanin beban mereka. Semisal Lili rewel pas di mobil, mereka bakal tetep tenang,” jawabnya seraya menunjukkan room chat-nya bersama Adam.

“Lagian gue heran banget sama orang itu. Duit banyak tapi nggak mau rekrut pekerja di rumahnya, definisi manusia pelit ya kayak dia.” Vian bangkit, tak lupa membawa tas yang berisi alat-alat kedokterannya. Mereka bertiga mulai melangkah menuju pintu utama sebab Redyna sudah berteriak menyuruh mereka cepat-cepat berangkat.

“Dia nggak pelit, buktinya si Cira dikasih uang jajan ratusan juta, mertuanya dikasih 50 juta per bulan. Terus gue denger-denger nih, dia mulai berdonasi di beberapa panti asuhan. Mungkin Bang Adam lebih ke nggak suka ada orang asing di rumahnya. Dia jadi nggak leluasa kalau lagi skidipapap di luar kamar,” seloroh Erza. Pria itu diingatkan pada adegan bercocok tanam yang tidak sengaja pernah ditontonnya.

Setelah duduk di bangku bagian penumpang, Vian kembali menyahut, “Gue lebih percaya kalau alesannya yang terakhir lo bilang, Er.” Setelah itu Vian memainkan ponselnya guna memberitahu seseorang kalau untuk beberapa hari ke depan ia sedang ada keperluan di luar kota.

“Alesan apa yang kamu bilang, Er?” tanya Redyna ingin tahu.

Erza dibuat gelagapan. “Bukan apa-apa kok, Ma. Nggak penting juga yang Erza obrolin bareng Bang Vian,” alibinya.

“Bohong. Orang mereka tadi ngomongin Bang Adam,” tukas Zaky yang lehernya langsung dipiting Erza. Vian pun ikut mengambil peran, ia menjitak dan menjewer adik cepunya ini.

Mereka berdua gemas terhadap Zaky yang tukang mengadu. Ingin rasanya Vian membedah tubuh anak itu kemudian menjual seluruh organnya ke pasar gelap. Kebetulan Vian memiliki teman mafia, mungkin lewat temannya itu bisa memudahkannya dalam menjual organ tubuh Zaky.

“Mulut lo kalau masih gini aja lama-lama gue steplesin pake steples medis, mau?” Dokter bedah itu mengancam.

“Nggak usah dengerin Zaky, Ma. Kayak nggak tahu anakmu yang satu itu, mulutnya udah kayak sales,” ucap Gavin melerai pertengkaran di antara ketiga anaknya.

Begitu memastikan anak-anaknya tidak ribut lagi di belakang, Gavin kembali fokus pada iPad di tangannya. Sesekali pria paruh baya itu menelepon orang kepercayaannya di G&Z Hotel yang mengelola hotel tersebut sebelum nantinya sang putra bungsu terjun ke lapangan. Itu masih sangat lama, dilihat dari Zaky yang sekarang lulus SD pun belum.

Love Very Much [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang