LVM - 12

125 20 0
                                    

Happy Reading ✨️

***

Sepulangnya dari Palembang, Adam, Cira, dan Lili disibukkan kembali dengan rutinitas harian seperti biasa. Di hari rabu ini tepatnya setelah menjemput Lili bersekolah, Cira mengajak Marina dan Zamar playdate di rumahnya. Tentu, ajakan Cira itu disambut baik oleh teman sekolah Lili.

Menuju rumah Cira, mereka menaiki mobil masing-masing. Sekarang ini keempatnya telah sampai dan sudah keluar dari kendaraan roda empat itu. Cira lekas mengajak tamunya untuk masuk ke dalam rumah.

“Kita main di ruang tengah ya,” ujar Cira seraya menggiring tamunya ke ruangan yang baru ia sebutkan.

“Dilihat dari luarnya aja harusnya udah dijadiin bukti kalau rumah ini bukan sembarang rumah, Mbak,” celetuk Marina dengan mata mengedar ke seluruh penjuru rumah teman anaknya.

“Maksudnya?” Sudah sedewasa ini otak Cira memang masih seperti dulu, agak lemot. Ia tidak paham maksud dari ucapan Marina. Padahal orang lain bisa langsung mengerti arti dari yang Marina ucapkan. Mamanya Zamar itu barusan memuji rumah Cira!

“Rumahnya bagus, Mbak. Terkesan minimalis tapi kelihatan ada mewah-mewahnya gitu.”

“Oh ....” Cira terkekeh lalu mengibaskan tangan kanannya. “Papinya Lili yang desain, awalnya aku nggak tahu kalau dia punya selera sebagus ini. Pas rumah ini jadi aja aku kaget banget lho, Mbak.”

“Selera cowok emang keren-keren. Tapi kayaknya selera papinya Lili nggak seburuk papanya Zamar. Rumah kalian nuansanya indah berwarna, kalau rumah kami gelap. Hampir 90% didominasi warna hitam dan abu-abu,” sahut Marina.

“Eh buset! Seriusan, Mbak?”

“Iya, next time kita playdate di tempat aku. Biar Mbak lihat sendiri gimana suramnya rumah kami.”

“Boleh banget, Mbak. BTW, cowok tuh emang suka banget sama yang warna-warna gelap gitu. Sebenernya, ada satu ruangan yang sama persis kayak rumah Mbak Marina. Suram,” ucap Cira, mengingat satu ruangan itu. Ruangan yang sama sekali tidak boleh ia ubah, bahkan Adam sudah mengancamnya lebih dulu sebelum ia memiliki niat itu.

“Biar aku tebak, pasti kamar kalian.” Tawa kecil dari Cira sudah menjadi jawabannya.

Sejak tadi Zamar memerhatikan bingkai foto yang memperlihatkan keluarga temannya. Bingkai itu sangat besar dan terpasang di dinding tepat di atas televisi yang ukurannya juga besar. Di foto itu terdapat kedua orang dewasa yang merupakan orang tua dari temannya, termasuk Lili juga ada di sana.

Gadis kecil menyebalkan itu bergaya dengan lidah yang dipeletkan dan mata yang tertutup sebelah. Gayanya sangat genit menurut Zamar. Ia menoleh saat Lili datang membawa satu box berisi mainannya. Zamar tebak, tidak ada satu pun mainan laki-laki di dalam box itu.

“Jamal, ayo main masak-masak,” ajak Lili ketika sudah duduk di samping Zamar dengan tangan yang mengeluarkan mainannya satu per satu dari box besar.

“Nggak!” tolak Zamar cepat. Mainan khas perempuan milik Lili dimasukkan kembali olehnya. Zamar benar-benar tidak mau bermain masak-masak atau permainan yang biasa dilakukan anak perempuan.

“Napa ndak mau? Main masak-masak selu tahu, Jamal.”

“Kamu tahu ‘kan aku itu cowok?” Lili mengangguk, ia pun berpikir apa salahnya kalau Zamar bermain masak-masakan walaupun temannya itu berjenis kelamin laki-laki? “Ndak ada cowok main masak-masak, Lili. Pokoknya aku ndak mau!”

“Sapa bilang? Ada kok wowok ikut main masak-masak, contohna papina Yiyi. Papi kalau Yiyi ajak main masak-masak salalu mau,” ucap Lili.

“Maksud kamu Om itu?” Zamar bertanya dengan tangan yang menunjuk pada bingkai foto besar.

Love Very Much [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang