LVM - 8

141 21 0
                                    

Happy Reading ✨️

***

Tok! Tok!

Adam yang sedang melamun dibuat tersentak saat pintu kamar inapnya diketuk dari luar. Ia mengubah posisi yang tadinya berbaring menjadi duduk di atas ranjang, kemudian berseru menyuruh orang itu untuk segera masuk. Cukup lama Adam menunggu, akhirnya pintu bercat putih terbuka dengan sangat perlahan.

Melihat pintu yang dibuka tetapi tidak menampakkan orangnya, seketika Adam disergap rasa takut. Dirinya sendirian di sini dan tidak ada yang menemani, bagaimana kalau yang membuka pintu itu setan atau yang lebih parahnya adalah malaikat maut. Jangan sampai malaikat maut yang datang, sebab Adam belum menulis surat wasiat untuk istri dan anaknya.

Ia juga belum mewanti Cira jika seandainya umurnya sampai di sini, wanita itu tidak boleh menikah lagi. Pokoknya tidak boleh. Biarlah Cira menjadi janda hingga tutup usia, agar Adam dan istrinya bisa kembali berpasangan di surganya Allah.

Baru saja mulut Adam hendak terbuka untuk menanyakan siapa gerangan yang datang, suara imut yang sangat pria itu hafal memanggilnya lebih dulu. Lantas, Adam menurunkan tatapannya, barulah ia bisa melihat sosok yang sempat membuat jantungnya berdegup kencang.

Adam mengembuskan napas lega. “Sini, Sayang.” Kedua tangannya menjulur, siap menerima tubuh mungil yang tadi tak kelihatan dan tertutup meja.

Lili tersenyum semringah menghampiri sang Papi yang juga tengah tersenyum kepadanya. Begitu sampai di samping ranjang pasien Adam, Lili menatap bingung pria itu. “Papi, Yiyi ndak bisa ke atas. Kasul ini tinggi kali,” katanya sembari menepuk-nepuk kasur.

“Sini-sini, biar Papi angkat.” Batita itu sempat memekik ketika tubuhnya diangkat Adam dan berakhir duduk di depan papinya.

Pria yang mengenakan pakaian rumah sakit masih menyematkan senyumnya, sementara jemarinya membelai rambut Lili yang lebat. “Lili ke sini dianter sama siapa?” tanyanya.

“Ama Dhiddy Pian, Pi. Tadi Dhiddy Pian mau ikutan masuk nini, apina ada ncus yang jegat. Ncusna bilang bebental agi mau ada opasi, jadina Dhiddy Pian uman antelin Yiyi ampe depan pintu,” jawab Lili dengan aksen lucunya. Adam pun sampai merasa gemas mendengar sang putri bercerita, lalu memindahkan tubuh itu ke pangkuannya.

Gerakan brutal yang dilakukan putrinya cukup mengejutkan Adam, apalagi selang infusnya sempat tersenggol tadi. Adam mengecek punggung tangannya yang tertancap jarum infus, hanya untuk memastikan supaya kebrutalan Lili tidak mengeluarkan darah dari sana.

“Emangna Papi udah sembuh?” Lili bertanya sambil terus memerhatikan wajah Adam. Penasaran, ia mendaratkan tangannya kencang di atas pipi sang Papi. Gerakannya itu membuat Adam melotot seketika, pria itu seperti sedang ditampar putrinya. Lili bukan hanya mewarisi gen Adam, batita itu juga mengambil sedikit gen maminya. Bar-bar. “Oh ... udah ndak nanas kok, Pi.”

“Udah dong, Tomato. Papi ‘kan bukan cowok lemah. Malah hari ini Papi dibolehin pulang sama dokternya,” jelas Adam.

“Mami tahu?”

Adam menggeleng. “Belum. Tadi Papi coba buat telepon Mami, tapi nggak diangkat-angkat.”

“Mami ‘kan sekulah, Pi. Banana mau angkat teponna Papi. Kalau Mami angkat, nantina Mami dimalahin ama bu gulu.”

Cira memang telah melanjutkan sekolahnya kembali. Setelah selesai mengambil paket C, istrinya itu segera melanjutkan ke jenjang perkuliahan dan memilih jurusan sastra. Untuk halnya pendidikan, Adam sama sekali tidak membatasi Cira dalam memilih jurusan. Apa pun yang dipilih sang istri, Adam cukup mendukungnya.

Ia berusaha menjadi suami yang bijak, dan tidak mengekang istrinya. Terkecuali pergaulan, Adam memang sedikit membatasinya. Pertama, Cira harus selalu dalam lingkungan dan pertemanan yang positif. Kedua, tidak boleh berteman dan berinteraksi dengan lelaki. Tunggu, namun jika sekadar bersapa saja Adam membolehkannya asal jangan yang lebih dari itu. Ingat ya, bersapa. Tentunya tidak ada kontak fisik!

Love Very Much [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang