Happy Reading ✨️
***
“Di mana Lili?” tanya Adam sesaat setelah pintu utama kediaman kedua orang tuanya dibuka oleh Zaky.
“Tadinya di kamar aku, sekarang udah dipindahin sama Kak Vivi ke kamar Abang,” jawab Zaky. Anak itu membiarkan Adam berjalan lebih dulu menuju lantai dua, ia menunggu keberadaan Cira yang masih berjalan di belakang sebab abangnya itu terlihat buru-buru dan mengabaikan Cira. Fokus Adam kini hanya kepada Lili, sang putri.
“Mbak.” Zaky menyapa kakak iparnya ketika wanita itu mendekat.
Cira memberi senyum, lantas dia bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakan Adam. “Demam Lili tinggi nggak, Za?” Sembari menaiki anak tangga, Cira memulai obrolan bersama Zaky. Mimik wajah Cira tidak sepanik dan setegang Adam, namun tak bisa dipungkiri ia juga mengkhawatirkan kesehatan sang putri.
“Nggak terlalu sih, Mbak. Cuman yang bikin kasihan itu, Lili yang terus-terusan nyebut nama Bang Adam. Kita dibikin panik sama situasi. Apalagi nomor Bang Adam susah dihubungin, Papa aja sampe marah-marah.”
“Abangmu itu orangnya ceroboh. Barang-barang dia di rumah kami banyak yang hilang. Tahu nggak, HP dia aja sampe sekarang belum ketemu. Tadi pas kami siap-siap, Mbak nyempetin buat nyari HP abangmu itu berharap bisa ketemu. Tahunya nggak,” kata Cira mengedikkan bahu.
Zaky menarik ujung bibirnya. “Mana bisa lupa aku sama sifatnya yang satu itu. Udah jadi rahasia umum.” Ia mengikuti Cira sampai ke kamar Adam. Saat pintu kamar terbuka terbuka, tampaklah pria itu tengah memeluk tubuh putrinya yang tertidur. Sesekali bibirnya mengecup kening Lili.
“Masih panas nggak, Pi?” Berjalan mendekati Lili, Cira mengambil posisi di sebelah kiri yang kosong. Ia ikut meraba kening sang putri dan masih bisa merasakan suhunya di atas normal.
“Kata Vian ini cuman demam biasa, paling besok suhu badan Lili udah turun. Tapi kalau semisal belum turun juga, kita harus bawa dia ke rumah sakit,” jelas Adam, memandang sendu putri kesayangannya yang sekarang berwajah pucat.
“Pi ... Papi ...,” racau Lili di tengah-tengah lelapnya.
Rasanya Adam ingin menangis kencang kala telinganya mendengar igauan Lili. Lengannya semakin mendekap tubuh hangat sang putri, kecupan kembali ia berikan di permukaan wajah mungil itu. Mungkin karena rasa nyaman dari seseorang yang memeluknya, sepasang mata yang terpejam itu sempat terbuka untuk beberapa saat sebelum kembali terpejam.
“Papina Yiyi.”
Runtuh sudah pertahanan Adam. Pria itu menangis tergugu dan sebisa mungkin supaya tidak menimbulkan suara yang mana akan mengganggu ketenangan putrinya. “Ini Papi, Sayang. Papi di sini, dan nggak bakal ke mana-mana. Papi bakal selalu ada di samping Lili, Tomato kesayangannya Papi,” bisiknya lirih, hampir tidak didengar Cira.
“Mas ...,” panggil Cira lembut.
Adam melirik sebentar ke arah istrinya dan membiarkan tangan wanita itu mengusap air matanya. “Setiap ngelihat Lili nggak berdaya kayak gini, Mas selalu inget dosa-dosa di masa lalu, Ci. Mas kasihan sama Lili. Kenapa dia harus terlahir dengan Mas sebagai papinya? Lili berhak lahir dari ayah yang luar biasa, bukan kayak Mas yang brengsek ini. Rasanya Mas masih nggak pantes dapetin anak sebaik dan selucu Lili.”
Cira membiarkan Adam mengeluarkan curahan hatinya.
“Mas nggak mau ngelihat Lili lemah begini, yang Mas mau Lili itu selalu sehat dan bahagia. Berharap nasib buruk nggak pernah dateng ke kehidupan Lili di masa depan. Mas nggak mau Lili kenapa-kenapa nantinya, cukup di masa lalu aja kemalangan itu ada.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Very Much [On Going]
Romance[Yuk, follow dulu akun ini sebelum membaca] * Cerita ini adalah season kedua dari 'The Angry Husband'. * Bagi kalian yang ingin membaca 'Love Very Much', disarankan untuk membaca 'The Angry Husband' terlebih dahulu supaya lebih mudah memahami alurny...