LVM - 6

167 23 2
                                    

Happy Reading ✨️

***

Adult content only available at KaryaKarsa 21+

***

Sesosok makhluk mungil yang telah rapi dan tubuhnya yang harum minyak telon membuka pintu kamar kedua orang tuanya dengan perlahan, agar tidak menimbulkan suara ribut dan berakhir mengganggu pria yang tengah meringkuk di bawah selimut.

Lili masuk pelan-pelan dengan kaki berjinjit, ia masih ingat pesan maminya supaya tidak berbuat gaduh di kamar kedua orang tuanya. Sebab sang Papi yang katanya mendadak sakit setelah pulang dari Bali semalam.

“Papi,” bisiknya lucu. Tidak mendapatkan respons dari Adam, tangan Lili terangkat menyentuh pipi pria itu. Memastikan dengan benar kalau papinya ini sedang sakit. “Mami ndak bohong. Badanna Papi nanas.” Lili hampir memekik ketika tangan mungilnya disentuh Adam, ia kaget.

Morning, Tomato-nya Papi,” sapa Adam serak. Napasnya terasa panas dan tubuh yang tidak enak.

Moning, papina Yiyi.” Putrinya membalas sambil tersenyum. Lalu Adam dibuat heran saat Lili tiba-tiba menarik tangan mungilnya dan membuat jarak di antara mereka. “Ih, Papi agi sakit, jangan deket-deket Yiyi. Banana kalau Yiyi nantina ketulalan Papi? Yiyi ndak mau, Pi.”

Bukan marah, Adam malah tersenyum. Andai tidak sakit, pasti batita gembul itu sudah ia unyel-unyel sejak tadi. “Lili tahu dari mana Papi sakit?” Susah payah Adam bertanya di saat yang bersamaan kepalanya berdenyut pusing.

“Mami. Yiyi uga pegang pipina Papi, nanas.”

“Nanas enak, Li.” Sempat-sempatnya Adam menggoda sang anak di tengah sakitnya.

“Nanas, Pi. Ukan nanas.” Maksud Lili ‘panas bukan nanas’.

“Iya, nanas emang enak. Papi suka buah itu walaupun kadang bikin gatel pas dimakan,” balas Adam. Wajahnya yang pucat masih terlihat tampan dan semakin tampan kala senyum terpatri di wajah yang selalu menampilkan raut datar dan dingin.

Lili menjerit jengkel. “UKAN NANAS BUAH, PAPI! TAPINA NANAS SAKIT!”

Tanpa merasa bersalah telah membuat putrinya kesal, Adam tertawa namun di detik berikutnya ia meringis sembari memegang sebelah kepalanya. Pusing kembali menyerangnya. Sialan, padahal Adam kira waktu sampai di rumah tadi malam hanyalah tidak enak badan biasa yang dirasakannya. Mungkin setelah bercinta gila-gilaan dengan Cira, tubuhnya kembali enakkan. Akan tetapi saat subuh menjelang, ia tiba-tiba tumbang.

Bangkit dari kasur saja tidak bisa saking lemasnya, belum lagi Adam masih tidak memakai apa-apa di balik selimutnya. Mengingat itu, genggaman Adam pada selimut langsung mengerat. Bahaya kalau Lili yang sedang kesal itu mendadak menarik selimut yang menutupi tubuh polos sang Papi.

“Ada apa ini?” Cira muncul setelah mendengar jeritan Lili yang melengking. Kebetulan pintu kamar belum Lili tutup, jadi suara yang ada di dalam terdengar sampai keluar meski sudah dipasang pengendap suara.

“Tuh, Papi bikin kesel Yiyi, Mi!” Lili menunjuk Adam yang terkapar lemah.

Lewat matanya, Cira memberi peringatan kepada Adam yang acuh tak acuh. “Kalau sakit tuh diem, coba. Nggak usah banyak tingkah ngisengin anaknya.”

“Hmm.”

“Uuuuu, Papi,” sorak Lili terhadap papinya yang langsung terdiam setelah kedatangan sang Mami. “Ayo, Mi, kita pegi sekulah.”

Adam segera menoleh mendengar itu. “Mami mau nganterin Lili sekolah? Terus Papi gimana? Mami mau ninggalin Papi yang sakit sendirian di rumah?”

Cira mengembuskan napas lelah mendengar rentetan pertanyaan dari suaminya. Adam yang jarang sakit membuatnya kerepotan. Bukan repot mengurusi sakitnya, tapi lebih kerewelan Adam yang ingin selalu ia ada di sisinya. Katanya takut terjadi apa-apa dengan pria itu saat tidak ada seorang pun yang menjaganya. Halah, alasan. Toh, Cira mana tega meninggalkan suaminya yang sedang sakit.

“Nggak, Pi. Mami tetep di rumah kok, ada Dhiddy Vian yang bakal anterin Lili,” jawab Cira yang diam-diam membuat Adam bernapas lega.

“Dhiddy, Mi?” Belum sempat Cira berkata ‘iya’, sosok yang tadi disebut telah datang menyambangi kamarnya.

“Lama amat. Ditungguin dari tadi nggak turun-turun,” celetuk Vian bersedekap dada. Matanya tertuju pada sang Abang yang berwajah pucat. “Oh ... beneran sakit toh?”

“Dhiddy, Yiyi ini.” Lili sembari menepuk dada memanggil Vian yang seolah tidak menyadari keberadaannya di sana. Padahal dokter muda itu tahu kalau di kamar ini juga terdapat keponakan cantiknya.

Vian mendekati Lili dan memeluk tubuh batita lucu itu. “Umm ... kesayangannya Dhiddy. Lili sehat?” Pertanyaan yang sebenarnya sedikit meledek sang keponakan.

“Pertanyaan lo, Vi!” protes Adam.

“Sensitif amat lo jadi bapak. Sekali lagi gue bilangin ke lo, Lili nggak gendut apalagi obesitas. Berat badannya pas untuk anak seumuran dia, nggak kurang dan nggak lebih. Apa perlu gue bawa ke dokter anak?” Vian menjelaskan kepada Adam yang memang sangat sensitif jika ada yang menyinggung tentang tubuh Lili. “Lo mau punya anak yang tinggal tulang doang? Hei, Adam ... anak kayak gitu justru nggak sehat. Anak lo ini sehat, bukan berarti sehat yang ada maksud terselubungnya. So stop being overreacting if someone offends Lili’s body. They are not teasing, but it is a form of praise for parents who are good at taking care of their children.

“Tuh dengerin,” sindir Cira.

“Papi ‘kan cuman khawatir Lili insecure dan takut kenapa-kenapa sama mentalnya, Mi.”

“Astaga, Lili masih kecil, Pi!”

Vian menyentuh bahu Cira, menyuruh wanita itu berhenti berdebat dengan Adam. Namun niat baiknya malah mendapat amukan dari Adam yang tidak rela istrinya disentuh pria lain. “Suami lo keknya bener-bener sakit. Mending lo bawa Lili ke bawah, biar gue periksa dia. Takut ada penyakit serius yang menggerogoti sarafnya.”

“Brengsek lo, Vian!” maki Adam setelah Cira dan Lili keluar.

Plak!

Anak kedua dari pasangan Redyna dan Gavin begitu ringan tangan menabok sisi kepala Adam yang sedang pusing. “Nggak usah ngerusuh lo, Bang. Gue jadi curiga lo beneran sakit atau nggak. Mana ada orang sakit bisa maki-maki. Sini, biar gue periksa dulu.” Vian menulikan telinganya kala Adam melontarkan umpatan-umpatan untuknya.

Subuh tadi Vian menerima panggilan dari Cira. Wanita itu meminta tolong kepadanya untuk mengantarkan Lili ke sekolah, sekaligus memeriksa keadaan Adam yang katanya sakit. Jika hasil diagnosis Vian parah, maka Cira akan membawa Adam ke rumah sakit.

“Lepas dulu selimutnya, biarin gue meriksa jantung lo bentaran,” perintah Vian. Stetoskop sudah terpasang di telinganya dan siap menyentuh dada Adam yang masih berbalut selimut. “Buka woy selimutnya!” Lama-lama Vian kesal melihat Adam bergeming.

Vian menggenggam sisi selimut yang lain dan berusaha menariknya agar ia bisa mengecek kondisi Adam. “Heh, apa susahnya sih timbang buka selimut? Gue juga biasa tidur telanjang dada. Nggak perlu malulah, kita ‘kan sama-sama cowok. Cepet buka.”

“Gue telanjang badan, bego!”

Untuk sesaat Vian tercenung, barulah ketika sadar ia mengumpat keras. “Anjing lo, Dam!”

“Mulut lo!” Buru-buru Vian membenahi peralatan dokternya dan keluar dari kamar sang Abang dengan hati dongkol.

***

TBC

♡ Follow IG-ku: @wlsrhmwt (Di sana, aku sering bikin spoiler untuk bab yang akan dipublish besoknya).

♡ Baca cepat di KaryaKarsa.

Love Very Much [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang