LVM - 21

87 17 2
                                    

Kalian nggak mau kasih apresiasi ke aku ya? Minimal vote. Tapi makin ke sini kok makin down 🥲

Happy Reading ✨️

***

“Lili udah tidur, Ci?” tanya Adam saat mereka berdua telah sampai di kamar tipe presidential suit yang sering anggota keluarganya gunakan ketika ada keperluan di G&Z Hotel. Dilepasnya jam tangan mahal seharga ratusan juta pemberian dari sang istri. Lalu disusul jas dan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya.

“Kata Mama, Lili pas nggak lama kita berangkat dia tidur. Nggak rewel juga itu anak,” jawab Cira. Wanita itu bersandar di punggung sofa, betapa lelah dirinya malam ini.

Bunyi notifikasi ponsel terdengar. Meski malas, Cira tetap meraih ponsel itu untuk melihat siapa yang mengiriminya pesan malam-malam. “Ya ampun, giliran gue udah begini dia baru dateng.” Cira mendengus kala membaca pesan dari Anisa.

Sahabatnya sudah datang sejak satu jam yang lalu dan kini mencari dirinya di sepenjuru ballroom. Dicari sampai ke kolong meja pun pasti tidak akan bisa menemukan Cira, sebab wanita itu sudah meninggalkan acara lebih dulu.

“Kenapa?” Kening Adam mengernyit saat mengamati sang istri yang berbalas pesan dengan bibir yang dimajukan lima senti.

“Ini si Anisa. Masa dia nyuruh aku balik lagi ke ball—“

“Nggak boleh!”

“Ya aku juga ogah balik lagi ke sana. Capek banget aku, Mas.”

“Bilang aja ke Anisa kalau kamu nggak bisa ke sana.”

“Udah.”

“Oke. Kalau dia tetep maksa kamu balik, kasih HP-nya ke Mas dan biar Mas yang ngomong ke dia langsung,” kata Adam.

Ting! Tong!

Sepasang suami-istri itu sontak menoleh ketika bunyi bel kamar mereka terdengar. Cira menatap Adam penuh tanya, siapa yang malam-malam berkunjung?

“Mungkin petugas hotel.” Segera pria itu bangkit dan berjalan menuju pintu. Tak lama kemudian, Adam datang dengan membawa paper bag di tangannya. Lantas menyerahkan paper bag tersebut kepada Cira. “Baju salin kita malam ini.”

Wanita itu mulai memeriksa isinya dan ternyata memang benar. Ada pakaian pria dan wanita, lengkap dengan dalamannya. “Aku mandi dulu ya.”

“Bareng.”

“Mas ....”

“Irit waktu, Cira. Tapi Mas rasa, mending kita berendam air hangat. Dingin-dingin gini enakan yang anget-anget,” ujar Adam berbohong.

Kedua netra Cira memicing ke arah Adam. “Tapi beneran lho, Mas nggak boleh macem-macem di kamar mandi nanti.”

Pria itu berdecak. “Takutan banget sih kamu, Cira.”

Tidak mengindahkan ucapan Adam, Cira memilih masuk ke dalam kamar duluan dan meninggalkan suaminya mengekor di belakang. Pintu kamar pun berhasil ia buka, namun tungkainya tak kunjung melangkah ke dalam saat melihat sebuah koper yang terletak di samping ranjang.

“Kenapa berhenti?” Pertanyaan itu terdengar sedikit ketus.

“Kayaknya kamar ini lagi dipake Erza,” ucap Cira, memberi sedikit ruang untuk Adam melihat ke dalam kamar. “Mending kita ke kamar yang lain aja.” Lagi-lagi ia meninggalkan Adam.

“Jadi Erza baru sampe dari Surabaya langsung ke hotel?” Itulah pertanyaan yang bercokol di kepala Adam sejak meninggalkan kamar tadi.

Sesampainya Cira dan Adam di kamar yang lain, wanita itu langsung melepas atribut yang melekat pada tubuhnya kecuali pakaian, tak lupa membersihkan wajah yang dipoles make up menggunakan micellar water. Selain pakaian yang dibawa oleh petugas hotel, ternyata terdapat beberapa skincare di dalam paper bag juga.

Kini wajah Cira sudah tampak polos, tidak ada lagi setitik make up di wajahnya. Beranjak dari kursi rias, kemudian ia hendak masuk ke kamar mandi. Akan tetapi ucapan Adam menghentikan tungkainya.

“Mandi bareng.”

“Iya-iya.”

Di dalam kamar mandi Adam menyiapkan air hangat untuk mereka berendam, tak lupa ditambah aroma terapi agar lebih menenangkan. Setelah semuanya siap, Adam lekas membuka celana panjangnya dan masuk ke dalam bathtub terlebih dahulu. Punggung lebarnya menyandar dengan mata yang terpejam erat.

Merasakan ada sosok yang mendekat, mata tajam itu terbuka dan mengamati sang istri dari bawah sampai atas. Tak ada ekspresi yang ditunjukkan Adam, namun pria itu mempersilakan Cira bergabung dengannya di bathtub.

Lengannya melingkar di pinggang Cira dan menarik wanita itu agar semakin merapat kepadanya. Seraya memeluk tubuh sang istri dari belakang dengan keadaan yang sedang berendam, Adam juga meletakkan dagunya di bahu polos Cira.

“Ada yang mau Mas ceritain,” cetus Adam setelah beberapa saat hening.

“Hmm?” Cira siap mendengarkan apa yang hendak Adam katakan sembari tangannya memainkan busa.

“Kamu tahu ‘kan kalau Mas ini anak pertama?”

“Hmm.”

“Tempo hari waktu Mas masih di kantor, Papa nelpon dan nyuruh ke rumah sebelum pulang. Mas pikir mungkin ada hal penting yang mau Papa omongin. Jadi, pas pulang ngantor Mas mampir dulu ke rumah Mama Papa. Dan ternyata bener ....”

Cira menoleh ke belakang saat tidak mendengar lagi suara Adam. Dirinya cukup tertegun melihat wajah sang suami yang tampak lelah layaknya orang banyak pikiran. Sebelah tangannya terulur membelai wajah lelah itu.

“Hei, ada apa?” tanyanya sangat lembut, meski perasaannya tidak baik-baik saja kala mendapati raut itu di wajah Adam.

“Masalah ini soal penerus Zhafir selanjutnya, Cira.”

“Penerus selanjutnya? Bukannya itu udah jatuh ke tangan Mas, dan bakal dilanjut sama keturunan kita?”

Adam mengangguk dan tak lama menggeleng. “Tadinya begitu. Tapi ternyata Papa ngelewatin satu hal yang dianggap sepele menurut dia sebelum Mas dinyatakan jadi penerus utama Zhafir Group.”

“Apa itu?”

“Buyutnya Mas atau bisa dibilang pendiri Zhafir Group ngebuat aturan kalau penerus utama harus anak pertama dan dia laki-laki. Tapi peraturan itu bercabang. Kalau si penerus itu nikah, dia harus punya anak berjenis kelamin laki-laki juga kalau mau Zhafir Group tetep di tangan penerus utama dan keturunannya, begitu pun sebaliknya,” jelas Adam.

“Kenapa Papa baru ngomong sekarang?”  tanya Cira yang tidak mengerti maksud Gavin mengatakan hal sepenting ini. Kenapa tidak dari awal saja? Ia jadi memikirkan sang putri yang sedang dititipkan di rumah orang tuanya. “Karena Lili bukan laki-laki, Mas bakal lengser dari status penerus utama. Sebegitunya Papa sama cucu sendiri.”

“Nggak gitu. Papa bukannya nggak suka atau yang lainnya kalau anak Mas itu perempuan, justru Papa sayang sama Lili, Ci. Karena dari dulu Papa pengen banget punya anak perempuan, sayangnya yang dilahirin Mama semuanya laki-laki. Makanya kehadiran Lili ini jadi sebuah anugerah buat Papa.”

“Anugerah tapi kok begitu,” gumam Cira sangat pelan, tidak ketinggalan decakan sebalnya. “Ya terus kenapa, Mas?”

“Papa nggak nyangka kalau prediksinya bakal meleset. Sebelum ngelantik Mas jadi penerus utama Zhafir Group, Papa udah yakin kalau cuman Mas yang cocok dari segi mana pun. Tapi itu sebelum kabar Erza yang katanya mau nikah dateng. Dilihat dari umur kami bertiga yang jaraknya lumayan dan nggak ada niatan dari Vian atau Erza apalagi Zaky untuk nikah muda, mangkanya Papa pikir nggak bakal ada yang ngeduluin Mas nikah dan punya anak laki-laki. Ternyata salah. Erza ... nggak tahunya dia bakal nikah dalam waktu dekat ini. Mas nggak mau anggep Erza saingan. Tapi, bisa aja pas Erza udah nikah, dia langsung dikaruniai anak, terlebih anaknya laki-laki.”

“Kenapa ke Erza? Bukannya Vian dulu? Dia ‘kan anak kedua. Kalau Mas lengser, harusnya status sebagai pewaris utama itu otomatis turun ke anak setelahnya, Vian.”

Menarik napas dalam-dalam, kemudian diembuskan secara perlahan. “Di awal Vian milih jurusan kedokteran, di saat itu juga dia bilang nggak mau terlibat sama Zhafir Group. Vian nggak suka bisnis. Anak itu lebih suka nyembuhin orang sakit. Kenapa Erza? Karena setelah Vian adalah Erza. Erza suka bisnis tapi untuk yang jadi utama, dia nggak mau. Kata Erza, dia seneng nggak jadi yang utama dalam mengelola Zhafir Group, alasannya karena dia nggak mau terbebani sama tanggung jawab besar itu.”

“Tapi, semisal Erza punya anak laki-laki, siap atau nggaknya, dia harus jadi pewaris utama ngegantiin Mas.”

Adam mengedikkan bahunya acuh. “Entah, kalaupun Erza nolak, Mas yakin Papa langsung ambil tindakan supaya Erza nggak punya pilihan lain.”

“Jadi kesimpulannya ... Mas nggak bisa lengser sebelum Erza punya anak laki-laki?” Mendapat anggukan kepala dari sang suami, Cira kembali bertanya, “Mas nggak apa-apa kalau Erza ngegantiin posisi itu?”

“Mas nggak apa-apa. Tapi ada satu tuntutan dari Papa yang bikin Mas kepikiran akhir-akhir ini,” aku Adam.

“Apa itu?”

“Sebelum keduluan Erza, Mas harus cepet buat kamu hamil lagi, dan kali ini harus laki-laki. Papa udah terlanjur puas sama kinerja Mas selama ini untuk mimpin Zhafir Group. Bukan maksud Papa nggak percaya sama Erza. Tapi Papa bilang, kenapa nggak mempertahankan yang udah ada?”

Untuk beberapa saat Cira termangu. Hamil lagi? Dan harus laki-laki?

“Ya kalau memang itu jalan keluarnya, aku sih ayo aja,” ucap Cira gamblang.

Adam menggeleng tegas. “Mas yang nggak bisa, Cira.”

“Karena waktunya nggak banyak ya buat aku hamil lagi? Iya sih, belum tentu juga langsung jadi dan laki-laki.” Entah Cira salah ucap atau bagaimana, namun Adam tampak marah. Adakah kata-katanya yang menyinggung pria itu?

“Persetan sama anak laki-laki, Cira!” Adam menggeram marah. “Mas nggak mau jadiin kamu mesin pembuat anak cuman demi takhta sialan itu! Emang kamu pikir hamil dan ngelahirin itu gampang?!” Gegas ia beranjak dari bathtub dan berjalan menuju shower untuk membilas tubuhnya.

Mata pria itu terbuka kala merasakan ada sepasang lengan melingkar di pinggangnya. Akan tetapi ia tetap bergeming menikmati kucuran air shower membasahi tubuh. Mengingat kembali ucapan Gavin yang terkesan menuntut malah membuat kepala Adam rasanya ingin pecah.

Adam menyayangi Cira, Adam mencintai Cira. Membuat Cira hamil hanya demi takhta keluarganya itu sangat egois menurut Adam. Ia tahu bagaimana rasanya hamil dan melahirkan, semua dapat dilihat bagaimana dulu Redyna mengandung ketiga adiknya.

Tidak sampai hati Adam menyuruh Cira hamil kembali dan anak itu harus berjenis kelamin laki-laki. Adam tidak siap melihat Cira kesakitan seperti yang dirasakan mamanya dulu. Bahkan pria itu sering terbayang bagaimana dulu saat Cira tengah mengandung Lili, apalagi dirinya yang tidak ada di samping sang istri.

Pasti itu sangat sulit untuk Cira melewati masa kehamilan tanpa didampingi sosok suami. Adam merutuki dirinya yang amat brengsek kala itu. Maka dari itu di masa sekarang ini Adam tidak ingin menjadi sosoknya yang seperti dahulu. Ia tidak ingin menjadikan Cira sebagai mesin pencetak anak. Tidak apa posisi pewaris utama digantikan oleh sang adik, Adam rela. Asal jangan Cira—istrinya yang dijadikan tumbal.

“Maaf, Mas, kalau kata-kataku ada yang salah,” lirih Cira. Membenamkan wajah di punggung kekar milik Adam.

***

TBC

Love Very Much [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang