TUJUH

38 3 0
                                    

Sore hari telah tiba. Karin sedang duduk menunggu di halte bis depan sekolahnya sambil memainkan ponselnya sebagai penghilang rasa bosan. Hari ini ia tidak membawa kendaraan sendiri entah karena apa.

Tiba tiba, seseorang menghampirinya dengan mengendarai sport putih. Ia mengerutkan dahinya. Ia tahu siapa orang itu.

"Kenapa belum pulang?" Tanya Zafran.

"Nungguin jemputan."

"Oohh... Sini bareng gue aja." Tawar zafran.

"Nggak ah. Takut ngrepotin."

"Nggak ngrepotin kok, ayo!"

"Nggak."

Sebuah taksi berhenti tepat di depan halte. Karin segera berdiri dan menghampirinya.

"Ee– taksinya udah dateng, gue duluan ya. Makasih atas tawaran tumpangannya." Ucap Karin lalu masuk ke dalam kursi penumpang.

Taksi melaju meninggalkan Zafran di halte. Zafran menghela nafas, lalu ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Membelah padatnya kota.

****

Motor Zafran berhenti saat sampai di suatu lautan yang sepi dengan pengunjung. Ia turun, melangkahkan kaki menuju bibir lautan. Ia mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya keras ke arah lautan.

"AAARRRGGGHH......"

Ia duduk di atas pasir putih yang halus. Menatap senja dengan tatapan yang serius.

"Andai, mama masih hidup, mungkin hidup gue nggak menjadi semenyakitkan ini. Semenjak kepergian mama, papa menjadi berubah. Dia melanggar janji mu ma. Aku udah nggak kuat lagi ma."

Ia mengeluarkan sebuah cutter dari dalam tasnya. Lalu mengeluarkan mata pisaunya perlahan. Menempelkannya di pergelangan tangan kanannya.

"Kenapa lo?"

Suara seseorang yang membuat zafran berhenti melakukan aksinya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Karin sedang berjalan menuju dirinya.

"Kenapa lo, pake bawa cutter segala lagi." Tanya Karin setelah duduk di samping Zafran.

"Gue mau mati."

"Ngapain? Lo itu di kasih hidup sama Tuhan syukurin. Lo pernah denger gak sih, berita tentang bayi yang meninggal. Padahal itu baru saja lahir."

"Tapi lo nggak pernah ngerasain apa yang gue rasa. Semenjak mama meninggal, papa gue berubah. Gue selalu di sakiti, di siksa. Gue nggak di anggep sebagai anaknya."

"Zaf." Karin memegang pundak Zafran.
"Seberat apapun ujian lo, lo harus tetep sabar. Itu namanya ujian. Tuhan memberikan kita ujian terhadap seorang hambanya nggak akan melebihi batas kekuatan hambanya."

Zafran mengambil tangan Karin dan menggenggamnya.

"Makasih ya udah bikin gue semangat hidup lagi."

Karin tersenyum. Mereka kembali menatap senja.

"Lo nggak sendiri Zaf."

****

*
*
*
*
*
*
**************************************

ZAFRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang