Sebelum matahari merangkak mencapai puncak, dia mengendap-endap memasuki sebuah kamar mandi yang penuh dengan corak hijau. Tak ada maksud apapun dengan endapan senyap kakinya. Dia hanya tidak ingin membuat keributan akibat panggilan alam yang sudah menjadi kebutuhan.
Rambutnya ia sibak ke belakang agar tak mengganggu kegiatan alaminya. Dalam diam ia nikmati semua yang harus ia lepaskan. Matanya sibuk mengitari ventilasi-ventilasi persegi di tepian dinding kamar mandi. Tak berharap apapun ada, seperti pemandangan yang indah, hewan melata merayap, nyamuk-nyamuk berterbangan, atau yang lainnya. Kedua netranya hanya ia sibukkan agar ia tak bosan. Biasanya ia membawa buku atau sebuah sajian serial romedy dari benua seberang, tapi tidak pagi itu. Dia tak membawa apapun kecuali semua sisa makanan yang harus ia keluarkan dan sepasang earphone melekat di kedua telinganya.
Earphonenya tersambung pada panggilan yang telah terhubung selama hampir dua belas jam, ada suara gemeresak dari seberang yang coba ia dengarkan. Tak ada yang aneh, meski perutnya terasa naik setelah yang ada di dalam earphone itu berkata, "aku hanya ingin melihatmu di sini." Teringatlah kembali ia akan kalimat itu. Kembali juga rasa sesak yang ada di perutnya, alarm dari tubuh jika ada sesuatu yang terjadi yang tak ia ketahui. Ia coba tenangkan pikiran dan berprasangka bahwa mungkin saja pelepasannya pada perutnya belum semuanya. Tapi setelah beberapa menit tak ada tanda dari dalam yang ingin keluar, ia akhiri rutinitas paginya itu. Ia bereskan semuanya dan mencuci telapak tangannya cepat.
Kakinya melenggang ringan menuju halaman belakang dengan pemandangan bekas kandang ayam, rerumputan hijau tak beraturan, dan burung-burung berkicauan. Langit indah. Matahari cerah. Angin ringan saling berdesah. Ia pejamkan matanya sejenak, menikmati apapun yang bisa dinikmati, berharap tenang menyapanya dan menurunkan sesak diantara perut dan dadanya.
Tapi sepertinya tak berhasil. Semakin ia tarik napasnya demi menghalau resah, semakin rasa tak enak itu tak mau menyerah. Kesal sekali kalau sudah begitu. Ia hentakkan kakinya, dan mulutnya mulai mengoceh.
"Jadi apa yang kau cari di sini?" Ia berbicara dengan seseorang di dalam earphonennya yang masih terpasang.
"Kau mau bertanya berapa kali?" Jawab yang di seberang.
"Jawab saja. Aku ingin jawaban."
"Dan aku sudah menjawabnya."
"Maksudku, ada angin apa kau tiba-tiba di sini?"
"Tidak ada angin. Tidak ada badai."
"Lalu?"
"Apa aku perlu alasan khusus untuk ada di sini?"
"Menurutku ya karena kau membenci tempat ini, lalu tiba-tiba kau memutuskan datang ke sini."
"Aku ingin melihatmu di sini."
"Alasan lain?"
Ada suara gemeresak dari seberang, membuat gadis itu menggaruk kepalanya. Ia merasa tak nyaman.
"Tidak ada, sayang."
Ketika dipanggil sayang, ia terdiam. Ada perasaan lega, tapi hanya secuil upil. Tak melegakkan. Membuatnya malah ingin semakin menuntut penjelasan.
Terkadang dia merutuki diri sendiri akan rasa penasaran tak masuk akal yang ia tahu akan membuatnya menyesal. Tapi meski begitu, ia takkan berhenti sampai ia mau berhenti.
Maka setelah duduk di belakang halaman dengan kandang ayam sebagai pemandangan, ia pindah ke halaman lebih belakang. Entah kenapa ia begitu, tapi yang jelas ia tak bisa kembali ke kamarnya, tak bisa terus memaksa sebuah jawab ketika seliweran orang lalu lalang bisa mendengar.
Ketika berjalan ke halaman paling belakang, ia hampir tersungkur. Kakinya menyandung pinggiran pagar pembatas antara lahan yang bisa ia tinggali dan tidak. Untung tidak jatuh. Kalau jatuh, akan tambah murunglah hatinya.
"Tolong katakan saja apa alasanmu ke sini lagi? Kau kan tidak menyukainya? Kau pernah mengatakan kalau tempat ini hanyalah sampah tak berguna yang hanya akan membuang waktu secara sia-sia."
Dia kembali mengejar apa yang ingin ia dapat setelah pantatnya mendapat tempat diantara kayu-kayu yang ditata di atas tanah yang sepertinya bekas kandang ayam yang lain.
Tidak ada jawab. Padahal dia sudah menunggu. Yang ada hanya helaan napas berat. Menunjukkan bahwa pertanyaannya benar-benar membuat beban yang ditanya. Dia jadi merasa tak enak. Sama seperti pantatnya yang tak nyaman. Tapi karena ego sudah menguasainya, dia tak peduli.
Detik berlalu. Menit berlalu. Tak sampai jam berlalu, ia kembali mengulang pertanyaannya. Dan yang ditanya tetap menjawab dengan jawaban sama. Dia mulai sebal. Jengah. Dan kesal. Akhirnya ia sambar sembarang topik yang bisa ia kaitkan dengan apa yang diinginkan egonya. Membuat rusuh otak yang di seberang agar sama rusuhnya dengan isi kepalanya yang tak jelas.
Pertengkaran pun terjadi. Pikirnya ini akan menjadi kemenangannya. Tapi yang terjadi malah ia tersungkur biru dengan hati yang sudah patah menjadi tambah berserakan. Kasian sekali, tapi ulahnya sendiri terus mengejar egonya yang sakit.
Terisak ia diantara rerindangan pohon pisang, tumpukan sampah bekas dibakar, dan riak sungai yang tersumpal banyak kotoran. Meratapi kenapa hatinya terus dipatahkan oleh isi kepalanya sendiri. Menangisi diri kenapa ia tak bisa meredam hati.
"Aku mencintaimu. Aku tidak melakukan hal-hal yang kau khawatirkan. Dan aku tidak akan melakukannya. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Tapi tolong jangan lagi bahas yang sudah-sudah. Hatiku pun tak sekuat baja. Setiap kali kau mengungkit-ungkit hal lalu, sebiru itu aku dirajam malu. Malu pada diri sendiri. Malu padamu. Aku sungguh minta maaf. Mohon maafkan aku."
Saat telinganya mendengar itu, rasanya kapal yang sedang terombang-ambing begitu hebat di dalam lautan jiwanya menjadi tenang seketika. Ombak dalam hatinya tak lagi bergejolak. Lenyap semua badai yang menghantam-hantamkan kapalnya diantara lautan yang begitu dalam.
Bersamaan dengan tentramnya jiwa, kedua netranya mendapati kupu-kupu berterbangan, bermain-main diantara tanaman rambat entah apa.
"Apa kau masih mencintaiku?" Tanyanya sambil memandangi kupu-kupu dengan corak hitam dan kuning di kedua sayapnya.
"Aku selalu mencintaimu." Jawabnya.
"Apa kau memaafkanku juga akan semua ego tidak warasku?" Tanyanya lagi.
"Iya, aku memaafkanmu."
Desiran angin berkelebat sedikit lebat. Menerbangkan anakan rambutnya ke sisi wajah yang menghadap pada kupu-kupu yang terus terbang melintasi kepalanya, pepohonam pisang, tanaman rambat, dan berakhir menyeberang ke tepi sungai lebih jauh.
"Goodbye butterfly," gumamnya saat ia tak lagi melihat kupu-kupu, pun ego sakit jiwanya.
🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
MAU MANDI TAPI SUDAH PERNAH
Random[Mature] Bisa jadi rangkaian diksi. Bisa jadi kumpulan puisi. Bisa jadi deretan fiksi. Bisa jadi buah-buah mimpi. Bisa jadi pilihan lain selain mati. Seperti semua hal bisa jadi. ©VanillaBear2019