Hari ini aku melihat sepasang jendela jiwa miliknya menerawang jauh pada sebuah lahan kosong yang tak diketahui jelas pemiliknya. Aku bisa berkata jauh, karena terlihat dia begitu mengawang hingga kupanggil-panggil sepuluh kali dia tak menyahut.
Ingin aku melemparnya dengan sebuah permen tusuk rasa susu yang sedang kugenggam. Menyadarkannya barang kali dia bisa menyahut panggilanku dan kita bersenda canda seperti biasa. Tapi, aku kasian melihatnya. Kepalanya kemarin sudah terantuk pinggiran meja saat dia kaget aku tiba-tiba menyentak.
Salah sendiri juga kenapa dia berteriak di tengah siang saat semua pusing kepalang. "JANGAN PERGI!!!"
Padahal siapa yang pergi?
Aku toh selalu di dekatnya. Menemaninya yang seringnya seperti tak dianggap. Hantu mungkin aku ini pikirnya. Tak kasat mata. Makanya dia cuek-cuek saja.
Dan kini, dia kembali lagi berkelana melalui tatapan netra. Pergi jauh melewati sahara, tak peduli jika aku hampir merana.
"Halo!" Kugerak-gerakkan tanganku di depan matanya. Cepat dan dekat. Berharap ia tergagap atau apalah yang penting dia terjaga. Tapi, yang kudapati bukan ingin yang kumau, melainkan dia yang malah semakin membisu.
Untung sabar nama tengahku, jadi kudekatkan diri dan berbisik di telinganya sedikit nyaring. "Aku pulang, Pa! Papa sudah makan?"
"Kamu sudah mandi? Kalau sudah, temani papa di sini. Papa mau cerita tentang anak papa yang sudah mati."
Dan tinggalah aku. Menyeret kaki menuju kamar mandi. Demi mendengar cerita papa tentang aku yang katanya mati.
20191020
KAMU SEDANG MEMBACA
MAU MANDI TAPI SUDAH PERNAH
Casuale[Mature] Bisa jadi rangkaian diksi. Bisa jadi kumpulan puisi. Bisa jadi deretan fiksi. Bisa jadi buah-buah mimpi. Bisa jadi pilihan lain selain mati. Seperti semua hal bisa jadi. ©VanillaBear2019