08 | AS

112 10 0
                                    

Malam yang begitu sunyi. Asha memandangi bintang-bintang dari kaca kamarnya. Ia sedang sedih belakangan ini, dan melihat bintang adalah salah satu cara untuk membuat diri menjadi lebih tenang menurut Asha.

Baru beberapa hari lalu, Asha tak sengaja memergoki Rakha sedang berduaan di suatu jalan tengah kota pada saat malam hari. Mereka berdua sedang bersepeda, parahnya Rakha tak menyadari sedikitpun keberadaan Asha yang kala itu tengah menenteng kantung belanjaan bersama Abbas disebelahnya.

"Kak, itu ada Rakha!" Ucap Asha.

"Sama siapa?"

"Zaylee, temen aku."

"Oh, saya baru tahu ada pacar sahabatan sama sahabat pacarnya."

Itu yang Abbas katakan. Jujur sulit dipahami. Tapi membuat Asha menjadi terus membatin hingga malam ini.

Rakha yang tak tahu ada apa yang terjadi dengan Asha, terus memberikan pesan secara spam pada Asha setiap malamnya. Menanyakan gadis itu apa sudah makan? Mempunyai masalah? Atau hal lainnya. Padahal simpel, Rakha tinggal menyadari apa yang tengah ia perbuat pada saat hari itu.

Asha tak habis pikir, baru kali ini ia merasa sangat kecewa pada Rakha.

Tapi Abbas juga sama saja, laki-laki itu memanfaatkan suasana saat ini sebagai sarana membuat Asha sadar bahwa Rakha tak baik untuknya.

Semuanya membuat Asha gelisah. Dan ia juga tak habis pikir dengan Zaylee, setega itu dia berduaan dengan pacar sahabatnya sendiri? Ya Asha tahu Zaylee sedari dulu memang menyukai Rakha, tapi bukannya itu sudah lama? Harusnya dia juga bisa menghargai Asha sebagai sahabatnya.

Tok..tok..tok..

"Assalamualaikum, Sha. Makan dulu!" Ujar Abbas, mengetuk pintu kamar Asha.

"Iya, wa'alaikumsalam."

"Jangan kebanyakan ngelamun, saya punya cerita nih. Makanan juga sudah datang, bawa buku, habis makan kita belajar!" Titah Abbas.

Jujur saja, selama Abbas tinggal disini, Asha serasa lebih merasa hangat karena mempunyai Abbas seperti alarm manualnya yang tak pandai mengurus waktu. Semua pr nya tuntas setiap hari, Asha jadi lebih menghabiskan waktunya untuk belajar ketimbang main handphone atau teleponan bersama Rakha seperti sebelumnya.

Diruang bawah, wangi makanan yang Abbas pesan tercium hingga lantai dua saat Asha membuka pintu kamarnya.

Abbas memang paling tahu selera Asha, entah darimana pun laki-laki itu mendapatkan informasi, tapi sejauh ini Abbas sangatlah mengerti apa makanan yang langsung menggugah selera makan Asha.

"Lo tau darimana gue suka pizza?" Seru Asha, ia langsung menyerobot satu potong dan segera duduk jauh dari Abbas sesuai dengan peraturan yang ada.

"Orang saya juga suka!"

"Berarti selera kita emang sama."

"Tapi saya gak selera gelisah kayak kamu karena liat dia sama yang lain." Sindir Abbas.

Asha memutar bola matanya malas, ia tak peduli Abbas akan mengatakan hal apa lagi malam ini. Yang penting ada pizza didepannya.

Dilihat-lihat, Abbas ini tipe orang yang sangat acuh pada orang lain diluar urusannya. Ya itu Asha simpulkan setelah melihat kertas-kertas surat cinta berserakan ditempat sampah kemarin.

"Itu kemarin surat di tempat sampah punya lo?" Tanya Asha.

"Iya."

"Banyak banget, setenar apa lo di kampus sih? Jadi penasaran."

"Biasa aja. Mereka nulis surat cuma karena gak dapet nomor hp saya."

"Isinya ngungkapin perasaan semua, tanggung jawab sana lo bikin anak orang jatuh cinta!" Seru Asha, merasa tak adil jika surat-surat cinta kemarin tak mendapatkan sebuah balasan.

"Ya masa saya harus pacaran sama mereka satu-persatu buat ngasih feedback nya?" Tolak Abbas, malas.

"Sombong lo. Pasti karena mikir semua orang suka sama lo ya? Eh gue enggak kok."

"Bukan begitu. Prihal cinta itu gak bisa dipaksakan, konsekuensinya jatuh cinta adalah sakit hati. Jadi kalau kamu berani jatuh cinta, kamu juga harus berani sakit hati. Gak semuanya harus sama dengan apa yang kamu mau. Mereka juga begitu." Jelas Abbas, secara lembut sembari menekankan beberapa kata.

Asha menunduk. Kenapa yang dikatakan Abbas lagi-lagi sama dengan keadaannya saat ini. Ia sudah berani jatuh cinta, maka Asha juga harus berani sakit hati.

Semuanya masuk akal.

"Cinta dipaksakan juga ada. Tapi butuh proses untuk menerima semua itu, harus melewati rasa sakit bagi siapa yang terlebih dulu jatuh." Lanjut Abbas.

"Iya.." jawab Asha.

Jika ada nominasi seseorang perangkai kata-kata terbaik di dalam hidup orang lain, mungkin Abbas adalah pemenangnya. Sehari ia bisa jadi merangkai 5 kalimat di setiap topik pembicaraan mereka.

"Malam ini lanjutin tadarus kamu."

Asha mengangguk, ia menghabiskan pizza nya secara pelan-pelan. Seluruh badannya menjadi kaku setelah mendengarkan kata-katanya indah tadi terucap dari lisan Abbas.

"Tapi apa lo pernah bayangin kak, kalau lo diposisi cewek-cewek yang ngirimin lo surat itu." Tanya Asha, setelah mampu mencerna dengan baik pencerahan yang sebelumnya.

"Saya bakalan terima apa adanya. Seseorang yang benar-benar jatuh cinta pasti mengerti, tak semua cinta harus dibalas dengan cinta lagi. Jadi Asha, kesimpulannya adalah jangan menerima cinta dari seseorang yang hanya karena kamu
kasian sama dia."

"Yakali.. gak gitu juga kali."

"Habis kamu ngulang-ngulang gimana nasib mereka yang habis ngirim surat cinta gak dapat balesan, mau kamu bales? Sama aja itu saya ngasih harapan palsu sama mereka."

"Daripada galau?"

"Lebih galau kalau saya balas dengan penolakan."

Mulut gadis itu bungkam, tak ada kalimat bantahan lagi yang terpikir di dalam pikirannya. Abbas, Abbas, tak salah laki-laki itu ingin menjadi seorang jaksa.

Ah tidak, Abbas tidak kuliah di bidang hukum karena ingin menjadi seorang jaksa. Ia malah kuliah di bidang kedokteran karena itu adalah impian sang Ibunda, mempunyai anak seorang dokter. Abbas berusaha mewujudkan mimpi Ibundanya, karena menurutnya, Ibunda adalah cinta pertama dan segalanya bagi hidup Abbas.

"Iya, oke, siap. Gue kalah."

"Gak ada yang mengadakan pertandingan tuh!" Ledek Abbas.

"Argh, terserah."

*

*

*

*

Abbashana ✓ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang