34 | AS

98 8 0
                                    

Rumah berwarna putih dengan ukuran sedang ditengah-tengah komplek, memiliki taman kecil didepannya terlihat hangat ketika Abbas pulang memasuki pekarangan. Lampu luar yang temaram, menandakan bahwa Ashana pasti sudah berada dirumah. Ditambah dengan wanginya masakan lezat dari dalam, Abbas yakin Ashana belum tidur seperti apa yang dia perintahkan tadi pagi.

"Assalamu'alaikum!" Ujar Abbas, ketika pintu terbuka.

Jelas diruangan dapur menampakkan Ashana yang sedang sibuk dengan masakannya, dari wanginya, Abbas bisa menduga-duga bahwa istrinya sedang memasak mie goreng instan. Sebuah kebiasaan buruk bagi Ashana yang lapar sedikit, pasti harus saja memasak mie. Abbas tidak pernah lelah untuk menasihati Ashana, walaupun masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

"Waalaikumusalam!"

Suara barang berjatuhan dari arah dapur menjelaskan kondisi Ashana sekarang, dia tertangkap basah.

"Astaghfirullah.. Asha, udah saya bilangin, 'kan, kemarin? Minggu ini jatah masak mie kamu sudah habis, gak sehat loh buat kesehatan. Mau mie apapun itu, pokoknya jangan!"  Abbas melempar tatapan maut pada Ashana yang sedang nyengir kaku dihadapan satu sendok suapan terakhir.

"Maaf.."

"Tolong uang jajannya jangan disalahgunakan untuk beli mie instan, saya gak mau kamu sakit. Coba sekarang kesini!"

Abbas terlihat menyeramkan dalam keadaan marah, perlahan Ashana menghampiri Abbas dengan langkah kecil, takut kena amarah lagi. Dihadapan Abbas, Asha hanya menunduk meminta maaf. Lalu tangan besar itu merangkul tubuh Asha masuk kedalam pelukan, diusapnya surai lembut sepunggung itu dengan gerakan yang perlahan, Abbas membenamkan wajahnya di dekapan Ashana dengan posisi membungkuk untuk menyamakan tinggi badan.

"Jangan diulangi, ya? Dengerin apa kata saya."

Ashana mengangguk, kini berbalik dia yang mengusap-usap punggung Abbas, terlihat jelas rasa lelahnya seusai pulang bekerja.

"Mandi, Kak! Udah makan belum?"

"Belum. Masakin sesuatu, ya, Sha? Saya mandi dulu." Abbas mengecup kening Ashana, dia menatap Asha sebelum pergi mandi.

"Udah shalat isya?" Sambungnya.

"Udah gue mah, ayo cepetan mandi sana!" Titah Ashana mendorong tubuh Abbas menjauh darinya.

Ah, Asha lemah jika Abbas marah. Bukannya makin seram, laki-laki itu malah makin romantis. Diantara banyaknya jumlah orang yang pernah Ashana temui, mungkin diantara mereka yang tertarik padanya hanya beberapa dari semua jumlah, dan yang menerima Ashana apa adanya hanyalah Abbas seorang. Karena itulah, berjodoh dengan Abbas adalah hal yang paling Ashana syukuri dalam hidupnya. Berat hatinya pada kedua orang tua hilang begitu mengenal Abbas, dan apa yang dahulunya susah untuk dilepaskan, kini Ashana sudah bisa mengikhlaskan.

Pikirannya berputar pada konsep resepsi pernikahan yang tertunda, Asha teringat bahwa Abbas memintanya untuk memikirkan seperti apa wedding dream yang diinginkannya, lantaran jujur saja Asha kesulitan untuk memilih.

Semalaman dia mencari referensi, namun tetap saja perasaan labilnya itu menghancurkan rencana yang sudah diatur. Tidak tahan melihat konsep yang lebih bagus, dia langsung mengganti beberapa hal yang sudah diputuskan. Abbas menyuruhnya untuk tenang dan memilih dengan keyakinan tinggi, hingga Ashana menemukan apa yang diinginkannya.

"Sha, minggu depan kita bakalan kerumah orang tua saya. Menurut kamu, kita harus bawa apa aja?" Tanya Abbas, disela-sela waktu mereka akan pergi tidur.

Sontak Asha teringat dengan rencana berkunjung kerumah orang tua Abbas, dia terbangun dari tidurnya dan duduk  ditepi ranjang untuk berpikir sejenak. Bukan, bukan memikirkan barang bawaan. Tapi memikirkan panggilan yang lebih romantis agar keluarga Abbas memiliki pandangan baik pada Asha, dimulai dari merubah gaya bicaranya yang sembrono pada suami sendiri.

"Ih, masa ntar disana kita manggilnya gue-lo, saya-kamu? Bisa-bisa keluarga kak Abbas ngira gue cewek apaan lagi.."

Abbas tersenyum, "salah siapa ke suami sendiri manggilnya, lo-gue?"

"Ya itu mah udah kebiasaan, ari kamu teh! Yaudah deh, gue bakalan latihan ngubah cara ngomong seminggu ini, biar lebih keliatan lemah lembut!" Ujar Ashana mengepalkan tangannya, dia bertekad bulat untuk merubah keadaan.

"Kak Abbas juga, jangan saya-kamu. Formal banget sama istri?" Celetuk Ashana, tak mau salah sendirian.

"Iya, sayang.." gumam Abbas, yang akhirnya tidur setelah satu kalimat itu diucapkan oleh lisannya.

Pipi Asha memerah, ingin sekali dia menonjok muka Abbas ketika memanggil panggilan sayang tanpa aba-aba. Tapi kasian, suaminya sudah terlelap karena kelelahan. Asha tak mau jadi istri durhaka yang menonjok suaminya yang tertidur seusai pulang kerja. Kriminal, dosa besar.

"Gak jelas!" Umpatnya, langsung menyembunyikan seluruh tubuh dalam selimut untuk menutupi kelakuan salah tingkah akibat kejahilan Abbas.

***

"Bas, apa kabar?"

Abbas tercengang, dia membulatkan matanya sempurna saat laki-laki berjubah putih menghampirinya dari jauh.

"Ya Allah, apa kabar juga, Kaseem? Saya alhamdulilah baik.."

Kaseem, teman dekat Abbas saat dia berada di pesantren dahulu. Kasem adalah anak dengan kuasa tertinggi dulu, ya benar, dia anak pemilik pesantren. Tapi tingkahnya diluar nalar ketika masih kecil, dan partner criminal Kaseem adalah Abbas. Lihatlah kini, menjadi buronan saat kecil, dan menjadi sosok yang sukses saat besar. Persahabatan Abbas dan Kaseem tidak pernah terputus.

"Gimana sekarang? Udah nikah, Seem?" Tanya Abbas.

"Ya antum belum diundang, 'kan? Berarti belum."

"Jangan lupa undang! Nanti saya datang gandeng istri."

"Lah, udah nikah?"

"Udah, resepsinya bulan depan. Ditunggu undangannya, Kaseem."

"Na'am, saya tunggu. Kalau begitu duluan ya, Bas. Saya lagi nemenin Ummi, maaf gak bisa lama-lama ngobrol, lain kali kita ketemu lagi ya. Assalamualaikum!" Kaseem menepuk pundak Abbas sebelum melangkah lebih jauh.

"Waalaikumusalam.." jawab Abbas.

Sahabat lamanya yang tidak pernah berubah, sifatnya yang riang selalu membuat Abbas nyaman berteman lama dengan Kaseem. Dikesempatan selanjutnya, jika suatu saat anak dari Kasem adalah laki-laki yang tak jauh adalah duplikatnya, Abbas sangat ingin menikahkan anak perempuannya dengan anak Kaseem. Ya, itu tak lain dari pertanyaan 'kalau kamu punya anak perempuan, kamu mau jodohin dia sama siapa diantara temanmu?' jawaban Abbas jelas adalah Kaseem. Karena dia mengenal baik bagaimana kepribadian sahabatnya yang penyayang.

Salah satu keinginan terbesar Abbas. Membuat anak gadisnya menemukan iman yang baik, dan mendidik anak laki-lakinya menjadi iman yang baik.

"Waalaikumusalam, kenapa, Sha?"

"..."

"Iya nanti pulangnya saya bawain."

"..."

"Iya, sayang iya."

"..."

"Katanya latihan?"

Tutt..

Panggilan telepon yang baru saja tersambung selama 10 detik itu mati, Ashana marah, dia belum terbiasa dengan Abbas yang seenaknya memanggil dirinya dengan kata 'sayang', jantung Asha tak aman dan berdetak lebih cepat dari biasanya. Badannya memanas, dan pipinya mulai mengeluarkan semburat merah. Pokoknya Ashana marah besar, dia tak suka terlihat salah tingkah, dan Abbas malah hobi menjahilinya.

Abbas menatap handphonenya, dia berpikir sejenak sebelum tertawa jahil.

*

*

*

*

*

*

*

*

Abbashana ✓ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang