Sehabis mendapatkan biaya dari Abbas, izin serta doanya. Asha tanpa berpikir panjang langsung memperhitungkan mau darimana awal dia merintis usahanya ini, walau dengan niat awal balas dendam, tapi jika sukses dan lumayan kan, bisa saja dilanjut.
Ditengah-tengah kesibukannya memulai bisnis tersebut, diselingi dengan belajar sehari-hari bersama Abbas dan disekolah. Asha rasa dirinya mulai sibuk dan jadi jarang menghubungi Rakha.
Boro-boro menghubungi Rakha, orangtuanya menelepon saja kadang tak terangkat karena sangking sibuknya. Uh, Asha benar-benar akan fokus menjadi wanita karir yang sukses akibat perasaan dendam.
Sebentar lagi juga lulus SMA, Asha akan mengambil jurusan manajemen lalu setelah itu mengabulkan cita-cita barunya mempunyai toko kue besar.
Spontan. Namun Asha akan benar-benar menikmati segala prosesnya dengan perasaan senang.
"Raga! Jadi kerumah gue gak?" Sahut Asha memanggil Raga, menagih janjinya untuk mampir kerumah mencoba beberapa kue buatan Asha.
Selama masa persiapan, Asha sering bercerita kepada Raga tentang keinginan barunya. Hingga mereka makin dekat, dan Raga juga adalah sosok laki-laki yang pintar dalam mensupport sesuatu. Merekomendasikan, memberi masukan, pokoknya Raga berperan juga dalam mimpi Asha.
"Boleh, entar pulang tungguin gue diparkiran ya?" Jawab Raga.
"Oke!"
Asha bahkan belakangan ini tak memperdulikan Rakha, ia juga tak menceritakan niatannya yang timbul atas perasaan tak suka terhadap cerita Rakha sendiri. Ayolah, lagian siapa suruh mendahulukan orang lain daripada pacarnya sendiri? Semua orang pasti akan merasakan sakit hati.
Mungkin bisa dibilang Asha bertahan hanya karena tak rela jika melepaskan Rakha begitu saja karena hal yang sepele, padahal sebelumnya, banyak hal yang lebih besar dari hal ini sebelum mereka berpacaran, contoh kecil Rakha yang sempat membuatnya bingung sebelumnya mengungkapkan cinta. Asha tak ingin ambil pusing dengan yang dulu-dulu, tetapi jika terulang, rasanya sakit.
Kini rasanya, Rakha kembali membuat Ashana bingung.
"Ga, makasih ya."
"Makasih buat?"
"Lo kan udah bantuin gue belakangan ini!"
"Segitu doang."
Bagi Raga, membantu hal kecil untuk Asha adalah segalanya. Karena tak ada cara lain lagi untuk mengutarakan perasaannya selain dengan terus berada di sisi Asha. Ingin diungkapkan melalui lisan, Raga juga sadar bahwa Asha sudah dimiliki orang lain yang bejat. Ia juga tak rela perempuan yang dicintainya disakiti oleh orang tersebut, namun kekhawatirannya luntur ketika Asha selalu menceritakan sosok Abbas.
Sosok yang membuat Raga seketika tidak percaya diri untuk terus maju, untuk mendapatkan Asha setelah lepas dari Rakha kelak.
Setidaknya, mungkin Asha akan lebih bahagia jika bersama Abbas daripada dengannya atau dengan Rakha.
"Halo kak, kenalin gue Raga, temen Asha!" Sapa Raga, ketika melihat seorang laki-laki berbadan tegap tampan yang terlihat tak begitu jauh perbedaan umurnya dengannya.
"Iya, saya Abbas."
Raga sudah menduga hal itu, dia pasti Abbas. Sosoknya memang sangat mirip dengan apa yang diceritakan oleh Asha.
Titik tertinggi mencintai seseorang, adalah ketika dimana kita merasa orang yang kita cintai akan lebih bahagia dengan orang lain daripada kita sendiri. Kita yang sadar akan kekurangan justru malah melihat orang lain yang mempunyai banyak kelebihan, lalu merasa bahwa mereka lebih pantas mendapatkan dirinya.
Sama dengan keadaan Raga, yang sudah pasrah walau rasa cintanya terhadap Asha selalu ada di lubuk hati yang paling dalam.
"Asha nya kok lama ya kak?" Tanya Raga, yang tak kunjung melihat Asha turun dari lantai atas.
"Shalat ashar dulu mungkin. Saya juga mau, kamu udah?" Tanya Abbas balik, berniat mengajak Raga untuk ikut dengannya.
"Iya kak silahkan, saya non-muslim.." jawab Raga dengan sopan, lalu membenarkan posisi duduknya yang sudah terasa tak nyaman.
***
Setelah menunggu beberapa saat, Raga menyaksikan proses pembuatan macam-macam kue yang Asha kuasai. Gadis itu begitu pintar dalam soal memasak, dia juga bahkan sering memamerkan hasilnya diakun sosial medianya.
Tapi Raga tak menyangka Asha akan terlihat secantik ini ketika didapur.
"Gimana rasanya? Menurut lo ini pantes buat didagangin?"
"Enak, gue yakin banyak yang minat. Tenang Sha, nanti gue jadi bagian marketing!"
"Hahaha, lo paling bisa promosi! Makasih ya, Ga, udah bantu lagi."
"Bukan apa-apa."
Singkat, tak banyak yang mereka bicarakan keluar dari pembahasan bisnis yang akan Asha rintis. Abbas juga tak ikut campur karena merasa dirinya tak diundang dalam diskusi barusan.
Tak lama Raga datang kembali kepada Abbas untuk pamitan. Namun setelah pamitan Raga tak kunjung pulang dan malah berkeliling di taman depan rumah bersama Asha, ah Abbas tak tahu mereka membicarakan apa disana.
Yang Abbas tahu, mereka hanya mengitari taman sembari berbincang. Bagaimanapun dengan jarak Abbas yang didepan rumah dengan Raga dan Asha di taman depan, itu tak akan bisa membuat Abbas memantau apa yang mereka bicarakan.
Batinnya kesal. Apalagi ketika Asha melontarkan tertawa kearah Raga dengan tulus. Mereka terlihat begitu sangat dekat.
Bisakah Raga segera pulang?
Abbas sampai tak bisa mengalihkan pandangannya karena takut lengah memperhatikan mereka berdua, bagaimanapun, Asha adalah tanggungjawab Abbas.
Pukul sudah menunjukkan jam 17.00, Asha harus segera masuk rumah. Tapi rasanya susah mengusir anak sesopan Raga terlebih Abbas dengan tidak sengaja mengajaknya shalat tanpa ragu.
Habis menurut Abbas, wajah Raga itu kebanyakan dimiliki oleh anak-anak santri yang hobi bolos. Abbas mengingat wajah-wajah itu ketika dia di pesantren dulu, wajah anak yang selalu mengajaknya bolos.
Beberapa menit kemudian, Abbas memberanikan diri pergi keluar untuk berjamaah shalat Maghrib di masjid.
"Eh kak, mau ke masjid?" Ujar Asha yang baru saja membalikkan badan setelah melambai kepada Raga yang sudah berlalu pulang barusan.
"Iya. Dia itu anak buah kamu? Angkat saya jadi pencicip juga, Sha!" Kata Abbas, menatap kepergian Raga yang membuatnya cemburu setengah mati.
*
*
*
*
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Abbashana ✓ [REVISI]
Novela JuvenilSemuanya tak adil. Tapi setelah kamu datang, semuanya menjadi lebih menyenangkan karena kamu mengajarkan aku bagaimana cara ikhlas di setiap saat aku merasa bahwa dunia tak adil. Terimakasih Abbas, telah membawaku kembali kedalam ingatan yang pernah...