TW! Contains harsh language!
***
Dalam sebuah kediaman megah bergaya eropa, anak dan bapak tengah berseteru. Hidup dikelilingi banyak harta tidak membuat Raga cukup kasih sayang, dia tak memperdulikan hal tersebut karena menurutnya sekarang, uang adalah salah satu sumber kasih sayang untuknya. Dengan berat hati Raga mengaku dia baik-baik saja tanpa perhatian orang tua, namun uang yang diterimanya harus selalu memenuhi rasa cukup yang berlebih sebagai ganti.
"Papah tahu banget kamu suka sama anak yang sekelas sama kamu itu kan, aduh siapa namanya.. Shana? Ashana? Atau, Asha? Papah lupa. Gimana, Papah gak seburuk itukan memperhatikan kamu?"
"Sama aja! Papah itu cuma peduli sama Reanan, aku? Kapan Papah peduli sama aku. Gak pernah sekalipun." Protes Raga.
"Anak perempuan itu butuh ekstra perhatian, kamu kan anak bujang. Masa Papah harus perhatikan secara mendetail, pasti kamu juga butuh privasi kan? Ada-ada si bujangan!"
"Percuma aku ngadu, pengen diperhatiin. Aku tuh pengen minta duit, bukan malah nebak aku suka sama siapa!"
"Bilang dong, minta duit aja menye-menye." Sindir David.
"Papah ngasih Reanan sebulan lebih gede dari aku loh? Gak adil banget jadi bapak!"
"Toh kamunya gak minta."
"Pokoknya pengen ditambah ya! By the way, Papah belajar darimana sok tau begitu, tau darimana nama Ashana? Jangan-jangan Papah nguntit aku kayak nguntit Reanan lagi!" Tebak Raga.
David itu Papah Raga, Papahnya yang sangat amat kaya raya. Keluarga mereka hanya terdiri dari tiga orang, David sebagai kepala keluarganya, Raga anak pertama yang diacuhkan, dan Reanan si anak bungsu, gadis manja yang selalu ingin lebih dari kakaknya yang sama-sama manja terhalang gengsi mata duitan.
Ibunda Reanan dan Raga sudah meninggal dua tahun silam karena insiden kecelakaan, yang diakibatkan dari sabotase rekan kerjanya yang menaruh dendam.
Sampai sebelum insiden tersebut, David pernah masuk penjara atas tuduhan mengonsumsi obat-obatan terlarang dari oknum yang sama, namun semua itu berhasil diselesaikan dengan baik sehingga David bisa mengurus kedua anaknya saat ini. Walau tanpa istri yang ia sayangi lagi.
"Ashana, Papah tahu kamu suka dia. Tapi jangan ya bujang, Ashana itu berbeda dengan kamu. Susah kalau sudah beda agama, ikhlasin saja. Mending sekarang cari Reanan kita makan malam!"
"Yayayaya." Tubuhnya berbalik arah, "Reanan Papah nyuruh makan malam, turun sini!" Teriak Raga, yang menggema di seluruh ruangan.
Ini bukan rumah Ashana, lantas David menoyor kepala anak bujangnya tersebut untuk menghampiri Reanan secara langsung.
Akhirnya, Raga pun berjalan sempoyongan menuju kamar adiknya. Moodnya seketika turun saat melihat Reanan sedang tertidur pulas diatas kasurnya, terlihat sangat pulas karena diteriaki sekencang apapun Reanan tak kunjung bangun dari tidurnya.
"Lo lama-lama gue banjur pake air kamar mandi dah, BANGUN TAI REANAN!" Teriak Raga.
"Berisik lo. Urus tuh cinta beda agama!" Celetuk Reanan, yang kesadarannya masih tertinggal dibawah alam mimpi, sembari melempar Raga dengan bantal beruangnya.
"Sialan. Gue aduin Papah lo!"
Reanan mengabaikan Raga, ia sama sekali tak peduli jika Raga mengadukannya. Toh David pasti akan selalu memihak Reanan mau anak gadisnya itu salah atau benar. Pokoknya hidup anak bungsu perempuan!
"Rea, menurut lo, kalau gue suka, gue perlu jujur?" Tanya Raga, yang entah tersambar apa sampai meminta saran adiknya yang baru kelas 9 SMP itu.
"Ungkapin kalau lo gentle."
"Terus walau gue tau kita gak bisa bersama, tetep ungkapin?"
"Ya.."
"Dia kira-kira ilfeel atau ngejauh gak ya?" Ucap Raga mempertimbangkan.
"Minggu besok juga lulus, gak akan ketemu lagi. Berharap banget masih akrab walau udah keluar lo bambang."
"Harus.."
"Paling lupa abis acara perpisahan juga, lo kan gitu!"
"Lo bisa gak sih gak usah samain gue ke lo sama gue ke dia, beda kasta tau gak!"
"Gue permaisuri, dia ratu, gitu kah?"
"Berisik lo Rea, gue bungkem pake bantal penuh iler mau?" Tawar Raga, sebelum dirinya membekap Reanan menggunakan bantal disebelahnya, sampai gadis itu meronta-ronta kehabisan nafas.
Pasti sebentar lagi Raga dimarahi David.
***
Setelah seminggu kemudian..
"Sha, gue suka sama lo."
"Ashana, gue suka sama lo."
"Argh, gue suka sama lo anjing!"
"Gak, gak, itu kasar. Ashana, gue suka sama lo, gapapa?"
"Ashana mungkin kita beda agama, tapi gue berhak kan suka sama lo?"
"Gue gak berharap apa-apa karena gue tahu, gue suma sama lo, Sha!"
"Alay, alay. Gue gak tahu harus bilang apa, nanti."
"Ah tai, mana udah ngajak ketemuan.."
Beberapa umpatan Raga didepan cermin, sebelum ia pergi menemui Ashana untuk mengungkapkan isi hatinya terlebih dahulu sebelum mereka berpisah sebentar lagi.
Tidak tahu apa yang harus dipikirkan, pokoknya Asha hanya harus tahu bahwa Raga pernah mencintainya namun terhalang oleh tembok yang begitu menjulang tinggi diantara mereka, selain itu tembok tersebut juga dijaga oleh dua ksatria yang sangat amat mencintai Ashana.
Mungkin bagi sebagian orang, memendam adalah jalan terbaik. Tapi menurut Raga, sebelum diungkapkan, rasanya akan terus-menerus menghantui. Bayang-bayangnya juga akan terus-menerus berada didalam pikiran Raga yang terlalu sempit untuk menampung memori wajah cantik Ashana saat tersenyum manis kearahnya.
Karena itulah, Raga memilih untuk mengungkapkan rasa sukanya pada Ashana daripada terus memendam dan tak pernah tahu apa akhirnya jika dia membeberkan segala fakta.
Disini mengatakan, bahwa kita harus jujur pada perasaan diri sendiri. Biarkan hidup beralur karena sejatinya manusia itu berperasaan, jangan bersedih oleh hal tersebut. Wajar bila manusia normal mempunyai perasaan dan haknya untuk mencintai, membenci, menyayangi, mengasihi. Bila ada yang bilang bahwa seseorang tidak berhak punya perasaan pada orang lain, tonjok saja kepalanya!
"Sha, gue suka sama lo.."
Satu kata itupun, mampu membuat gadis bernama Ashana bungkam, karena tak pernah menduga Raga yang selalu bersikap biasa saja, tak pernah menunjukkan rasa sukanya, tiba-tiba mengungkapkan sebuah pernyataan seperti ini.
*
*
*
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Abbashana ✓ [REVISI]
Genç KurguSemuanya tak adil. Tapi setelah kamu datang, semuanya menjadi lebih menyenangkan karena kamu mengajarkan aku bagaimana cara ikhlas di setiap saat aku merasa bahwa dunia tak adil. Terimakasih Abbas, telah membawaku kembali kedalam ingatan yang pernah...