12 | AS

105 8 0
                                    

Kakinya sudah tak kuat untuk menopang tubuhnya, semua badannya seolah menolak untuk dibawa lari pergi jauh dari dapur. Asha malah terduduk dilantai tanpa mengangkat terlebih dahulu mie nya yang sudah meluap busa airnya.

Kepalanya hanya menduduk cemas, tak berani menoleh ke sisi manapun selain memejamkan matanya dalam-dalam.

Beberapa detik kemudian, Asha mendengar seseorang mematikan kompornya, lalu memindahkan mie tersebut ke dalam mangkuk.

Tetap saja, walau tahu yang melakukan hal seperti itu pasti manusia, Asha tak mau membuka matanya takut itu hantu memasak.

"Asha, ngapain kamu duduk dibawah?"

"Kamu siapa, pergi!" Serunya.

"Bangun! Saya Abbas."

Perlahan mata Asha terbuka, ia melepaskan tangannya dari wajahnya yang sedari tadi menjadi perisai penglihatan.

Ternyata benar. Itu hanya Abbas dengan sarung serta kaosnya. Laki-laki itu terlihat habis dari mushola rumah yang ruangannya terletak tepat berada disebelah dapur.

"Kak! Lo ya.. lain kali kalau mau ngangetin itu bilang!" Omelnya, bangkit dari duduk lalu menghampiri Abbas dengan ekspresi marah.

"Loh, orang saya gak tahu kamu ada disini. Tadinya habis shalat tahajud, kaget liat kamu masak terus saya samperin. Itu gak ada unsur menakut-nakutinya!" Terang Abbas, ia masih fokus memindahkan mie kedalam mangkuk, dan menambah benar-benar banyak sayuran diatasnya.

"Ini ya, gue itu takut, ada orang tengah malam jatuhin barang? Mana langkahnya kedengeran banget!"

"Hantu bisa napak lantai, Sha?" Tanya Abbas.

"Ya.. ya gatau. Lain kali jangan gitu, bikin kaget aja!"

"Pas kaget aja aku-kamu, sekarang lo-gue. Ternyata kamu lebih sopan sama hantu ya daripada sama saya?" Ujar Abbas, ia menggeleng-gelengkan kepalanya heran terhadap Asha yang memiliki pribadi aneh seperti itu.

"Iya, soalnya lo kan jahat."

"Dari sisi mananya?"

"Kanan, kiri, depan, belakang!" Rinci Asha, menyebutkan dari semua sisi bahwa Abbas terlihat jahat.

"Haha, iya saya emang jahat. Yaudah, ini mie nya, dimakan disini jangan dibawa ke kamar nanti jatuh, karena liat mangkuknya penuh! Saya mau ke kamar lagi, udah ngantuk banget!" Titah Abbas, menutupi mulutnya karena menguap.

Asha menatap tajam Abbas, "gak! Lo duduk disitu, atau gue tusuk perut lo?" Ancam Asha.

"Kriminal kamu!"

"Pokoknya duduk disitu! Temenin!" Tegas Asha, menarik kursinya dan mulai berdoa untuk makan.

Abbas mengangguk pasrah, ia duduk dimeja lain tak lupa membawa beberapa bungkus snack agar ia tak hanya menonton orang makan disini.

"Kamu tidur aja semuanya seragam ya warnanya?" Ujar Abbas, melihat Asha menggunakan piyama berwarna lilac dengan hijab warna lilac juga.

Ah gadis penyuka lilac itu lucu, Abbas selalu melihat Asha dari belakang punggungnya, dan hampir setiap hari gadis itu memakai baju yang memiliki unsur warna lilac. Atau paling tidak ya putih atau hitam.

"Daripada elo, baju oren sarung ungu! Gak nyambung!" Protes Asha.

"Tadinya kan pakai celana putih, terus pakai sarung karena mau shalat dulu." Jelas Abbas.

"Pakai baju oren mulu kayak narapidana aja! Gak ada warna yang lebih santai gitu?" Tanya Asha, yang merasa Abbas hanya memakai baju itu lagi itu lagi.

"Nggak, baju ini tuh adem. Saya suka aja!"

"Besok sore kita beli baju mau? Kasian, daripada terus jadi napi mending beli baru besok!"

Mata Abbas berbinar. Asha mau mengajaknya keluar? Ini tidak becanda?

"Ayo, tapi 1 meter ya."

"Bacot kak, males ah! 10 meter aja gue siap! Lagian lo tuh dingin. Aduh, serem bang ada cowok cool!" Ucap Asha menekankan kata akhirnya.

"Perasaan saya banyak ngomong, kok jadi cool sih? Yang cool itu jarang perhatian, jarang ngomong. Saya mah hangat!"

"Iya kayak microwave!"

Asha menggelengkan kepalanya lelah menghadapi Abbas. Laki-laki mengakui dirinya hangat namun ketika berbicara pun enggan untuk saling bertatapan atau setidaknya berhadapan. Iya, memang benar mulutnya tak bisa diam dan terus-menerus melontarkan pertanyaan. Tapi sikapnya dingin kadang-kadang.

"Tidur, Sha. Saya duluan ya!" Ujar Abbas, menyimpan kembali snack yang dia bawa lalu bergegas masuk kedalam kamarnya kembali.

Disusul dengan Asha yang secepat kilat membersihkan bekas makannya, dan berlari ke lantai atas untuk kembali menggulung dirinya dibawah selimut.

Abbas mencintai Asha. Dari pertama kali Asha terlahir ke dunia dan langsung ditunjuk sebagai pasangan hidup Abbas oleh kedua orang tua mereka. Bahkan sampai saat ini Abbas masih mencintai gadis itu, walau dia mencintai yang lain.

Melupakan atau melepaskan, tak bisa secepat saat kita jatuh cinta. Dan Abbas pun dari awal tak pernah mempunyai keinginan untuk melupakan, bahkan sampai melepaskan Asha pada saat mereka kembali bertemu. Namun jika takdir berkata lain, tak ada yang bisa lakukan selain ikhlas.

Mungkin untuk saat ini Asha mencintai orang lain, dan disini Abbas akan senantiasa menanti tibanya saat dimana Asha bisa mencintainya balik seperti saat mereka kecil dulu.

"Kak Abbas, kalau udah gede mau pacalan sama siapa? Abang bakso komplek juga kan pas gede pacalan sama Bibi!"

"Enggak, aku gak suka pacaran!"

"Ih jahat! Padahal Aca nungguin kakak bilang mau pacalan sama Aca aja nanti kalau udah besar!"

Ditengah malam yang dingin, Abbas selalu saja mengingat masa kecilnya saat bersama Asha. Memang seindah itu, sampai-sampai indahnya membawa Abbas dekat dengan Sang Pencipta yang menciptakan Asha untuk berdoa setiap malam agar mereka kembali dipertemukan.

Dan saat sudah dipertemukan, Abbas hanya bisa berdoa di sepertiga malamnya untuk meminta sosok gadis yang ia dambakan bisa hidup seumur hidup dengannya.

Jika doa ingin dipertemukan dengan Asha dikabulkan-Nya, maka tak ada alasan untuk Abbas berhenti berdoa dan bergantung pada-Nya atas jalan hidup yang tengah ia lewati dari masa ke masa. Abbas percaya bahwa skenario Allah adalah yang terbaik dari yang terbaik selama kita ingin berusaha.

*

*

*

*

*

Abbashana ✓ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang