Perasaannya tak tenang, otaknya terus berputar mencari solusi, namun sedari kemarin Abbas tak kunjung menemukan jawaban dari musibah yang sedang dialaminya. Wajah laki-laki itu terlihat sudah tidak memiliki selembar kesabaran lagi, ia sudah lelah berpikir tanpa henti. Apalagi kini ia berdiri sembari menatap serius benda pipih berkondisi parah didepannya, kaca layar yang rekat, keadaannya yang benar-benar tak bisa dinyalakan sejak kemarin, ah semua itu membuat Abbas gila karena sudah dua hari ia tak mengabari keluarganya dan Asha.
Ya keluarganya sih, masih bisa dihubungi melalui Adrian. Sedangkan Ashana? Bahkan Adrian tak memiliki nomor gadis itu. Dan Abbas pun lupa, sekaligus menyesal karena tak menghafalkan nomor handphone milik Ashana.
"Beli handphone baru aja, Bas!" Seru salah satu rekan kerja Abbas yang sedari tadi memandangi kesibukan Abbas dengan handphone rusaknya.
"Lagian naruh handphone dimana aja sih, kesenggol, kan? Mana ke pental, masuk ke kolam ikan, akhirnya koit dah tuh!" Lanjutnya.
"Handphone sih gapapa, cuma banyak data yang gak bisa saya ambil dari sini. Apalagi nomor-nomor." Jawab Abbas.
Abbas jelas tak bisa langsung mengganti handphonenya sebelum ia mendapatkan nomor telepon Ashana, walau ia mengingat akun google-nya yang menyimpan beberapa data, tetap saja, ini merupakan sebuah kesalahan Abbas karena tidak menyimpan nomor telepon di akun google-nya.
"Ya elah, nomor doang mah minta lagi aja kalau ketemu orangnya!"
"Saya boleh libur?" Tanya Abbas antusias.
"Libur?" Pria setengah baya yang masih terus berbicara dengan Abbas itu terheran.
"Itu disuruh minta nomor telepon?"
Lantas pria tadi tertawa terbahak-bahak, ini pertama kalinya dia melihat Abbas melontarkan pertanyaan bodoh yang menurutnya sangat lucu dan bahkan tak terpikirkan akan diucap oleh seorang Abbas yang pendiam. Dari sini, dia tahu bahwa Abbas sedang kehilangan nomor seseorang yang pentingnya melebihi apapun dalam hidup.
"Coba ikhtiar dulu! Kalau gak ketemu ya sabar aja, toh kamu disini tinggal beberapa bulan lagi."
Dan pada akhirnya Abbas terdiam kembali, melamun sejenak sebelum kembali bekerja dengan pikirannya yang melayang kemana-mana. Ashana, Ashana, Ashana. Lusa sudah Jumat, bagaimana Asha melewatkan jumat sore lusa nanti tanpa berbagi cerita dengan Abbas? Sangat sulit.
Sepulang bekerja, Abbas kembali kerumah dengan sebuah kantong belanjaan berisikan handphone baru miliknya. Adrian yang terduduk dimeja makan memandang kedatangan Abbas dengan penasaran.
"Udah beli baru, Bas?" Tanya Adrian.
"Sudah. Tapi ya gitu, gak ada hilal untuk nomor handphone Asha."
Keduanya terdiam sesaat, sebelum Adrian mengeluarkan sebuah handphone dan membaca pesan WhatsApp dari kerabat jauhnya.
"Nih, sepupunya Asha tiga bulan lagi mau nikah. Kalau kamu bisa bertahan gak kontakan sama Ashana selama tiga bulan ini, Om kasih kamu pulang lebih cepet. Gimana?" Tawar Adrian.
Abbas langsung menatap sinis kearah laki-laki itu, apa maksudnya dengan memisahkan Abbas dari Asha selama itu. Dia pikir Abbas atau Asha bisa bertahan tanpa komunikasi selama tiga bulan? Tentu saja tidak. Tapi tawarannya untuk pulang lebih cepat tepat pada hari dimana sepupu Asha menikah tiga bulan lagi, cukup mengiurkan untuk Abbas terima. Pengorbanan tidak berkomunikasi selama tiga bulan untuk mempersingkat waktu mereka yang berjarak, mungkin bisa Abbas lakukan.
"Oke, saya beneran pulang tiga bulan lagi."
Sebenarnya yang terjadi dibelakang Adrian setelah Abbas menerima tawaran tersebut, adalah usaha Abbas dalam mengingat atau mendapatkan kembali nomor Ashana. Namun semua usahanya tersebut sia-sia, dia tak pernah mendapatkan nomor gadis itu, atau mungkin Ashana sudah ganti nomor selama tiga bulan tanpa komunikasi tersebut.
Dimana Abbas akan pulang dengan kerinduannya pada sosok Ashana yang selalu riang, dia akan memeluk Ashana dengan erat sembari mengatakan hal yang selama ini tak pernah bisa dikatakannya. Ini sudah melebihi batas waktunya, Abbas tentu sudah bisa menceritakan banyak kejadian yang telah terjadi sebelumnya pada Ashana si selalu gampang hilang ingatan
"Dok, tolong berkas saya yang ketinggalan diambil ya kerumah!" Ucap Adrian meminta tolong pada Abbas melalui sambungan telepon karena dia sudah terlanjur berada dirumah.
"Aduh, sekalian kalau begitu barang-barang saya juga pastikan semua sudah rapih untuk dibawa pulang malam ini."
"Dokter Abbas sungguh pamrih."
"Terimakasih. Kalau begitu saya tutup teleponnya, assalamualaikum."
Pada malam indah hari ini, Abbas mengendarai kendaraannya menuju ke kota dimana rumahnya berada. Rumahnya yang hanya berjarak beberapa kilometer saja dari rumah Ashana, sosok yang sudah dirindukannya setengah mati tanpa komunikasi tiga bulan. Padahal sebelumnya, bertahun-tahun pun Abbas selalu bisa menunggu pertemuannya kembali dengan Ashana, namun sepertinya kali ini dia tidak bisa melakukan hal yang sama berulang kali.
Dari jam tujuh malam hingga siang menjelang sore kini, Abbas masih berfokus dengan setirnya sembari menahan kantuk yang menyerang. Dia ingin beristirahat, tapi rasanya enggan menunda perjalanan karena sebentar lagi dia akan sampai.
Sejauh ini jarak antara Abbas dan Ashana, rindu yang menguatkan hubungan mempersatukan mereka berdua kembali dalam segala keadaan. Sungguh, Abbas tak ingin menunda perjalanan, dia mempunyai keinginan kuat untuk segera bertemu dengan Ashana. Abbas sudah sangat yakin akan menyampaikan apa yang selama ini dia sembunyikan bersama orang-orang dari Ashana, tekadnya sudah bulat untuk memberitahu Asha tentang apa yang tidak diketahuinya selama ini.
Pikirannya terus terpaku pada Asha, diakhir perjalanan Abbas melihat toko bunga yang bersebelahan dengan toko-toko makanan ringan yang sekiranya pasti jika dia membawakannya untuk Ashana maupun keluarga, pasti mereka akan merasa senang menerimanya, jadi Abbas memutuskan untuk turun sebentar dan membeli beberapa hal disana.
"Abbas?" Panggil seseorang di toko tersebut saat melihat laki-laki tinggi berwajah tampan masuk, wangi parfume-nya menusuk indra penciuman para pegawai maupun pengunjung ditempat berukuran kecil yang dipenuhi bunga-bunga.
Abbas sempat berhenti mendengar panggilan tersebut, tubuhnya berputar menghadap perempuan dimeja kasir yang sedang tersenyum manis kearahnya. Untuk sesaat Abbas melihat orang itu untuk mengenali sosok yang memanggil namanya barusan, dan ya, dia mengenalinya.
"Ah, apa kabar, Lily?" Kata Abbas, langsung mengalihkan atensi pada bunga-bunga disekeliling daripada harus berbincang lebih lanjut pada teman lama saat sekolahnya yang bernama Lily.
Lily dengan sigap menghampiri Abbas untuk membantu laki-laki itu memilih bunga, dia juga sangat merindukan Abbas, dan kesempatan bertemu dengan sosok yang kita rindukan secara tidak sengaja tentu tidak akan datang dua kali.
"Baik. Ada yang bisa dibantu?"
"Tidak. Terimakasih."
Wajah gembira Lily seketika berubah drastis menjadi datar, dia kembali menjauh dari Abbas karena tahu pasti pelanggannya yang satu ini tidak akan merasa nyaman didekat perempuan manapun selain ibunya. Itu setahu Lily.
"Bunga untuk Ummi, Bas?" Tanya Lily, penasaran.
"Bukan."
Jawaban singkat, yang mampu membuat Lily sadar akan satu hal. Pasti kini Abbas sudah memiliki istri, atau mungkin dia sudah tunangan dengan perempuan beruntung karena bisa memiliki seorang Abbas.
"Bas, saya rindu masa-masa sekolah. Kamu gimana?"
"Lily, tolong, saya mau buket bunga ini!" Ujar Abbas mengalihkan topik pembicaraan, karena jujur saja dia tidak ingin berbincang banyak hal apalagi harus terus berada disini lebih lama. Lebih baik dia segera keluar dari tempat ini.
Setelah selesai membayar barang yang dia inginkan, Abbas bergegas keluar dari toko tersebut dengan perasaan lelah. Entahlah, menurut Abbas dia akan menjadi lelah saat bertemu orang yang enggan ditemuinya. Hanya menguras energi saja.
*
*
*
*
*
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Abbashana ✓ [REVISI]
Teen FictionSemuanya tak adil. Tapi setelah kamu datang, semuanya menjadi lebih menyenangkan karena kamu mengajarkan aku bagaimana cara ikhlas di setiap saat aku merasa bahwa dunia tak adil. Terimakasih Abbas, telah membawaku kembali kedalam ingatan yang pernah...