Tawa yang saling bersahutan memenuhi ruangan luas ditengah rumah milik nenek Abbas yang kini sudah berumur 71 tahun, wanita berumur namun selalu berwajah cantik. Terlihat bahwa dia sedari tadi terus melontarkan beribu pertanyaan pada sepasang suami istri baru, dan akan berhenti jika dirinya sudah puas.
"Kak Asha! Tahu gak sih, aku udah lama banget pengen ketemu kakak.. akhirnya sekarang bisa terwujudkan juga." Indira menyerobot momen ketika nenek sedang lengah.
Asha terkekeh, ia mungkin tak ingat bagaimana hubungannya dengan Indira dulu, atau bagaimana bisa Indira sangat ingin bertemu Ashana. Yang jelas, gadis kecil ini adalah adik satu-satunya dari Abbas, orang yang terlihat layaknya duplikat Abbas versi perempuan dengan kepribadian yang cenderung hampir sama juga.
Mereka mengobrol banyak, tentang Abbas yang sudah jatuh cinta sejak lama, tentang seberapa memalukannya Abbas ketika sedang mencintai seseorang, atau banyak hal lainnya dari sisi Abbas yang tidak pernah Asha kenal sebelumnya.
Keluarga Abbas sangatlah ramah, mereka memperlakukan Ashana bak tamu terhormat sampai-sampai dia merasa tak nyaman karena terlalu diistimewakan diantara yang lainnya. Ditawari segala hal, dikenalkan pada semua orang, dan menjadi pusat perhatian.
Abbas gemas melihat Ashana yang kesusahan menghadapi banyak keluarganya, tapi lain sisi Ashana juga terlihat begitu bahagia kala dia menyadari bahwa kini mereka semua adalah orang-orang baik yang akan menjadi bagian dari keluarga besarnya. Dia kini tersenyum lepas, menyadari bahwa akhirnya hidup sepinya terasa begitu ramai setelah mengenal Abbas lebih jauh.
"Jadi kapan, Bas, resepsinya?"
"Ashana masih bingung, saya juga masih usahain biar kita berdua gak terlalu kecapekan karena gak bisa libur lama-lama. Ditunggu ya, Bang!"
"Ashana hari ini mau nginep? Atau pulang?" Tanya istri Adrian, yang mengendong bayi dalam pelukannya.
"Pulang, kayaknya, Tan. Soalnya besok kak Abbas harus masuk kerja!" Jawab Ashana.
Abbas menghampiri istri Adiran yang terlihat kerepotan mengurus dua anak, bayinya tidur sedangkan anak sulungnya rewel. Dia dengan sigap mengambil alih bayi tertidur tersebut dan menenangkannya usai berpindah tempat.
"Sayang, coba lihat hidungnya. Mancung banget, kan? Masya Allah." Ujar Abbas, dia mendekat pada Ashana untuk memperlihatkan bayi tampan di pangkuannya.
Mata gadis itu berbinar, senyum manisnya terukir sempurna diwajahnya yang berseri indah. Lagi-lagi Abbas selalu jatuh cinta pada sosoknya yang murah senyuman, selalu gampang tertawa dan tersenyum pada siapapun. Hatinya bagai dipenuhi bunga kala Ashana mengusap pipi lembut si bayi dan menciumnya kegemasan, dan Abbas mulai berimajinasi akan berjuta-juta kali lipat bertambahnya kecantikan Ashana saat dia mulai menjadi seorang ibu. Ibu yang penuh kasih sayang.
"Abbas ngode tu, Sha!" Celoteh Adrian.
"Nanti kalau aku udah siap, aku bakalan bilang ke kamu." Bisik Ashana tepat didepan daun telinga Abbas yang mulai berubah warna menjadi kemerahan.
Berseminya cinta kedua orang yang sudah lumayan lama dipisahkan, apakah akan selalu seindah ini? Tentu saja tidak.
Beruntungnya Abbas dan Ashana memiliki kisah cinta yang dikehendaki-Nya berakhir bahagia, meskipun banyak rintangan yang harus dilalui, namun itulah yang dinamakan kehidupan. Masa kita diuji untuk terus selalu mempunyai iman yang kuat dan berpegang erat pada-Nya, indahnya memiliki imam yang bertanggungjawab akan makmumnya membuat Ashana yakin bahwa dia bisa melalui semuanya dengan ikhlas karena Abbas memegang tangannya.
"Setiap kali aku lihat mata kamu, aku selalu melihat sesuatu yang lebih bersinar daripada bintang di langit." Ucapnya bernada rendah, menatap keindahan dari wajah Ashana sembari mengungkapkan sebuah fakta besar.
Pipi gadisnya memerah seperti tomat segar, senyumnya yang manis tidak bisa tertahan lagi dan berkembang menjadi senyuman paling indah didunia. Abbas takjub melihat keindahan Ashana setiap harinya, entah dalam kondisi apapun dia menampilkan betapa indahnya ciptaan Tuhan satu ini.
"Malu, Kak, banyak orang yang denger!" Pipinya bersemu merah, dia malu tapi tetap saja salah tingkah.
"Coba lihat bayinya, dia juga senyum karena denger suara kamu, karena memang seindah itu." Lanjut Abbas, terus saja menyerang Ashana dengan kata-kata manisnya. "Pada akhirnya, aku bisa mengutarakan segala hal yang selalu dipendam selama kamu berada jauh. Sekarang aku juga paham, jangan pernah menunda-nunda apa yang kamu ingin sampaikan, karena bisa jadi kamu gak akan pernah punya kesempatan lagi setelahnya. Dan aku hanya beruntung."
Perhatian seketika berpusat pada mereka berdua, dunia serasa hanya milik pasangan baru disana. Semua orang menatap kagum akan kata demi kata Abbas yang indah, apa alasan dibalik pikirannya yang mengatakan semua rangakaian kalimat-kalimat barusan.
Nyatanya, saat jatuh cinta, pikiran akan berimajinasi luas lalu jatuh pada rangakaian kata-kata manis. Selanjutnya tergantung, maka dari itu, jatuh cinta lah pada seseorang yang memiliki rasa tanggungjawab besar, karena pada dasarnya laki-laki tangguh itu ialah yang bisa membuktikan segala perkataan manisnya. Dan kemudian untuk yang hanya bisa mengatakan kata-kata tanpa bukti, kita sebut mereka pengecut karena sudah membuat seorang perempuan jatuh cinta tanpa adanya rasa bertanggungjawab.
Indahnya sebuah keluarga, Ashana sangat nyaman berada didekat mereka semua. Lain kali, dia ingin berkunjung lebih lama dan berada disekitar mereka dalam waktu yang cukup juga. Berbincang-bincang banyak hal, terutama dengan Indira untuk sekedar membahas bagaimana Abbas dulu, Abbas yang selalu menceritakan Ashana tanpa letih dan tak menyerah berdoa untuk hubungan mereka dimasa depan. Ashana penasaran, bagaimana sosok seteduh pria disebelahnya bisa jatuh cinta.
"Yah, Kak? Bayinya bangun."
Kedua bola mata itu menatap Ashana dan Abbas secara bergantian, sosok yang baru terlahir belum lama didunia juga tersenyum melihat kebersamaan mereka.
"Anak baik.. maaf ya, kamu jadi kebangun." Tutur Abbas.
"Sini, Bas! Tante tidurin lagi bayinya. Ajak Ashana makan dulu, sana! Kasian dia daritadi belum makan nasi." Titah istri Adrian.
Mata Abbas memicing, lagi-lagi gadis bernama Ashana yang lambungnya sensitif berani meninggalkan jam makan. Dalam beberapa jam dan dia tetap belum makan, pasti perutnya sudah tergonjang-ganjing akibat sebuah pertempuran didalam sana.
"Ayo, aku suapin!" Ajaknya menuju ruangan makan.
"Kak? Malu ah." Tolak Ashana.
"Suruh siapa tadi gak ikut makan?"
"Tadi aku kekenyangan.."
"Aku suapin, ya? Sedikit aja.. jangan makan camilan aja."
Gadis pembangkang itu akhirnya mengalah, dia duduk dimeja makan dengan wajah ditekuk berusaha mengunyah nasi yang dibencinya tapi tak bisa dia lewati walau hanya sesendok. Apalagi setelah ini mereka akan melalui perjalanan jauh, Abbas khawatir jika Asha jatuh sakit dan dia tak mau hal itu terjadi.
Suapan demi suapan masuk kedalam mulut Ashana, Abbas lega walau istrinya yang melabeli diri sendiri sebagai wanita kuat hanya mampu bertahan sampai di suapan ketiga. Setidaknya dia akan tenang sejenak, dan bersiap siaga jika Ashana mulai kehilangan selera makannya lagi. Akhir-akhir ini, entah apa yang terjadi dengan Ashana sampai dia tidak selera makan-makanan yang membuat tubuhnya kuat, kecuali biskuit dan makanan ringan lainnya.
jangan lupa vote, juseyo!
*
*
*
*
*
*
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Abbashana ✓ [REVISI]
Roman pour AdolescentsSemuanya tak adil. Tapi setelah kamu datang, semuanya menjadi lebih menyenangkan karena kamu mengajarkan aku bagaimana cara ikhlas di setiap saat aku merasa bahwa dunia tak adil. Terimakasih Abbas, telah membawaku kembali kedalam ingatan yang pernah...