Janji temu antara Asha dan Raga memang berjalan lancar sebelumnya, sampai dimana mereka berdua bertemu dengan Rakha serta Zaylee yang sedang menghabiskan waktu berdua juga.
Disitu Raga sangat tahu, bahwa Asha mulai tak nyaman dengan keadaan.
Dengan langsung, Raga segera mengajak Asha pergi ketempat lain dan seberusaha mungkin mengalihkan pandangannya jauh dari kedua manusia tak tahu diri di sebrang sana. Namun ternyata semuanya sia-sia.
Jika disini sekarang bukanlah tempat umum, mungkin Raga bisa saja sudah melayangkan tinjunya ke si brengsek Rakha yang bahkan tak menyadari, Asha, pacarnya sendiri menatap lekat dengan getir kearahnya yang tengah sibuk bergurau dengan wanita lain.
"Sha, gue cuma pengen bilang sama lo. Rakha itu selingkuh sama Zaylee!" Tegas Raga, dengan urat yang membentang dilehernya.
Sudah berapa kali Raga mengucapkan kalimat yang sama semenjak mereka bertemu tadi, namun percuma saja, Asha tak percaya bahkan malah seperti pura-pura tak mendengar apa yang Raga katakan. Sekarang dengan bukti, gadis itu malah diam tanpa berkutik sedikitpun.
"Nggak, bisa aja mereka ada perlu."
"Ada perlu sampe rangkul-rangkulan gitu?"
"Ya gapapa."
Raga memalingkan wajahnya, ia lelah harus sekeras apa lagi menyadarkan Asha yang tak mau menerima fakta. Laki-laki yang di aku-akui akan setia, dan menjadi satu-satunya orang yang akan ada saat dirinya jatuh, akhirnya beberapa kali terungkap mempunyai hubungan lain didepan mata kepalanya sendiri.
Tapi begitu, Asha seolah menolak fakta.
"Udah ya, Ga. Gak ada lagi yang mau diomongin kan? Gue pulang duluan!"
"Gue anterin ya?"
"Gak usah, gue dijemput Abbas." Tolak Asha, yang sebelumnya memang sudah menghubungi Abbas ingin dijemput olehnya.
Asha ingin terlihat baik-baik saja saat ini didepan Raga, menunjukkan dirinya yang tak tersakiti sama sekali walau melihat Rakha berduaan bersama Zaylee mengitari toko demi toko sembari berangkulan. Yang penting, didepan Abbas, Asha ingin menangis sekencang mungkin sambil memaki-maki laki-laki sialan itu dengan kata mutiara yang dimilikinya.
Saat ini, mungkin rumah paling nyaman untuk pulang ya lari kedepan Abbas. Walau Asha tak bisa memeluknya, tak bisa memukuli dadanya melampiaskan kekecewaan, tak bisa menarik lengan Abbas, kesal. Tapi Abbas adalah satu-satunya orang yang akan diam, dan menatap ke lain arah dengan telinganya yang tetap fokus mendengarkan kalimat demi kalimat yang Asha ucapkan.
Abbas, Asha hanya membutuhkan dia. Kesannya mungkin seperti pelampiasan, tapi intinya Asha butuh Abbas.
"Kenapa lagi?"
"Kak.."
"Kenapa?"
Satu kata, dua kata, tangis Asha buyar. Sekuat apapun kalian, setinggi apapun pendirian kalian, setidak mencintainya kalian dengan seseorang namun terikat sebuah hubungan, akan tetap sakit rasanya jika melihat dia bersama orang lain padahal status hubungannya bersama kita.
Mungkin untuk berpura-pura tegar didepan orang-orang dan memaklumi kelakuan Rakha, Asha bisa. Tapi satu kata 'Kenapa?' dari bibir Abbas, mampu memecahkan benteng tangis yang Asha bangun kuat-kuat agar tak mudah runtuh.
"Udah saya bilang, putusin. Siapa yang ngeyel?"
"Gue.."
"Sekarang, putusin bisa?"
"Nggak mau, nanti orang-orang bilang gue lemah, masa diselingkuhin doang gak kuat.. kan gak bisa!" Rengek Asha.
"Astaghfirullah, Ashana. Diselingkuhin berarti Rakha sudah gak ada rasa lagi sama kamu dan gak butuh kamu. Lantas kenapa kamu terus-menerus bertahan? Kalau kamu mau mecahin rekor perempuan terkuat yang diselingkuhi terlihat baik-baik saja, saya yakin kamu gak akan bisa!"
"Siapa yang bilang bisa!"
"Lagak kamu gak mau putusin dia, padahal jelas-jelas Rakha selingkuh."
"Dia belum bilang. Gue nunggu dia jujur sendiri!" Tegas Asha.
"Gak ada orang ngaku bersalah habis melakukan kesalahan, Sha. Yang ada mereka malu!"
"Gapapa, biar Rakha malu seumur hidup!"
Abbas menggeleng-gelengkan kepalanya, memberi banyak ocehan kepada orang yang buta akan cinta memang susah. Kecuali mereka ingin sadar dan keluar dengan sendirinya dari zona yang salah itu.
"Sekarang mau gimana?" Tanya Abbas.
"Nggak tahu, biarin aja."
Asha memejamkan matanya, ia terus beristighfar didalam hati. Bertanya-tanya mengapa hari-harinya selalu buruk belakangan ini.
Andai Rakha bisa secara tegas memutuskan hubungan mereka, atau secara langsung menyatakan bahwa dia sudah tak mencintai Asha lagi. Mungkin semuanya akan baik-baik saja meski perlu waktu untuk yang namanya mengikhlaskan.
Jika seperti ini, siapa yang tak pusing dan lelah. Asha juga tak bisa memutuskan terlebih dahulu, karena posisinya disini sekarang dia masih mencintai Rakha.
Perlu waktu yang lama juga untuk melepas Rakha dari benaknya.
"Kalau dia gak bisa tegasin kamu, kamu yang tegasin dia, Sha!"
"Gak bisa.."
"Mau sampai kapan kamu gini terus?"
"Sampai Rakha bisa bilang putus."
Keduanya terdiam. Abbas sudah mengeluarkan semua sarannya, ia tak tahu harus mengatakan apalagi jika semua kalimatnya tertolak mentah-mentah tanpa pertimbangan dari Asha.
Itu artinya, memang yang sekarang Asha butuhkan adalah penegasan. Dan sama sekali tak ingin untuk menegaskan duluan. Jadi percuma Abbas memberi saran kepada Asha, sedangkan gadis itu tak akan melakukan apapun selain diam menunggu pergerakan Rakha.
Asha memegangi dahinya yang mengkerut, luarnya saja kelihatan baik-baik saja seperti seorang yang kuat menghadapi semuanya. Padahal didalamnya, rapuh dan mudah hancur. Bukan hanya Asha, namun mungkin seluruh wanita yang ada didunia ini.
Entahlah, menurut mereka terlihat baik-baik saja itu lebih baik daripada menangis tersedu-sedu didepan seseorang yang telah membuat mereka merasakan rasa sakit dan memintanya kembali seperti awal lagi walau mustahil.
*
*
*
*
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Abbashana ✓ [REVISI]
Teen FictionSemuanya tak adil. Tapi setelah kamu datang, semuanya menjadi lebih menyenangkan karena kamu mengajarkan aku bagaimana cara ikhlas di setiap saat aku merasa bahwa dunia tak adil. Terimakasih Abbas, telah membawaku kembali kedalam ingatan yang pernah...