"Dirumah masih ada Abbas?"
Asha menoleh. Matanya menyusuri sorot tajam dari mata Rakha. Ada apa dengan lelaki ini? Terlihat sangat tidak suka ketika membicarakan Abbas padahal dia sendiri yang memulai.
"Masih, kenapa?"
"Jelas, semalem dia teriak-teriak manggil kamu, nyuruh kamu belajar, nyuruh kamu makan malam sama dia waktu dia tahu kita lagi teleponan. Sengaja banget! Seharusnya kamu kemarin malam bisa tolak dia." Oceh Rakha.
"Maksud kamu? Abbas itu cuma mengingatkan aku makan, Rak, gak sampai ganggu kita. Dia juga gak berani naik ke atas kalau aku lagi dikamar, jadi dia teriak!" Tegas Asha.
"Halah alasan."
"Kamu kenapa sih? Hari ini sensi banget. Ada masalah? Kalau iya jangan lampiasin ke aku dong. Semalem baru aja kita baikan, cuma karena denger kak Abbas teriak kamu langsung marah kayak gini? Terserah, aku pulang." Ujar Asha, menarik tas kecilnya lalu berjalan menjauhi Abbas untuk mencari kendaraan umum.
Kepalanya terasa sakit mendengar Rakha terus mengoceh, memprotes keberadaan Abbas padahal itu diluar kemauan Asha. Menyuruh Asha jangan terlalu dekat dengan Abbas, jangan memakan masakan Abbas, jangan mengikuti perkataan Abbas. Rakha keterlaluan, Asha muak mendengar ocehan laki-laki itu sedari tadi.
Langkah Asha semakin menjauh, dalam hati kecilnya Asha berharap Rakha mengejarnya dan meminta maaf. Namun kenyataannya tidak. Rakha tak datang untuk meminta maaf, laki-laki itu terlihat masih sedang berdiri terpaku ditempat awal, tanpa ada niatan sedikitpun untuk menghampiri Asha atau meminta maaf.
Memang, mood Rakha sore ini sedang hancur. Dan bodohnya dia selalu saja melampiaskan kekesalan terhadap orang-orang yang tengah berada dekat dengan dirinya.
Sebenarnya apa sih masalah Rakha? Bukankah masalahnya hanya susah mencari cara untuk meminta maaf kepada Asha, karena rasanya yang terbagi dua itu? Seharusnya tak ada lagi kan?
Tidak. Masalahnya kali ini dengan Zaylee. Setelah berbaikan dengan Asha, terbitlah ribut dengan Zaylee. Benar-benar paket komplit Rakha ini.
Rakha mengusap wajahnya kasar ketika menyadari apa yang ia lakukan pada Asha. Kakinya berlari mencari dimana gadis itu berada, tapi nihil, Asha sudah tak ada disekitar. Rakha keterlaluan.
"Maaf.." lirihnya memegangi lutut.
Pikirannya kembali kosong. Rakha duduk di tembok pembatas pantai dan memandangi langit sore sembari terus menatapi hidupnya yang terlalu egois.
"Rak, lo pilih gue apa Asha?"
"Kenapa tiba-tiba, Zay?"
"Gak. Cuma nanya aja."
"Biarin gue pacaran sama Asha dulu ya? Sampai dia tahu. Gue cinta dia, Zay. Tapi gue juga cinta lo."
"Iya, gue tahu. Gue udah jarang kontakan sama Asha.. gue harap lo bisa milih secepatnya."
Pikiran Rakha tertuju pada pembicaraannya dengan Zaylee beberapa jam lalu, pembicaraan yang benar-benar membuat Rakha terdiam seribu kata. Mau bagaimana pun, disuruh milih sekian kali jawaban Rakha tetap aku cinta kau dan dia.
Sebentar lagi mereka lulus. Dan pasti akan berkuliah di tempat yang berbeda-beda, Rakha harap disaat itu ia bisa memilih untuk mencintai Zaylee, atau Asha agar rasa bersalah itu tak terus datang menghampiri.
***
Sesampainya dirumah, Asha menutup kasar pintu kamarnya dengan tenaga yang kuat. Hingga menimbulkan benturan yang begitu keras, membuat Abbas yang tengah fokus dengan laptopnya dikamar mengalihkan fokusnya.
"Asha? Udah pulang?"
"Asha, kebiasaan, masuk rumah itu salam!" Teriak Abbas menggunakan suara beratnya, suara yang terdengar lembut.
Suaranya menggema, Asha mendengarnya lalu berdecak sebal. Ada saja gangguannya ketika sedang ingin galau.
"LUPA! LO TAU LUPA? GUE KESEL. MENDING LO DIEM SEBELUM GUE MAKAN LO KAK!" Teriak Asha, dengan suara yang lebih nyaring.
Abbas menebak. Pasti mereka berdua bertengkar lagi?
Ya betul, Abbas ini adalah seorang cenayang. Apapun pasti bisa ia tebak.
"Kelulusan berapa bulan lagi, Sha?" Tanya Abbas, mendekat kearah ruangan kamar Asha.
"Bentar lagi!"
"Mau persiapan kapan?"
"Kayak mau nikah aja disiapin. Kapan-kapan aja kalau sempet ah, males gue!"
Tolong, Asha ingin melakban mulut Abbas. Walau suara Abbas berat, gema nya membuat Asha bisa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya.
Tadi suasananya benar-benar membuat Asha seperti tokoh perempuan yang tersakiti selama perjalanan pulang. Tapi setelah dirumah, bertemu Abbas walau tak menatap mukanya langsung, rasanya Asha ingin menjadi pemeran tokoh antagonis saja.
"Kamu tuh mending putus sama dia, gak ada gunanya. Buat apa pacaran kalau ujung-ujungnya cuma buat pulang nanggung luka?" Ujar Abbas.
"Sejak kapan lo bawel sih kak?!"
"Sejak tahu kamu pacaran."
"Kenapa emang? Kayak najis banget."
"Iya, itu sadar!"
Sekali lagi, Asha berdecak sebal. Ia menggambil headphone nya dan menyalakan musik dengan volume paling tinggi supaya suara Abbas tak menanggung istirahat kuping mungilnya.
Tak lama gadis itu terlelap Karana sudah lelah dengan hari Minggu yang berat ini. Mau Rakha, Abbas, dua-duanya sama-sama membuat Asha lelah.
Sampai beberapa hari kedepan, Asha tak sudi untuk membalas pesan spam dari Rakha. Mau laki-laki itu meminta maaf seribu kali didalam room chat, maaf, Asha tak sudi memaafkannya lagi jika esoknya langsung dibuat marah kembali.
Biarlah pertengkaran ini berlangsung lama, sekali pun Rakha meminta putus Asha tak takut. Karena Asha tahu bahwa Rakha tak seberani itu.
"Sha, kita putus!" Teriak Rakha dari jauh.
"Sha, kita, putus!"
"ASHANA KITA PUTUS!"
Kening Asha penuh dengan keringat, dadanya sesak dan suhu ruangan terasa begitu panas. Sekali lagi..
"ASHA, MAGHRIB, UDAH SHALAT?" Teriak Abbas nyaring karena tak kunjung ada suara yang menjawabnya.
Sontak Asha langsung terbangun dari mimpinya. Ia menatap sendu sekeliling, tak ada Rakha. Berarti artinya hal tadi hanya mimpi semata. Teriakan-teriakan itu suara Abbas, bukan Rakha.
Asha mencoba menormalisasikan kembali napasnya, rasanya mimpi tadi benar-benar terjadi. Salah memang ketika kita tidur dengan beban pikiran, pasti masalah yang sedang dipikirkan ikut dalam mimpi tanpa permisi.
*
*
*
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Abbashana ✓ [REVISI]
Teen FictionSemuanya tak adil. Tapi setelah kamu datang, semuanya menjadi lebih menyenangkan karena kamu mengajarkan aku bagaimana cara ikhlas di setiap saat aku merasa bahwa dunia tak adil. Terimakasih Abbas, telah membawaku kembali kedalam ingatan yang pernah...