Bab 3

226 18 2
                                    

"Rihany ..." Aaron membaca nama yang tertulis di kartu identitas milik wanita yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. Dia telah selesai membersihkan diri, dan karena wanita itu tidak kunjung memberitahu namanya. Aaron berinisiatif memeriksa kartu identitas perempuan itu. Pertarungan mereka atau bisa saja dikatakan sebagai pertarungan pembuktian keperkasaan seorang Aaron Marvel Harisson. Dan tentu saja dimenangkan oleh Aaron. Rihany menyerah kalah dibawah kukungan hangat seorang Aaron. 

"Karena kamu tidak sanggup membayar jasa saya maka, saya yang akan membayar jasa kamu." Aaron mengeluarkan dompet miliknya. Dia tersenyum puas bisa membalas perkataan wanita itu tadi. Rihany mengerutkan keningnya. 

"Tidak! kamu tidak perlu membayarku." melihat uang pria itu keluarkan dari dompetnya membuat Rihany merasa seperti wanita panggilan. 

"Sejujurnya pelayanan kamu tidak memuaskan saya. Tapi karena ini pengalaman pertama untuk kamu, saya akan membayar dengan harga tinggi." Aaron tidak mendengarkan perkataan Rihany. Dia  kembali tersenyum setelah memasukkan sejumlah uang ke dalam dompet lusuh milik Rihany. 

Rihany ingin berdiri mengembalikan uang milik pria itu namun, dia sadar dia tidak mengenakan pakaian apapun di balik selimut tebal yang dia kenakan. 

"Aku tidak membutuhkan uangmu. Ambil kembali!" kata Rihany. 

"Dan jangan lupakan nama saya, Aaron. Pria hebat yang telah membuat kamu menjerit keenakan berkali-kali." Aaron mengabaikan perkataan Rihany. Dia kemudian mengambil jasnya yang sudah kusut di atas sofa. 

"Selamat tinggal, Hany," ucap Aaron sembari mengedipkan sebelah matanya. Dia kemudian melangkah meninggalkan Rihany yang berteriak kesal dengan posisi masih berada di balik selimut. 

"Dasar laki-laki brengsek!" umpat Rihany kesal. Dia pasti akan membalas pria itu jika mereka bertemu lagi nanti. 

***

Setelah dari hotel, Rihany langsung pulang ke kosannya. Dia melihat kembali tasnya lalu mengambil dompetnya. Mengeluarkan uang yang bukan miliknya itu dari sana. Rihany akan menyimpan itu dan akan mengembalikannya pada Aaron nanti. Rihany kemudian berganti pakaian. Dia melirik jam digital di atas meja riasnya. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum jam kerjanya di mulai. 

"Rihany!" Rihany menatap Bunga dengan kening mengerut. Temannya itu keluar dari kamar kosnya dengan tergesa-gesa. 

"Kamu baik-baik saja? Astaga! Maafkan aku, aku tidak seharusnya membawa kamu ke club malam tadi." Bunga tidak tidur karena kepikiran dengan Rihany. Sesekali dia keluar dari kamar kos untuk memastikan kalau Rihany sudah kembali atau belum. Bunga benar-benar merasa bersalah telah menjerumuskan temannya itu ke hal yang tidak baik. 

"Aku baik, Na. Kamu tidak perlu khawatir." Rihany memberikan senyum tulus pada temannya itu. 

"Benaran?" Bunga mendekat lalu meneliti tubuh temannya itu. 

"Benar, Na." Rihany berusaha tidak terlihat gugup di hadapan Bunga. Beruntung juga Aaron tidak meninggalkan bekas merah di area lehernya. Mengingat pria itu lagi, Rihany berharap Aaron teman kecilnya dulu bukan Aaron yang dia temui malam tadi. Seingatnya Aaron teman kecilnya sangat baik. Meskipun pertemuan mereka tidak lama, Rihany masih mengingatnya sampai sekarang. Dia bahkan masih menyimpan kotak makan milik lelaki itu. Dia berharap bisa bertemu lagi dengan pria itu. 

"Ayo, kita berangkat kerja sekarang! nanti terlambat," kata Rihany ketika Bunga masih terus menatapnya dengan pandangan meneliti.   

"Jadi apa yang terjadi semalam?" Bunga bertanya penasaran. Setelah selesai berbincang dengan orang yang baru dikenalnya Bunga memutuskan kembali ke mejanya namun, saat dia  kembali dia tidak menemukan keberadaan Rihany. Dia menunggu Rihany namun sampai tengah malam, dia tidak kunjung kembali. Bunga sudah menghubungi nomor telepon Rihany, berkali-kali namun, tidak kunjung mendapat jawaban. 

"Tidak ada yang terjadi, Na," kata Rihany berbohong. 

"Aku mungkin baru mengenal kamu selama satu tahun, Ri. Tapi aku tahu kapan kamu berbohong." Rihany mendadak jadi gugup. Dia mengusap tengkuknya salah tingkah. 

"Aku sangat merasa bersalah kalau terjadi sesuatu yang buruk sama kamu, Ri. Beritahu aku kalau kamu mengalami masalah, kita bisa melaluinya bersama." Rihany tersenyum tulus. 

"Aku akan bercerita. Tapi itu nanti, sekarang kita harus segera tiba di supermarket agar kita tidak kehilangan pekerjaan." Bunga menepuk keningnya, dia melirik jam murah yang melingkar di pergelangan tangannya. 

"Kamu utang cerita sama aku," kata Bunga kemudian mereka bergegas sebelum jam kerja di mulai.  

Waktu delapan jam terasa sangat panjang karena Rihany bekerja tidak dari hati. Beberapa kali dia terlihat tidak fokus. Beruntung dia tidak membuat kesalahan dalam menghitung belanjaan pelanggan. Kalau saja dia membuat kesalahan maka dia tidak akan menerima gaji pada awal bulan depan nanti. 

"Kamu tidak fokus selama bekerja tadi. Ri, jujur sama aku, apa yang terjadi kemarin malam?" Jam kerja telah berakhir lima belas menit yang lalu. Keduanya kini sedang menyusuri jalan menuju kos. 

"Kamu sudah janji akan bercerita setelah pulang kerja, Ri." Bunga berdiri di hadapan Rihany menghadang langkah kaki teman baiknya itu.

Rihany menatap ke sekelilingnya. Dia kemudian mendekat lalu berbisik pada Bunga, "Aku tidur dengan seorang pria malam tadi." 

"Kamu pasti bercanda." Bunga tertawa seolah apa yang Rihany katakan adalah sebuah lelucon. 

"Aku serius," kata Rihany. 

Bunga diam, dia tidak tahu harus mengatakan apa terhadap Rihany. Dia sendiri, meski sudah sering keluar masuk club dan berkenalan dengan laki-laki yang dia temui di sana, dia tidak pernah sekalipun tidur dengan mereka. Seketika dia merasa bersalah karena dia Rihany harus kehilangan mahkotanya. 

"Maafkan aku, Ri. Aku benar-benar menyesal membuat kamu dalam situasi seperti ini." Bunga tidak berani menatap Rihany. Dia benar-benar merasa bersalah telah membawa Rihany pada pergaulan yang buruk. 

"Apa pria itu memperlakukan kamu dengan baik? Maksudku dia tidak bertindak kasar 'kan?" Bunga memeriksa tangan Rihany satu per satu. Mencari bekas kekerasan yang mungkin didapatkan perempuan itu. 

Wajah Rihany memerah ketika kepalanya memutar kejadian semalam. "Tidak, dia melakukannya dengan lembut," kata Rihany jujur. Meskipun kata-kata pria itu menyebalkan, dia tidak bertindak kasar pada Rihany. 

"Baguslah ..." Bungan mengangguk-angguk dia kemudian menyingkir dari hadapan Rihany. Mereka melanjutkan perjalanan menuju kos. 

"Ngomong-ngomong dia pakai pengaman 'kan?" tanya Bunga lagi. 

"Pengaman? ..." Rihany berusaha mencerna maksud dari perkataan Bunga. Setelah berpikir cukup lama dia kemudian menggeleng. Rihany meremas lengannya gugup. Dia mulai menyesal sekarang. 

"Apa yang harus aku lakukan sekarang, Bunga?" 

"Kita bicarakan ini di kos." Bunga lalu berjalan lebih dulu. Begitu mereka tiba di kos, Bunga menarik Rihany masuk ke dalam kamar kosnya. 

Selama beberapa menit, Bunga berjalan mondar mandir di dalam kamarnya yang sempit sementara Rihany menatapnya bingung. Daripada Rihany, Bunga terlihat lebih cemas. Wajahnya tegang karena sedang berpikir dengan keras. 

"Kita ke dokter aja, gimana?" tanya Bunga. Pasalnya mereka tidak tahu bagaimana tingkah laku pria itu. 

"Aku baik-baik saja, Na. Tidak ada yang sakit," kata Rihany menolak pergi ke dokter. 

"Aku tahu, tapi kita tetap perlu periksa. Takutnya pria itu memiliki penyakit kelamin yang menular." Rihany membuka matanya kaget. Dia sama sekali tidak kepikiran ke sana. Rihany memukul pelan keningnya sembari mengumpat pada dirinya sendiri. 

Bersambung ...

Baca lebih cepat di karyakarsa 😊




Karena KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang