Bab 15

114 14 0
                                    

Agus tidak ingin membahas mengenai Rihany yang akan menjadi menantu keluarga Harisson. Dia ingin memberikan peringatan pada putrinya agar tidak membuat masalah yang berdampak pada keluarga dan perusahaan seperti yang terjadi sekarang.

"Jadi bagaimana bisa kamu menyinggung istri Alex, Net? Apa kamu tidak bisa sekali saja untuk tidak cari masalah dengan orang lain?"

"Aku sudah bilang tadi kalau Rihany yang lebih dulu memancing permasalahan denganku, Pa!" Netta meninggikan suaranya pada orang tuanya itu. Dia benci disalahkan dalam situasi seperti ini. Rihany harus tetap menjadi pihak yang salah.

"Meskipun begitu kamu harusnya bisa mengontrol emosi, Netta." Rima ikut menasehati Netta.

"Mama diam deh! Tidak perlu ikut campur masalah aku sama Papa. Rihany, tuh urusin agar tidak menjadi sumber masalah di keluarga kita. Aku yakin pasti dia yang bujuk wanita itu untuk menghancurkan perusahaan Papa." Netta terus mencari alasan, melemparkan kesalahan pada Rihany.

Demon bertepuk tangan keras melihat usaha Netta membela dirinya. "Harus aku akui kalau kamu pandai melempar kesalahan pada orang lain? Tapi, Netta ... Kamu tadi diberikan kesempatan untuk meminta maaf namun, kamu tetap memilih bersikap angkuh dan terus merendahkan Rihany dan calon mertuanya."

"Hal ini seharusnya tidak akan terjadi kalau kamu menurunkan gengsi dan segera meminta maaf pada mereka," kata Demon. Pria itu lalu berdiri.

"Aku tidak bisa membantu perusahaan Papa. Bukannya tidak mau, tapi sekeras apapun aku berusaha hal itu hanya akan sia-sia karena ada Harisson Grup yang akan terus menjatuhkan perusahaan Papa." Dua langkah meninggalkan meja, Demon kembali menghentikan langkahnya.

"Saran, Pa, Ma. Suruh Netta untuk meminta maaf pada Bianca Harisson dan juga Rihany. Mungkin dengan itu perusahaan Papa bisa tertolong." Demon angkat tangan, dia tidak mau melibatkan diri pada masalah yang akan merugikannya. Dia cukup pintar untuk tidak menyinggung keluarga Harisson.

"Jangan melihatku, Pa. Aku tidak sudi meminta maaf sama mereka," kata Netta angkuh.

"Lakukan, Netta!"

"Tidak!" Netta tidak akan merendahkan diri dengan meminta maaf pada Rihany. Tidak akan pernah.

"Kamu pikir setelah ini kita bisa hidup dengan baik? Masalah yang kamu buat-"

"Bukan aku, Pa. Rihany yang lebih dulu. Berapa kali harus aku kata-" Netta langsung diam ketika merasakan panas di pipinya. Untuk pertama kalinya Agus memukulnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau papanya tega memukulnya.

"Tidak peduli siapa yang salah, kamu harus tetap meminta maaf pada mereka. Berusahalah agar perusahaan bisa kembali seperti semula. Kalau idak bisa kembali, sebaiknya kamu jangan temui Papa lagi," ucap Agus dingin. Pria itu kemudian mengajak istrinya meninggalkan Netta seorang diri di restoran.

Netta menghapus air matanya kasar. Rasa sakit di pipinya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Dia tidak terima diperlakukan seperti ini.

"Rihany, kamu pasti akan mendapatkan balasan yang lebih buruk dari ini. Tunggu saja," desis Netta. Dia melihat sekitar restoran ada dua orang pengunjung yang melihatnya dengan tatapan aneh. Netta tidak mempedulikan mereka, dia lalu pergi menuju kamar hotel.

Begitu masuk ke dalam kamarnya, dia melihat Demon sedang menyusun pakaian ke dalam koper. Pria itu melihatnya datang namun, tidak mengatakan apapun.

"Apa setelah ini kamu akan berlari pada Rihany?" tanya Netta berusaha santai namun, dalam hatinya dia sangat ingin marah pada Demon yang tidak pernah ada di pihaknya. Dia mencintai Demon namun, pria itu tidak pernah peduli padanya. Hanya Rihany yang selalu dia pikirkan. Netta selalu sakit hati dengan apa Demon lakukan. Bahkan saat pria itu mencapai kepuasan pada percintaan mereka, nama Rihany yang pria itu sebutkan. Beberapa kali dia mendapati Demon yang berusaha mencari keberadaan Rihany. Netta pernah mengancam akan menghancurkan perusahaan pria itu dan karena itulah Demon berhenti mencari Rihany. Sekarang mereka sudah kembali bertemu dan Netta tidak takut Demon kembali pada Rihany. Dalam hatinya dia bisa mendapatkan calon suami Rihany yang sekarang. Dia hanya butuh Demon sampai anak mereka lahir. Setelah itu dia akan berlari pada calon suami Rihany. Dia cukup percaya diri karena dia merasa jauh lebih cantik daripada Rihany.

Demon menutup kopernya. Semua pakaiannya sudah dia masukkan. "Tidak, Rihany sudah mendapatkan pria yang jauh lebih baik dariku. Melihatnya bahagia itu cukup untukku," jawab Demon jujur. Meskipun hatinya masih milik Rihany sampai sekarang namun, hati Rihany tidak lagi menjadi milikinya. Ada orang lain yang mampu membahagiakan Rihany dalam segala hal.

"Sangat baik," sinis Netta. Dia lalu mengambil alih koper milik Demon.

"Kamu tidak bisa meninggalkan aku di sini sendirian." Demon hanya menatap datar pada Netta.

"Apa kamu pikir kamu masih bisa tinggal di hotel mewah seperti ini setelah perusahaan Papa kamu bangkrut? Tidak, Netta. Kita harus pindah ke hotel yang lebih kecil."

"Penghasilan perusahaan kamu cukup untuk tinggal di hotel ini lebih lama."

"Tidak bisa, perusahaan baru stabil dalam satu bulan ini. Dan lagi semua uang yang aku kasih ke kamu habis dalam sekejap. Jadi untuk sekarang ini kita tidak memiliki apapun."

"Sekarang bereskan sendiri barang-barangmu kalau tidak aku akan pergi sendiri." Netta menghentakkan kakinya kesal. Terpaksa dia melakukan apa yang Demon katakan. Untuk sekarang dia hanya bisa mengalah. Tunggu sampai dia mendapatkan semua yang dimiliki Rihany termasuk calon suami saudara tirinya.

***

Rihany menyajikan makanan yang di pesan Aaron melalui aplikasi online tadi. Saat ini lelaki itu sedang berada di dalam kamar mandi. Sementara Rihany sudah lebih dulu membersihkan dirinya tadi. Mereka akan makan malam setelah pria itu selesai membersihkan diri.

Rihany selesai menyajikan semua makanan yang di pesan Aaron tadi bertepatan dengan Aaron yang keluar dari kamarnya. Pria itu sudah berganti pakaian dengan pakaian tidur yang senada dengan gaun tidur yang Rihany kenakan. Hal ini terjadi bukan karena di sengaja. Bianca memberikan mereka pakaian tidur pasangan yang jumlahnya cukup banyak. Rihany sangat suka karena bahannya nyaman saat dipakai.

Aaron menatap Rihany sejenak dengan kedua alisnya yang naik. Meskipun begitu dia tidak mengatakan apapun.

"Kamu menyiapkan makanan untukku, lalu kenapa kamu tidak ikut makan?" tanya Aaron. Dia sudah duduk. Piring miliknya sudah penuh dengan nasi dan lauk pauk. Sementara piring di hadapan Rihany belum diisi apapun.

"Mual," jawab Rihany pendek. Sejujurnya sudah sejak tadi dia menahan mual. Dia berusaha tidak meninggalkan meja makan hanya untuk menemani pria itu makan.

Aaron menghela napas panjang. Dia sengaja memesan banyak menu agar Rihany bisa memilih makanan yang membuatnya tidak mual. Namun, rupanya itu sia-sia.

"Diantara makanan ini semua, apa tidak ada satu pun yang membuat kamu tidak mual?" Rihany menatap satu per satu makanan itu. Ada delapan menu yang tersaji di meja makan. Semakin diperhatikan semakin membuatnya ingin muntah.

"Nggak ada, maaf." Rihany berdiri lalu berlari ke wastafel dapur. Tidak lama dia kembali dengan wajah pucat.

"Pergilah ke kamar! Jangan memaksakan diri di sini," kata Aaron. Dia yakin kalau Rihany sudah menahannya sejak tadi. Dia tidak mungkin tega memaksa Rihany makan sementara perutnya tidak menerima.

"Maaf," kata Rihany lagi sebelum dia pergi ke kamarnya. Aaron tidak hanya diam tanpa menanggapi ucapan Rihany. Hal tersebut membuat Rihany merasa sangat bersalah. Dia sendiri kesal pada dirinya karena sejujurnya dia juga lapar.

***









Karena KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang