Bab 18

113 10 0
                                    

Bab 18

Keduanya kemudian keluar melalui pintu samping yang diarahkan oleh asisten rumah tangga Bianca. Rihany mengamati halaman samping yang cukup luas. Rihany tidak berani membayangkan berapa biaya yang dihabiskan untuk membuat rumah serta halaman yang luas seperti ini.

"Kehidupan kamu semakin baik setelah keluar dari rumah," kata Rima memulai pembicaraan. Rihany hanya tersenyum kecil mendengarnya tanpa berniat memberikan balasan untuk perkataan mamanya itu.

"Kamu harusnya berterima kasih kepada kami karena, setelah keluar dari rumah kamu mendapatkan hidup yang lebih baik." Kali ini Rihany tertawa mendengar perkataan mamanya itu. Seakan-akan apa yang Rima ucapkan adalah lelucon yang sangat lucu.

"Bagaimana caraku berterima kasih, Mama?" Rihany bertanya, dia menatap wanita dengan tatapan yang sulit diartikan. Rihany pernah sangat berharap mamanya bisa memeluknya saat dia sakit. Atau bahkan saat dia menerima rapor. Tapi itu tidak pernah terjadi. Sekarang dia tidak mengharapkan apapun lagi dari mamanya itu.

Rima mengambil jarak yang lebih dekat dengan Rihany. Kemudian dia berkata, "kamu harus bisa membujuk calon mertuamu itu untuk membantu perusahaan milik papa kamu berdiri lagi." Meski sudah bisa menebak apa yang akan mamanya sampaikan, Rihany tetap saja kecewa. Satu tahun tidak mengubah apapun, mungkin mamanya memang tidak pernah menganggapnya anak.

"Kalau masalah itu aku tidak bisa membantu. Seperti yang sudah Mama dengar kalau Papa Alex tidak mau mencampuri masalah keluarga dengan masalah bisnis." Ekspresi Rima langsung berganti kesal. Tadinya dia pikir mudah untuk membujuk Rihany.

"Karena itulah Mama meminta kamu membujuk mereka. Usahalah! Kamu bisa merayu calon suami kamu, mengangkang di hadapannya pun bisa kamu lakukan sampai mereka mau membantu perusahaan Papa kamu kembali seperti semula." Rihany tidak percaya mamanya mampu mengatakan hal itu padanya.

"Mengangkang? Aku tidak percaya Mama bisa mengatakan hal ini sama aku." Rihany jelas terluka dengan perkataan mamanya. Rima tidak masalah meskipun putrinya direndahkan. Yang terpenting tujuannya tercapai.

"Memangnya apa salahnya kamu mempertaruhkan diri demi membatu orang tua? Sebagai tanda terima kasih karena kami sudah membesarkan kamu. Kamu keberatan melakukannya?" Rima bertanya dengan nada yang mengancam.

"Mama merasa membesarkan aku sejak aku kecil? Biar aku ingatkan, Ma, sejak aku kecil ... Aku selalu berjuang untuk diriku sendiri. Aku besar karena berjuang seorang diri. Aku masih ingat sepulang sekolah harus mencuci piring di rumah makan Ibu Salma untuk mendapatkan dua piring makanan. Aku melakukannya selama bertahun-tahun. Mama ingat aku kelas berapa saat itu?" Rihany masih kelas dua sekolah dasar saat mengajukan diri untuk mencuci piring di rumah makan ibu Salma. Dia tidak pernah mendapatkan makanan di rumah sehingga dia memutar otak untuk mengisi perut.

"Mama tidak ingat 'kan? Yang Mama ingat adalah kesenangan Mama dan juga kebahagiaan Netta."

"Jangan mengungkit masa lalu."

"Aku harus mengungkitnya, Ma. Biar Mama tahu kalau sejak dulu, Mama tidak pernah peduli sama aku. Aku bekerja sejak kecil untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Mama tidak pernah memberikan aku uang satu rupiah pun. Tidak pernah, Ma. Aku juga tidak pernah minta uang karena aku takut membebani Mama. Aku menyayangi Mama dan berusaha untuk tidak menyusahkan Mama. Aku melakukan semuanya agar Mama melihatku sekali saja." Rima hanya diam. Dia pernah memberikan uang pada Rihany melalui Netta yang kemudian dia tahu kalau Netta tidak menyampaikannya. Dia tidak bisa marah atau protes karena uang itu milik suaminya. jadi dia membiarkan saja Rihany berjuang sendiri. Dia bersikap santai karena merasa Rihany bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.

"Setidaknya kamu mendapatkan tempat tinggal yang nyaman."

"Asal Mama tahu, aku tidak pernah merasa nyaman tinggal di rumah itu. Aku selalu menjadi kambing hitam atas masalah yang dilakukan Netta. Aku rasa aku tidak perlu menceritakannya, karena Mama sudah tahu kelanjutannya seperti apa." Rihany rasanya sudah puas setelah menumpahkan isi hatinya pada mamanya. Meskipun tanggapan mamanya tidak seperti yang dia harapkan, Rihany tetap merasa pundaknya lebih ringan.

"Kamu sangat pendendam rupanya," sindir Rima.

"Aku realistis, Ma. Bukankah setiap perbuatan itu ada timbal baliknya?"

"Kalau begitu kamu harus berterima kasih karena Mama sudah melahirkan kamu ke dunia." Rihany menutup matanya lalu menghela napas pelan.

"Aku bahkan tidak pernah ingin dilahirkan dari seorang ibu yang tidak bertanggung jawab." Sedetik setelah mengatakan itu, Rihany merasakan hawa panas di pipi kirinya. Dia mendapat tamparan dari Mamanya. Pipi Rihany terluka karena kuku panjang Rima menggoresnya hingga berdarah.

Tidak puas menampar satu kali Rima ingin menamparnya untuk kedua kalinya. Namun tangannya hanya menampar angin karena Aaron datang tepat waktu dan menarik Rihany menjauh. Tatapan dingin Aaron membuat Rima takut namun, dia tidak menunjukkan pada Aaron.

"Saya bisa saja melaporkan ini ke polisi dengan tuntutan penganiayaan. Tapi karena saya menghargai Rihany, saya tidak melakukan itu. Ini peringatan terakhir! Jangan pernah menyentuh calon istri saya seujung kuku pun atau saya akan membuat kalian semua mendekam di penjara untuk waktu yang lama," kata Aaron. Dia lalu membawa Rihany masuk ke kamarnya. Dia tidak mau mamanya melihat luka Rihany.

Rima kembali ke sisi suaminya. Dia menggeleng menandakan kalau dia tidak bisa membujuk Rihany untuk membantu mereka.

"Mungkin saya memang salah dalam memperkerjakan karyawan. Saya tidak akan menyalahkan Bapak dalam hal ini." Agus akan memikirkan cara untuk bisa menekan Rihany. Sehingga tidak ada pilihan baginya selain memohon pada Alex untuk membantu perusahaannya bangkit lagi.

"Tidak ada lagi yang ingin kami bicarakan. Selain itu kami senang melihat Rihany diterima baik di dalam keluarga ini." Agus kemudian berdiri. Dia mengajak anak dan istrinya pulang.

***

"Apa ada luka lain selain ini?" tanya Aaron setelah selesai menutup luka di pipi Rihany dengan plester. Rihany menggeleng kecil.

"Terima kasih," katanya.

"Aku seharusnya tidak membiarkan kamu berbicara berdua saja dengan Mama kamu itu." Aaron awalnya ingin menyusul Rihany, langkahnya kemudian berhenti saat mendengar ucapan Rihany tentang masa kecilnya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau wanita itu tega melukai putrinya sendiri.

"Aku baik-baik saja," tukas Rihany sembari tersenyum.

"Kamu masih bisa tersenyum?" Aaron tidak bisa menebak arti dari senyuman Rihany.

"Aku merasa sedikit lega setelah mengeluarkan semua rasa kecewaku sama Mama. Hal itu mungkin tidak akan membuatnya berubah menyayangiku. Tapi setidaknya dia tahu kalau aku terluka karena perbuatannya itu.

Bersambung...

Karena KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang